Share

Part 2, Hilang

Suara ambulan meraung-raung memasuki pelataran rumah sakit yang megah dan besar. Di dalamnya tergolek Roy dan Fani dengan luka di sekujur tubuhnya.

Satu dokter dan dua paramedis lainnya sibuk mengupayakan pertolongan pertama untuk Roy dan Fani.

“Suster Kim, segera siapkan ruang operasi. Suster Nam, hubungi dr. Lee. Beberapa pecahan kaca menembus dada mereka, dan harus dilakukan operasi secepatnya,” intruksi Ko Joo Ri kepada bawahannya.

“Baik, Dok,” jawab mereka serentak. Lalu melesat ke luar dari ambulan.

Suasana UGD gaduh luar biasa. Petugas berlarian ke sana ke mari memenuhi kebutuhan yang diminta oleh dokter yang menangani pasien.

“Sudah cek kartu identitas mereka ?” tanya Joo Ri lagi.

“Sudah, Dok. Ternyata mereka warga negara Indonesia. Dan kami juga menemukan tiga tiket penerbangan, dua tiket dewasa atas nama Mr. Roy, Mrs. Fani dan satu tiket anak-anak atas nama Ms. Windi. Sepertinya mereka sedang dalam perjalanan menuju bandara.”

“Tiga tiket? Kamu yakin? Tapi kenapa cuma ada dua korban?”

Mereka saling berpandangan penuh arti. Benar juga, tadi di lokasi kecelakaan mereka hanya menemukan dua korban, jadi mana korban yang ketiga ?

“Tadi kamu bilang kemungkinan mereka menuju bandara, kan? Tapi tempat kecelakaan terjadi itu, arah sebaliknya, bukan?”

“Benar juga, alamat mereka pun jauh dari tempat kecelakaan. Apakah mereka tersesat ?”

“Hmm, bisa jadi. Berkendara di tengah hujan salju memang tidak mudah. Kita yang hapal jalan saja bisa nyasar apa lagi jika tidak terbiasa.”

“Anda benar, Dokter. Sepertinya begitu. Jadi apa langkah selanjutnya, Dok ?”

“Lebih baik kamu hubungi pihak kedutaan, agar mereka bisa menangani warga negaranya dengan segera. Aku masih penasaran dengan keberadaan anak mereka, jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan keadaan ini.”

“Maksud, Dokter ?”

“Anak itu, tadi tidak ditemukan di lokasi kecelakaan, kan ? Ada dua kemungkinan, pertama, mereka dalam perjalanan menjemput anak itu, kedua, anak itu diculik di lokasi kejadian. Ditambah lagi di lokasi kecelakaan juga tidak ada orang yang menghubungi kita, padahal tadi jelas-jelas informasinya mereka menemukan korban kecelakaan, tetapi kenapa mereka tidak ada ?”

“Wah, anda berbakat jadi detektif, Dokter,” puji Suster Kim. Joo Ri sumringah.

“Karena saya penasaran, makanya kamu hubungi kedutaan Indonesia secepatnya, agar mereka bisa mencari keberadaan anak itu.”

“Baik, Dok.”

***

Joo Ri baru saja hendak menyantap makan siangnya ketika Suster Kim dan Suster Nam masuk dengan suara gaduh.

“Dokter! Dokter Ko! Pasien tadi ... pasien kecelakaan tadi meninggal.”

“Apa? Yang mana?” tanggap Joo Ri kaget.

“Kedua-duanya, Dok. Yang suami meninggal di meja operasi, yang istri meninggal dalam perjalanan menuju ruang operasi.”

Ko Joo Ri langsung lemas. Meskipun hal ini bukan yang pertama kali dia hadapi, namun setiap kali mendengar berita pasien yang ditanganinya meninggal tetap saja dia merasa lemas. Seakan-akan satu urat sarafnya ikut terputus bersamaan dengan kematian mereka.

Tanpa sadar Joo Ri memandangi foto yang ada di layar ponselnya seraya membisikkan doa, semoga wajah mungil yang sedang tersenyum lebar di sana tidak akan mengalami nasib yang sama.

***

Kaki kecil itu melangkah beriringan bersama kaki-kaki besar lainnya. Jalannya masih tertatih karena usianya yang memang masih teramat belia.Tangannya terangkat tinggi dalam genggaman mereka.

“Papa, Mama?” disela-sela langkah mereka, mulut mungil itu tidak berhenti memanggil-manggil orangtuanya.

Tapi bagaikan angin lalu, tak ada satu pun diantara mereka yang menjawab panggilan itu.

“Yeobo, sepertinya anak ini berbeda. Bahasanya bukan bahasa kita.”

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya lagi dengan tatapan polos yang menghujam tepat ke manik mata dua orang dewasa di hadapannya.

Jang Woo dan In Suk saling berpandangan, tenggorokan mereka tiba-tiba terasa kesat. Mereka sadar, baru saja melakukan kesalahan besar.

“Eotteohkeyo, yeobo ? Dia bukan orang sini, sekalipun orang tuanya tidak selamat, pihak kedutaan mereka pasti mencari anak ini. Dan lihat, dia juga punya tanda lahir yang cantik di lengannya. Kita tidak mungkin menyembunyikannya di sini kan?”

“Makanya tadi aku larang kamu mengambilnya. Tapi kamu ngotot. Kalau sudah begini aku juga yang repot.”

“Kamu menyalahkanku? Memangnya kamu tidak perhatikan wajah orang tuanya ? Wajah mereka kan beda dengan kita?”

“Kamu pikir dalam keadaan berlumuran darah wajah orang bisa dikenali?”

In Suk terdiam dia tak lagi mendebat suaminya. Dia mulai panik, beragam bayangan buruk mulai gentayangan di kepalanya.

“Begini saja, aku tidak mau berurusan dengan hukum. Besok kita antarkan saja dia ke kantor polisi,” usul Jang Woo tegas. Dia yakin itu adalah keputusan terbaik.

“Tapi ...,” sahut In Suk ragu.

“Kamu mau dibilang menculik? Kalau kita mengaku, dan bilang ingin menyelamatkannya, mereka ga akan hukum kita. Percayalah padaku.”

“Ttta-tapi, bagaimana jika kita tetap dihukum meskipun mengembalikan anak ini? Bagaimana jika mereka tidak percaya, lalu memenjarakan kita? Aku tidak mau dipenjara, yeobo, andwaeyo, cheongmal andwaeyo, yeobo.”

“Sudaahh, kamu jangan menakut-nakuti gitu. Besok biar aku saja yang kembalikan anak ini, kamu di rumah saja.”

***

Tanah masih basah setelah semalaman dihujani salju tiada henti. Di atasnya Jung Woo mempercepat laju sepeda motornya, ada kekhawatiran menggelayut di wajahnya yang tirus. Di depannya, Windi duduk berbalut jaket tebal. Wajahnya tampak tenang. Bahkan sesekali dia tertawa lepas ketika angin berhasil mencuri kesempatan menyelinap di bawah tutup kepalanya.

Dia sangat menyukai angin. Sesuai nama yang diberikan orangtuanya yang bermakna sama. Baginya angin bisa mendatangkan rasa bahagia. Oleh mamanya, setiap kali ia menangis pasti segera dibawa ke hadapan kipas angin. Kemudian mereka menciptakan macam-macam suara di depannya sehingga suara mereka terdengar bergelombang. Windi sangat menyukai itu.

Di sebuah perempatan jalan, Jang Woo menghentikan laju motornya. Tiba-tiba timbul keraguan di hatinya. Terngiang kembali kata-kata istrinya kemarin. Bagaimana jika mereka tetap menghukumnya karena dianggap telah melakukan penculikan. Bagaimana jika dia disalahkan atas kecelakaan itu? Keringat dingin membasahi telapak tangannya karena cemas. Tidak, dia tidak mau itu terjadi. Dia tidak siap jika harus berhadapan dengan berbagai macam interogasi berwajib. Yang terpenting, dia tidak mau di penjara.

Tapi bagaimana dengan anak ini ? Tidak mungkin baginya untuk membawa anak ini pulang kembali kerumah. Tetangga mereka bisa curiga, dan menuduhnya melakukan penculikan. Tapi dia juga tidak memiliki keberanian untuk mengantarkan anak ini ke kantor kedutaan.

Tidak ada cara lain, demi keselamatannya, dia pun memutuskan untuk mengantarkan Windi ke panti asuhan. Ya, itu adalah keputusan yang terbaik.

Jang Woo berbalik, lalu memacu sepeda motornya menuju panti asuhan terdekat yang ia tahu.

Dengan sedikit mengendap-endap Jang Woo memasuki ruang utama panti asuhan itu. Hatinya berdebar keras.

Dia mendudukkan Windi di salah satu kursi yang tersedia, sementara dia sendiri mencari cara untuk memberi tahu keberadaan mereka. Jang Woo punya rencana, begitu pengelola panti itu tampak, dia akan berlari secepatnya meninggalkan panti asuhan itu. Di kantong Windi dia sudah menyiapkan sepucuk surat, agar pihak panti tahu harus berbuat apa.

Jang Woo memencet bel yang terletak di atas meja. Tidak terdengar sahutan. Jang Woo kembali menekan bel itu.

“Yeee, jamkkanmanyo,” terdengar sahutan dari salah satu ruangan, bersamaan dengan derap sepatu yang bergesekan dengan lantai.

Jang Woo mengambil kesempatan itu sebaik-baiknya. Dia berkelebat pergi, menuju sepeda motornya yang terparkir di pinggir jalan, memutar gasnya, lalu menghilang dalam kecepatan tinggi.

“Yee, jamkkanmanyo? Mueoseul dowadeurilkkayo ?” Cho Min Ah, pengurus panti sampai di lobi. Dia heran tidak menemukan siapapun disana.

“Lho, mana orangnya? Tadi jelas-jelas aku mendengar bel berbunyi, tapi kenapa tidak ada siapa-siapa?” Min Ah memutar tubuhnya dengan kecewa. Tapi lamat-lamat dia mendengar sesuatu.

“Papa, Mama, anna ?”

Min Ah terkesiap kaget. Didepannya berdiri seorang bocah kecil usia 1 tahunan. Dengan jaket tebal dan penutup kepala kebesaran. Jelas sekali anak itu tidak mengenakannya pakaian miliknya sendiri.

“Kkkamu, siapa? Siapa yang membawamu ke sini?” tanya Min Ah gugup.

Windi tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus ke bola mata Min Ah. Tatapan itu penuh tanda tanya yang meminta jawaban.

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya lagi.

“Somanim, kemarilah, lihat apa yang aku temukan!” sorak Min Ah dengan pandangan tidak lepas dari Windi.

“Yee, Min Ah. Ada apa ribut-ribut? Suaramu itu bisa membangunkan anak-anak yang sedang tidur,” seorang wanita paruh baya keluar dari ruangan paling pojok. Dia adalah Ny. Baek. Kepala panti asuhan itu.

“Chwisongeyo, somanim. Tapi lihatlah kesini.”

“Apa sih itu ? Kamu benar-benar membuatku penasaran,” gerutu Ny. Baek seraya mempercepat langkahnya.

Sesampai didekat Min Ah, dia pun berseru kaget. Suasana menjadi kaku untuk beberapa saat. Ny. Baek yang telah puluhan tahun mengelola panti itu tentu saja bisa segera menguasai keadaan. Dia telah berulang kali berhadapan dengan hal yang sama.

“Annieonghaseyo, siapa namamu, Sayang ?” tanyanya kemudian setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya.

Windi tidak menjawab, dia hanya tersenyum kecil.

“Papa, Mama, anna ?” tanyanya kemudian.

“Booo yaaa ? Anak ini .. dia bukan orang sini. Siapa yang membawanya ke sini ?”

“Saya tidak tahu, Bu. Tadi saya mendengar suara bel, saya sedang di ruang belajar anak-anak, bergegas keluar. Tetapi sampai di luar aku tidak menemukan siapa-siapa, hanya anak ini.”

“Ya, sudah. Nanti kita cari tahu lebih banyak. Sekarang kamu urus anak ini. Ganti pakaiannya dengan yang lebih pantas.”

“Baik, Bu.”

*****

Han Tae Ho tampak gelisah diruangan kerjanya. Sejak kemarin dia tidak bisa menghubungi Roy sahabat dekatnya. Padahal jelas-jelas malam sebelumnya Roy menelepon memberitahu bahwa dia akan mampir sebelum pulang ke Indonesia. Perasaannya tiba-tiba tidak enak. Firasatnya mengatakan sesuatu sedang terjadi. Dan dia penasaran itu apa.

“Nn. Lee, tolong hubungi kantor Tn. Roy. Cari tahu perihal keberangkatan mereka,” perintahnya pada sekretarisnya. Wanita berambut panjang itu mengangguk lalu mundur dari ruangan.

Lima belas menit berlalu dia kembali lagi keruangan itu. Wajahnya tegang, seperti sedang mencemaskan sesuatu.

“Nn. Lee, kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu pucat begitu? Apa kata mereka?”

“Sekretaris Tn. Roy bilang mereka sudah ke luar dari sana sejak pagi kemarin, Tuan,” jawabnya dengan suara bergetar.

“Lalu apa yang membuatmu tampak ketakutan seperti itu ?”

“Itu ... itu ... hhmm .. sebaiknya Tuan lihat sendiri beritanya,” jawab Nn. Lee sambil meraih remote dan mengarahkannya kelayar televisi.

Di salah satu channel sedang menayangkan berita tentang kecelakaan tragis yang menimpa warga negara Indonesia. Kecelakaan tunggal itu merenggut dua nyawa sekaligus.

Tae Ho terhenyak melihat tayangan berita di hadapannya. Tubuhnya lemas, hati dan pikirannya sulit menerima kenyataan sahabat baiknya tewas mengenaskan seperti itu.

Untuk beberapa saat dia terpaku tanpa suara dengan pandangan tidak lepas dari layar tivi. Reporter di sana sedang menyampaikan analisa perkiraan penyebab terjadinya kecelakaan itu. Te Ho masih sangat syok, dia sulit menerima kenyataan bahwa sahabat karibnya itu telah tiada.

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. “Tunggu, mereka bilang korban tewas ada dua orang?” tanyanya kemudian.

“Benar, Tuan,” sahut Nn. Lee.

“Lalu bagaimana dengan anak mereka ?”

“Itu yang belum diketahui pasti, Tuan. Karena ketika ambulan sampai dilokasi kejadian mereka hanya menemukan dua orang korban.”

“Apa maksud kamu, Nn. Lee? Anak itu hilang?”

“Saya tidak tahu Tuan. Saat ini pihak kedutaan pun masih mencari keberadaan anak itu.”

“Hubungi Tn. Kim, suruh dia menemuiku.”

“Baik, Tuan.”

***

Sementara itu di panti asuhan, Min Ah sedang memakaikan selimut ke tubuh Windi yang tertidur.

“Bagaimana anak itu, Min Ah ?” tanya Ny. Baek yang ikut masuk ke kamar.

“Setelah mandi dan makan lahap dia tertidur, Bu. Sepertinya dia kelelahan.”

Ny. Baek menghela nafas panjang. Pikirannya tidak tenang. Meskipun kejadian ini bukan yang pertama kali ia alami, namun baru kali ini ia menerima warga negara asing. Firasatnya mengatakan sesuatu yang tidak biasa sedang terjadi.

“Kenapa, Bu? Ada yang mengganggu pikiran, Ibu?” tanya Min Ah. Bertahun-tahun mengenal Ny. Baek dia paham betul hati atasannya itu sedang resah.

“Ada yang aneh, Min Ah. Anak itu bukan warga negara kita. Tapi mengapa dia bisa sampai di sini? Tadi aku juga melihat ada noda darah yang telah kering di pakaiannya. Apakah dia korban penculikan?”

Min Ah, wanita polos yang hanya mengenyam bangku sekolah dasar itu tentu saja tidak paham akan kata-kata atasannya. Yang dia tahu, dia harus meninggalkan wanita tua itu sendirian untuk berpikir, sementara dia harus kembali ke perkerjaannya. Sadar akan hal itu, dia jadi teringat cuciannya telah terendam cukup lama.

Min Ah mempercepat langkahnya menuju halaman belakang tempat dia merendam cuciannya. Sembari melangkah, dia menyempatkan menyambar pakaian yang dikenakan Windi tadi, lalu menyatukannya dengan cuciannya yang lain. Bersama tumpukan cucian, baginya inilah dunia ternyaman.

Sepeninggal Min Ah, Ny. Baek berpikir keras. Dia harus melakukan sesuatu. Demi keselamatan anak itu dan juga demi kenyamanan panti yang ia bina.

Ny. Baek mengangkat telepon, dan langsung menghubungi kedutaan. Itu adalah langkah terbaik yang bisa ia lakukan.

*** Bersambung *** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status