Share

You're My Destiny
You're My Destiny
Penulis: Cathalea

Part 1, Hujan Salju yang Tak Biasa

Salju mulai turun dengan lebat. Tidak seperti tahun-tahun biasanya, yang mulai lebat di bulan Desember, kali ini masih di akhir November suhu semakin menusuk tulang. Di tengah cuaca yang tidak bersahabat itu Roy memacu kendaraannya membelah jalanan yang berwarna putih. Wajahnya tenang, ada riak kebahagiaan yang memancar di sana.

Bagaimana tidak? Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya ia kembali mengantongi identitas kewarganegaraan Indonesia. Dan perjuangannya selama lima tahun terakhir pun berbuah manis, akhirnya kesempatan itu datang. Dia diterima berkerja sebagai salah satu staff ahli di Jakarta. Kota yang terakhir ia lihat saat ia berumur lima tahun, ketika seorang pria bermata sipit yang mengaku sebagai ayahnya datang, lalu membawanya pergi ke sebuah negeri antah berantah yang kultur dan bahasa sama sekali tidak ia pahami.

Setelah itu ia hidup nomaden dari satu rumah ke rumah yang lain. Sementara laki-laki yang mengaku ayahnya tadi pergi entah kemana. Sedangkan wanita tua yang ada dirumah itu sering kali memandangnya dengan tatapan tidak bersahabat. Roy kecil tidak mengerti, yang ia tau wanita tua itu adalah neneknya. Sementara ibunya adalah mantan TKI yang sudah pulang ke Indonesia.

Karena itu tidak banyak yang bisa ia ingat tentang Indonesia selain bayang-bayang samar ketika ia bermain di halaman sebuah rumah kecil di temani seorang wanita muda berwajah sendu. Ahh .. desah Roy panjang. Sejumput kegelisahan menyelinap dihatinya. “Apakah dia masih ada?” Tanya Roy dalam hati.

Tepat di usianya yang ke sepuluh, lagi-lagi Roy dipindahkan ke rumah keluarga yang lain. Tapi kali ini tidak lagi bermata sipit seperti yang biasa ia lihat. Keluarga yang ia temui kali ini berkulit coklat dan bermata besar, tapi memiliki tatapan yang hangat. Rumah yang ditempatinya pun memiliki banyak kamar. Dan Roy melihat beberapa orang anak seumurannya bermain di dalamnya.

Bu Fatma, demikian wanita itu disapa. Diingat dari posturnya, Bu Fatma saat itu sepertinya masih berusia 20 tahun. Cukup muda untuk menjadi pengelola panti. Meski tidak banyak kisah yang bisa Roy gali dari wanita itu, tapi tumbuh di bawah asuhannya membuat Roy tetap bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan berkat beliau juga, Roy tetap bisa merasakan jiwa Indonesia dalam aliran darahnya. Ketika tidak ada anak-anak yang lain didekat mereka, Bu Fatma selalu mengajaknya berbicara dan bercerita menggunakan bahasa Indonesia. Karena itulah, meski tumbuh besar di negara asing, tapi tak sedikit pun Roy lupa dengan negara asalnya.

***

Roy memperlambat laju kendaraan karena ban belakangnya beberapa kali terasa goyang. Itu pasti karena salju yang semakin tebal. Sesekali dia melirik bangku belakang lewat kaca spion. Disana ada dua orang perempuan belahan jiwanya. Fani dan Windi.

“Windi tidur, Ma?” tanya Roy.

“Iya, Pa. Habis minum ASI dia langsung tidur,” jawab Fani.

“Pasti dia nyaman tuh, berada dipelukan kamu di cuaca dingin begini.”

“Iya, ya, Pa. Ga biasa-biasanya dia tidur di mobil. Biasanya rewel minta dibukakan kaca, trus ketawa cekikikan kalo rambutnya diterbangkan angin.”

Roy tersenyum membayangkan suara riang anaknya. “Ga terasa udah besar, ya, dia sekarang.”

“Iya, Pa, oh ... iya, Papa yakin jalannya lewat sini?”

“Yakin, Ma. Beberapa waktu lalu papa pernah di ajak Tae Ho ke sini.”

“Iya, tapi saat itu ga lagi salju, kan, Pa ?”

“Benar, tapi plang jalannya, kan, ada. Papa hapal kok, Ma. Tenang aja.”

“Iya, Pa. Cuma mama khawatir aja, ntar kita ketinggalan pesawat lagi.”

“Ga bakalan, Ma. Masih ada waktu 4 jam lagi kok.”

“Lagian Papa pake acara mengunjungi Tae Ho segala lagi, kan bisa pamitan via telepon.”

“Papa ga enak, Ma. Hari ini adalah hari perayaan rumah barunya. Dia udah banyak bantu papa waktu kuliah dulu. Dia juga yang bantu papa mendapatkan perkerjaan. Dan yang tidak akan pernah papa lupa, dia jugalah yang berjasa karena udah mempertemukan kita,” ujar Roy sambil menatap mesra istrinya. Fani pun tersipu malu.

“Ih ... papa genit,” sahut Fani.

“Lho, emang kenyataannya kan, Ma. Bagi papa, Tae Ho itu bukan hanya teman, Ma. Dia lebih dari saudara. Bahkan kami sama-sama berjanji akan saling menjaga satu sama lain, anakku adalah anaknya juga, begitu juga sebaliknya. Masa mentang-mentang papa dapat kerjaan yang lebih baik di Indonesia trus papa main pulang gitu aja ?”

Fani tidak menjawab lagi, untuk hal itu dia tidak akan pernah berani berdebat dengan Roy. Dia sangat paham arti persahabatan dalam hubungan mereka.

Dalam hening yang sesaat tiba-tiba Windi menangis di pelukannya.

“Cup ... cup ... cup ... ini mama, Sayang. Sshhhh ... tenang, Nak. Tenang.”

Bujukan Fani tidak mempan. Windi justru menangis semakin kencang disertai jerit di setiap ujungnya. Seperti orang yang sedang ketakutan akan sesuatu.

“Kenapa Windi, Ma ? Kok ... nangis sampe segitunya ?” tanya Roy masih dari kaca spion.

“Ga tau nih, Pa. Tiba-tiba saja dia menangis.”

“Masuk angin kali, Ma.”

“Ngga Pa, perutnya ga kembung kok,” jawab Fani. Dia menepuk-nepuk perut Windi beberapa kali, dan terdengar baik-baik saja.

“Cup...cup... udah Nak, udah. Ini mama, Sayang.”

Windi menangis semakin keras. Membuat konsentrasi Roy teralihkan. Dia tidak lagi fokus melihat jalan sehingga tidak melihat bahwa ia baru saja melewati papan yang bertuliskan larangan tertentu. Sampai ketika mobil yang dikendarainya terasa goyang seperti baru saja melewati jalan yang keras dan licin.

“Perhatikan jalan, Pa. Ga usah cemaskan Windi. Ntar lagi dia juga diam.”

“Iya Ma, iya. Ini papa juga perhatiin kok.”

Merasakan jalan yang dilewatinya semakin licin, Roy mengurangi kecepatannya, namun tidak berhasil. Mobil yang dikendarainya tetap meluncur tak terkendali.

“Awas, Paaaa.”

“Merunduk, Ma. Pegangan yang kuat. Lindungi Windiiiii !”

Itu adalah kata-kata terakhir mereka, karena berikutnya hanya pekikan histeris diiringi suara dentuman besar yang terdengar.

Mobil itu terguncang hebat beberapa kali, lalu meluncur, berguling-guling, dan terhempas di bebatuan diiringi dengan suara menggelegar.

Siang itu, ditengah hujan salju yang lebat, mobil yang berisikan Roy, Fani dan Windi terhempas ke dasar jurang.

***

Tidak jauh dari tempat kejadian. Jang Woo dan istrinya sedang melintas. Mereka adalah pasangan suami istri yang telah bertahun-tahun tidak dikaruniai anak.

“Yeobo, bagaimana kalau kita mengadopsi anak saja?” tanya In Suk, istrinya. Ada getaran halus terdengar di suaranya. Sangat jelas dia menahan gejolak yang sangat besar di hatinya. Meskipun sudah bisa menduga jawaban dari suaminya, tapi dia tetap ingin mencoba sekali lagi, dengan harapan suaminya akan berubah pikiran.

Hasratnya untuk menjadi ibu sudah tak terbendung lagi. Sementara usianya tak lagi muda. Jika langit memang tidak menakdirkannya untuk melahirkan seorang anak, maka mengadopsi anak adalah jalan lain yang harus ia pilih.

In Suk telah melakukan riset kecil-kecilan dari beberapa orang temannya yang juga tidak memiliki anak seperti dirinya. Mereka mengadopsi anak, dan tak lama kemudian mereka dikaruniai anak. In Suk berharap keajaiban yang sama juga akan menghampirinya.

“Kamu kan sudah tahu jawabanku dari dulu. Mengapa masih menanyakan itu?” Jang Woo menjawab dengan nada gusar.

“Tapi sampai kapan aku harus menunggu, sementara usia kita semakin lanjut. Aku khawatir langit memang tidak merestui kita memiliki keturunan.”

“Jangan menghakimi langit sesukamu. Kamu kan tidak tahu, bisa jadi saat ini DIA sedang merencanakan sesuatu yang indah buat kita. Sabar saja, yeobo, ye, pasti akan indah pada waktunya.”

In Suk tidak menanggapi lagi. Setiap kali membahas hal itu selama tiga tahun terakhir akhirnya selalu sama. Suaminya tidak pernah menyetujui mengadopsi anak. Padahal kemungkinan mereka untuk memiliki anak memang sangat kecil, karena In Suk sendiri pernah menjalani operasi kista sebelum menikah dulu.

“Ada apa, yeobo ?” tanya In Suk heran, karena suaminya tiba-tiba menghentikan mobil. Sementara mereka masih jauh dari tujuan.

“Di depan sana, kamu lihat itu ? Sepertinya ada kecelakaan. Ayo kita lihat.”

“Tttapi ... kamu yakin itu kecelakaan biasa ? Bagaimana kalau mereka penjahat ? Atau korban kejahatan ? Nanti kita bisa jadi tertuduh.”

“Ahh, kamu kebanyakan nonton drama. Jika kita tidak menolong mereka, lalu siapa lagi ? Setidaknya kita bisa menghubungi 119.”

Suami istri itu pun mendekati mobil yang nyaris hancur itu.

“Yeobo, dengar, sepertinya ada suara tangisan anak kecil,” kata In Suk.

Jang Woo mencoba mempertajam pendengarannya. Dan benar yang dikatakan istrinya, dia mendengar tangisan anak kecil.

Di bawah mobil yang hancur itu dia melihat tangan kecil menggapai-gapai. Pakaiannya berlumuran darah. Sementara dua orang lainnya diam tak bergerak.

“Yeobo, sini, cepat. Bantu aku menariknya,” teriak Jang Woo.

In Suk berlari mendekat. Dia terpekik melihat pemandangan di depannya.

“Sudah, tunda dulu kagetmu. Kita harus segera menolong anak itu. Aku akan angkat, kamu yang tarik. Dalam hitungan tiga, oke.” In Suk mengangguk.

“Na, dul, set.” Sekali hentakan In Suk berhasil menarik anak itu dan membawanya kepelukannya.

“Bagaimana dengan orangtuanya ?” tanya In Suk khawatir.

Jang Woo meraba nadi mereka satu persatu. Dia menghela nafas berat.

“Denyut nadinya masih ada, hanya sangat lemah. Aku khawatir mereka tidak akan mampu bertahan lagi,” jawabnya khawatir. Lalu mengeluarkan ponsel untuk menghubungi 119.

“Yeobo, tunggu, anak ini, bagaimana dengan anak ini ?”

“Mengapa bertanya ? Tentu saja kita serahkan kepada petugas yang datang nanti.”

“Andwaeyo, yeobo, kamu sendiri yang bilang orangtuanya tidak memiliki harapan hidup. Biarkan aku merawatnya, ya, aku yakin, ini adalah salah satu cara yang diberikan langit kepada kita.”

“Michyeosseo? Tidak, kamu jangan sekali-kali berpikir untuk melakukan itu!” tolak Jang Woo tegas.

Sudah cukup dia melihat kehidupan anak-anak terlantar di panti asuhan di dekat tempat kerjanya. Dia tidak mau, jika dirinya adalah salah satu pelaku yang menyebabkan itu.

“Yeobo, tolonglah, izinkan aku merawatnya. Kamu tidak lihat anak ini membutuhkan kita ? Lihat wajahnya yang polos, aigoo ... dia sangat menggemaskan,” rengek In Suk sambil membelai-belai wajah Windi yang mulai tenang di pangkuannya.

Jang Woo memandangi wajah anak yang digendong istrinya. Wajahnya imut dan polos. Meskipun tubuhnya gemetar karena takut, tapi sorot matanya menampakkan keberanian. Seandainya diberi kesempatan, dia sangat ingin memiliki anak seperti itu.

“Tapi ... .” gumam Jang Woo ragu.

“Udah, tidak usah terlalu banyak pikir, ayo, kita pergi dari sini, buruan,” desak In Suk seraya menarik tangan suaminya untuk segera beranjak dari tempat itu.

“Oke, tapi biar aku hubungi 119 dulu. Setidaknya kita upayakan dulu pertolongan bagi orangtuanya.”

*** bersambung ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status