Menyelesaikan urusan belanja di supermarket, Zeino dan Zee bertolak ke rumah. Tak seperti biasa, kali ini di sepanjang perjalanan, pemuda yang disibukan dengan pedal dan kemudi itu lebih banyak bicara. Berkali ia mengingatkan Zee untuk benar-benar mempersiapkan segala keperluannya.
“Di sana dingin, jangan lupa bawa baju hangat.”
“Iya.”
“Wajib minum vitamin, perubahan cuaca dari daerah panas ke daerah dingin. Tubuh kamu rentan, Zee.”
“Hu um.”
“Kalo kamu kecapean, bilang. Jangan ditahan. Istirahat, nanti tumbang lagi.”
“Iya,” jawab Zee dengan cepat. Tapi itu hanya di bibir, dalam hati ia kembali berkata,” namanya juga orang kerja, pasti capek. Emang ada kerja yang ga capek.”
“Makan yang banyak, jangan suka telat.”
“Siap!”
“Kalo sudah tahu Senin depan pulang jam berapa, langsung kasih kabar. Jadi aku bisa atur jadwal di showroom. Nanti dijemput.”
“Hmm belum juga pergi, udah mau dijemput,” batin Zee.
Dengan langkah ringan Zeino turun dari rooftop. Pemuda itu melongok ke ruang tamu. Di sana ia mendapati sepasang tamu yang berkunjung sedang berpamitan. Salah satu tamu, seorang wanita dengan wajah blasteran, mengingatkan Zeino pada seseorang. “Seperti perempuan yang bersama Mbak Melisa di mall,” batin Zeino. Langkah Zeino yang tertahan di dekat kaca pemisah ruangan kembali menapak. Ia menghampiri orangtuanya yang telah melepas kepergian kedua tamunya. “Tumben kamu sudah pulang, Zei?” komentar Handoko. Laki-laki paruh baya itu merasa heran menemukan putranya sudah sampai di rumah. Biasanya malam minggu ia akan pulang larut malam. Zeino hanya menarik sedikit sudut bibirnya. “Yang tadi siapa, Pa?” tanya Zeino begitu menjejakan tubuhnya di sofa. “Orang leasing,” jawab Handoko singkat. “Papa mau beli apa pake leasing?” tanya Zeino dengan kening berkerut. “Jadi yang orang leasing itu lagi menawarkan lokasi yang pas buat show
Sesuai janji Zeino dan teman - teman di gengnya, mereka bertemu di batas kota. Setelah saling menyapa dan memastikan bahan bakar kendaraan mereka telah diisi penuh, ketiga kendaraan berkapasitas 4 penumpang itu memulai perjalanan ke arah utara. Satu kendaraan lain diisi oleh Lulu dan Dito, sedang Jeromy dan Lampita menumpang di kendaraan Shandy yang tentu bersama Rayesa. “Harus pake dua mobil saja, Kak. Kita bisa gabung sama Lulu dan Kak Dito. Jadi pas pulang, Kak Zeino ga sendiri," ujar Zee setelah mengetahui jika Jeromy tidak membawa mobil. “Kalo duduk di bangku belakang, kamu ga bisa atur sandaran untuk rebahan, Zee. Mau rebahan ke samping pasti kamu malu, kan?” Zeino beralasan. Agak lama Zee mencerna kalimat Zeino. Setelah mereka-reka, akhirnya Zee mengerti jika pemuda yang saat ini memegang kemudi memikirkan kenyamanannya. Dengan duduk di kursi depan, ia bisa mengatur sandaran agar lebih santai. Tapi, malu kalau rebahan ke samping, maksudnya apa?
Jalan keluar lorong yang dipilih Zee dan Zeino membawa mereka di tepi sebuah pelataran yang menghadap ke sebuah lembah. Zeino melangkah mendekati kursi beton yang bertebaran di beberapa sudut pelataran dengan posisi Zee masih di punggungnya. Begitu sampai di sebuah kursi, Zeino membungkukan badan sehingga Zee bisa menjejakan kaki di beton itu. Keduanya lalu duduk berdampingan. Udara pegunungan yang sejuk semilir mereka hirup dalam-dalam. Tak jauh dari tempat mereka duduk ada gerai berupa caravan yang menjual berbagai minuman. Lalu mereka beranjak untuk mencari pelepas dahaga. Sambil bertransaksi dengan penjual minuman, Zeino menanyakan arah menuju pasar wisata. “Pasar wisata ada di atas. Ikuti saja jalan tangga itu,” ujar pedagang minuman dengan telunjuk mengarah ke sebuah jalan di sebelah kanan mereka. “Jauh ga, Pak?” tanya Zee ragu melihat jalan dengan kemiringan 45 derajat itu. Entah berapa ratus anak tangga yang harus ditapaki untuk mencapai lokasi pasar.
Meskipun area pintu masuk pasar wisata ramai oleh pengunjung, Zee dan Zeino bisa menangkap keberadaan teman-temannya yang sedang berpencar dengan berbagai posisi. Keduanya saling tatap sambil mengernyit. Mereka terheran melihat tingkah teman-temannya yang absurd. “Pada ngapain, sih? Lama nunggu, ya?” sapa Zee pada pemain sandiwara itu. “Eh, Zee, Kak Zeino. Udah nyampe?” jawab Lulu yang masih mendalami skenario pura-pura tidak melihat itu. Basa-basi yang penuh kepura-puraan itu berlangsung singkat. Lampita tak tahan bertanya dari mana saja kedua pasangan yang masih saja memperlihatkan kemesraannya itu. Zee tak melepaskan genggaman jemari Zeino. Bersahutan keempat pasang muda-mudi itu saling menyalahkan tingkah masing-masing yang menyebabkan mereka terpisah. “Iya tuh, elo semua difoto. Jadi ketinggalan, kan?” singgung Shandy. “Elo juga, pake ngumpet-ngumpet segala. Kita kan kecarian!” cetus Dito tak mau kalah. “Udah ah jangan pada ribut.
Gadis dalam balutan sweater rajut warna krim susu, yang baru saja melepas keberangkatan sang kekasih hati, masih berdiri di area parkiran. Angin sore pegunungan yang bertiup dingin, membuatnya mendekap kedua lengan. Dari tempatnya berdiri, ia masih bisa melihat iringan tiga kendaraan yang menuruni jalan berkelok menuju jalan utama antar kota. Setelah tak terlihat lagi, gadis itu berbalik arah. Langkah Zee yang tergesa hendak kembali ke hotel, membuatnya seolah mengekor sesosok laki-laki yang sedang menggerek koper. Gadis itu ragu untuk mendahului, pun tak berniat menyapa. Walau ia yakin laki-laki itu pasti salah satu pegawai hotel, tak mungkin tamu. Karena jasa penginapan itu masih dalam tahap penyelesaian, belum dibuka untuk umum. Sesampai di lobby hotel yang masih terlihat sepi, kembali Bayu manajer yang sedang bertugas datang menghampiri. “Selamat Sore! Bapak Batara Bramantyo?” sambut laki-laki yang masih setia memegang handy talky di tangannya. “S
Hari pertama di pergantian minggu telah hadir. Hampir semua orang kembali ke rutinitas setelah melewatkan libur akhir pekan. Zeino yang hari ini tak melakukan kebiasaan antar jemput Zee bekerja, terlihat sudah duduk di ruang makan bersama kedua orang tuanya. Pemuda itu bersiap untuk berangkat ke showroom. Terdengar percakapan ringan di meja makan antara Zeino, Utari dan Handoko. “Bagaimana kabar Alvin, Ma?” tanya Zeino sambil menikmati sarapan. “Baik. Sehat.” “Beneran ga mau pulang Alvin, Ma? Habis ini mau kuliah di sana juga dia?” “Iya. Dia lagi pilih-pilih PTN dan PTS yang cocok.” “Kamu sendiri bagaimana kuliahmu, Zei?” “Bentar lagi sidang skripsi, Pa. Lagi nunggu pengumuman resmi dari kampus. Banyak yang bilang kalo ga minggu ini, mungkin minggu depan paling lambat sudah sidang.” “Lalu rencana kamu setelah wisuda bagaimana? Mau langsung berumah tangga?” Zeino hampir tersedak mendapat pertanyaan yang sepertinya bukan
Sammy adalah orang pertama yang memberitahu pada Zee tentang perlunya dia memakai jenis sepatu olahraga atau sepatu kets selama diperbantukan pada pembukaan hotel. Mobilitas mereka yang akan sangat tinggi serta beragamnya kegiatan yang akan mereka lakukan tentu akan menyulitkan jika memakai sepatu bertumit. Lagi pula selama masa pre-opening suasana memang tidak terlalu formal. Dan omongan Sammy terbukti, jadwal pengenalan area hotel yang sangat luas serta kontur tanah yang tidak rata membuat kedua kaki Zee yang dibalut sepatu tumit tersiksa. Gadis itu menyesal tidak banyak bertanya sebelum berangkat. Ia terlalu fokus pada cara mencari alasan agar rencana Zeino yang memaksa untuk mengantarnya bisa terlaksana, hingga lupa menanyakan detail tentang kondisi pembukaan sebuah hotel yang tentu belum pernah ia alami. Beruntung setelah tur yang cukup melelahkan itu, Zee mendapat tugas untuk memeriksa semua standar pelayanan di bagian guest relation. Ia harus memastikan 4 oran
Selama meninjau lokasi yang ditawarkan Mauren dan Niko, Zeino hanya menjadi pendengar yang baik. Setelah menyimak dengan seksama, ia menarik kesimpulan sementara. Pemuda itu hampir yakin seratus persen jika Mauren dan Niko adalah anak Nenek Ruwina. Jelas mereka mengatakan jika rumah itu adalah peninggalan orangtua mereka. “Tapi kalau benar mereka adalah anak Nenek Ruwina, berarti mereka adalah om dan tantenya Zee. Aneh banget waktu bertemu di mall, Zee dan Mauren tidak saling menunjukan hubungan mereka. Sepertinya waktu itu mereka tidak saling sapa atau menanyakan kabar selayaknya keluarga.” Di dalam mobil yang membawa mereka kembali ke show room, Zeino sibuk dengan pikirannya. Selama berbincang di dalam rumah tadi, ia juga tak melihat keberadaan Nenek Ruwina. Hal itu menambah tanda-tanya di benaknya. Rasa penasaran itu membuat Zeino berniat menghubungi gadis yang saat ini berada ratusan kilometer dari tempatnya berada. Namun mengingat Zee yang pasti saat ini