Semua Bab Partner In Crime: Bab 61 - Bab 70
131 Bab
Dosa dan pengampunan
Tak terasa, setelah kami puas berkeliling Kota Manila dalam satu hari, kami memutuskan untuk mampir sejenak ke Manila Bay untuk kedua kali setelah siang tadi. Bianca bilang tempat ini akan sangat indah jika didatangi ketika malam tiba.Aku tidak bisa menemukan kemiripan Manila Bay dengan sesuatu di Jakarta, suasananya cukup tenang, tiang-tiang tinggi dihiasi lampu terang berwarna warni.Yang menarik perhatianku, mayoritas pengunjung Manila Bay ketika malam hari tak lain adalah sepasang kekasih. Mereka berpegangan tangan, saling rangkul satu sama lain dan mungkin hanya aku dan Bianca yang tidak melakukannya.“Terima kasih untuk hari ini, kupikir perjalanannya cukup menyenangkan,” ucapku.Kami berdua duduk di sebuah kursi kosong dekat dengan pohon rindang, angin dari laut sungguh kencang dan kurasakan lebih dingin dari pada hawa di Jakarta.Bianca tersenyum, ia masih berekspresi sama seperti yang kulihat di dalam mobil, kuat dan mencoba m
Baca selengkapnya
Bisnis yang laris
*** Hari ini, Misa tidak pergi ke mana pun. Ia tetap berada di kediamannya sampai tengah hari. Sedangkan aku masih menyimak pemberitaan di Indonesia melalui laptop milik Misa. Mayoritas membahas terkait politik, perdagangan dan hukum. Salah satunya terkait denganku, kulihat salah satu media ikut memberitakan kalau aku kabur dari rumah sakit. “Sayang, apa kamu sedang sibuk?” tanya Misa, wanita itu dengan percaya diri mulai memanggilku dengan panggilan romantis, mungkin ia hanya ingin dilihat mesra oleh orang lain. Kuputar kursi tersebut dan menghadap kearah Misa, kugelengkan kepala sembari menutup layar laptop ketika ia berjalan menghampiriku. “Apa yang sedang kamu tonton?” tanya Misa, matanya sesekali melirik ke laptopnya yang tertutup. “Bukan apa-apa, aku hanya sedang menyimak pemberitaan di Indonesia.” “Oh, bukankah terlalu dini untuk kembali pulang?” tanya Misa. Seperti biasa, jika tidak ada orang, maka Misa akan ber
Baca selengkapnya
Pertemuan Keluarga
“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak membutuhkannya,” balasku, singkat. “Aku ingin kamu memilikinya, anggap saja hadiah dariku karena kamu sudah melakukan yang terbaik selama ini,” jawab Misa. Ia begitu keras kepala menyuruhku menerima saham dan kepemilikan dari perusahaan tersebut. Jika dilihat dari pengalamanku sebelumnya, aku sama sekali tidak merasa kesulitan jika harus mengurus sebuah perusahaan. Akan tetapi aku masih awam jika harus dihadapkan dengan perusahaan besar yang berada di luar Indonesia, terutama di bagian administrasi dan birokrasi yang masih tak kumengerti. “Apa yang sudah kulakukan hingga kamu bersikeras ingin memberikan perusahaan itu padaku?” tanyaku, kulihat kedua pandangan Misa terangkat menatap langit-langit restoran. “Banyak hal, terutama kamu sudah memberikanku pengalaman yang berarti beberapa hari belakangan ini.” Apa pengalaman yang ia maksud adalah sesuatu terkait hubungan intim? Apa sebenarnya isi kepala d
Baca selengkapnya
Bertindak dengan pikiran
*** Sudah satu bulan aku menetap di Manila, aku mulai terbiasa dengan kehidupan, makanan dan tradisi masyarakat di sini. “Permisi, Tuan. Tuan dipanggil Nyonya untuk turun sarapan.” Pintu kamar terbuka, terdengarlah suara lirih dan lembut dari seorang wanita yang mengenakan pakaian pembantu rumah. Aku yang masih berdiri di depan balkon kamar yang terbuka sontak berbalik seraya mengangguk pelan, menjawab perintah dari Misa yang terlontar melalui perantara wanita tersebut. Hidupku benar-benar berubah, begitu juga dengan Misa. Hubungan kami cukup erat belakangan ini dan itu dibuktikan dengan wajah Misa yang selalu cerah dan berseri di setiap pagi hari datang. Jika kupikir, aku sudah melakukan dosa yang tak akan mungkin dimaafkan oleh Tiara. Wanita itu masih berada di sana, jauh dari dekapanku dan tak pernah tahu kalau aku masih hidup bersembunyi. “Tuan…?” “Iya aku akan ke sana, aku perlu mengganti pakaianku,” balasku singkat.
Baca selengkapnya
Bantuan untuk Revan
*** Terdengar dari earphone yang kugunakan, mereka terdengar membahas proyek tadi dan memuji kepemimpinanku dalam perusahaan ini. Jujur saja aku tersanjung mereka berkata demikian. Namun, bukan pujian yang tengah kucari. “… apa kita perlu memberitahu Tuan Stefano tentang ini?” Jackpot! Mereka adalah komplotan yang satu grup dengan Stefano, aku sudah menduganya lewat tekstur tangan mereka. “Jangan dulu, kita perlu bukti kuat kalau dia adalah Revan.” Ucapan mereka terdengar jelas dari alat penyadap yang kusimpan di jas mereka, sampai detik ini pun aku masih mendengarkan pembicaraan mereka hingga ke bagian private. Kumatikan dan segera kaki-kakiku bangkit menopang tubuh ini, berjalan menghampiri jendela kantor sambil memperhatikan landscape Kota Manila dari langit. “Kecurigaanku benar,” ujarku. “Tentang mereka?” tanya Misa sambil berdiri dan menghampiriku. “Iya.” “Tapi bagaimana bisa merek
Baca selengkapnya
Perjamuan Terakhir
*** Dua hari kemudian. Aku terbangun di pagi buta karena dering ponselku yang kusimpan di atas meja. Dengan pandangan yang masih kabur dan berat karena kantuk, kuangkat telepon itu tanpa melihat nama si penelepon. “Halo … dengan siapa aku bicara?” tanyaku lirih. “Halo, ini denganku, Nathan. Apa aku membangunkanmu?” tanya Nathan. Segera aku bangkit dari posisi telentang dan duduk di tepi kasur. Kulihat di sampingku, Misa masih terlelap tidur tanpa mengenakan sehelai benang di tubuhnya. “Siapa juga orang gila yang menelepon di jam tiga pagi,” ketusku. Nathan tertawa kecil seraya melontarkan beribu maaf karena sudah membangunkanku, aku tak keberatan jika memang Nathan memiliki tujuan penting untuk meneleponku. “Lalu ada apa? Apa ada hal penting yang kamu temukan?” tanyaku sambil berjalan menghampiri lemari pakaian dan mengambil jubah tidur berwarna putih yang tergantung di dalam lemari. “Iya, ini terkait Tiara,” ba
Baca selengkapnya
Harta tak sebanding dengan kesetiaan
*** “Lakukanlah!” Mereka semua segera bergerak sesuai perintahku, tidak ada yang mau membantah. Nancy datang menghampiriku sembari meletakan secangkir teh hangat di atas meja. “Ada apa denganmu hari ini? Apa ada yang salah terjadi di rumah?” tanya Nancy, berani sekali ia bertanya seperti itu kepadaku. “Lakukan tugasmu dan diam!” Perkataan itu mengunci bibir Nancy untuk tetap bungkam, meski pendingin ruangan sudah menyala tapi entah kenapa tubuhku rasanya begitu gerah dan panas. “Bagaimana persentase penjualan kita bulan ini?” tanyaku. Aku bangkit dan berbalik membelakangi wajah Nancy, wanita itu masih berdiri tegap di depan meja kerjaku sambil tertunduk sunyi. “Semuanya sektor berada di trend positif, aku pikir investor akan senang melihat perkembangan ini,” ungkap Nancy. “Itu benar.” Terdengar langkah kaki di belakangku yang cukup nyaring, kulirik pelan dan melihat wanita itu tengah duduk di atas sofa.
Baca selengkapnya
Kepercayaan itu mahal
“Masuklah,” pinta kedua orang tua Nancy kepadaku. Aku mengiyakan saja apa yang mereka pinta, sedangkan Nancy masih terdiam seribu kata di depan rumahnya. Kuperhatikan, wanita di belakangku tak mengindahkan apa yang kedua orang tuanya katakan. Tangannya terlihat mengepal dan tak lama ia berlari meninggalkan kami, pergi menjauh dari rumah tersebut. “Nancy!” “Ngomong-ngomong, terima kasih banyak sudah mau melunasi hutang keluarga kami. Kami tidak tahu harus membalas—” “Kalian hanya perlu membujuk Nancy agar kembali bekerja denganku,” ujarku sembari menyela perkataan dari kedua orang tersebut, mereka mengangguk setuju tanpa membantah. Kulangkahkan kakiku mendekati pintu pagar dan melihat wanita tersebut sudah berlari cukup jauh, hingga aku tak bisa menemukannya. “Apa kalian tahu kemana dia pergi jika sedang marah?” tanyaku. Ibu Nancy datang dan berdiri tepat di sampingku, “Dulu dia pernah semarah ini pada kami, ia tidak pul
Baca selengkapnya
Berita kehamilan
***Pagi hari tiba, apa yang kulihat di atas meja makan sungguh mengejutkan. Berjajar masakan khas Indonesia pagi itu, mulai dari olahan daging, olahan laut, hingga ke makanan ringan.“Apa ini kejutan yang kamu maksud?” tanyaku, Misa mengangguk dengan senyuman.Kuperhatikan juga wajah Misa jauh lebih antusias dari sebelumnya, entah karena dia merasa bersalah atau bagaimana. Semua ini cukup untuk menutupi kekesalanku kemarin.“Apa ini berkaitan dengan sarapan tempo hari?” balasku, Misa tersipu malu sembari menghindar dari tatapanku.“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti itu. Aku merasa bersalah padamu setelah para pembantu menceritakan tentangmu yang bangun pagi dan ikut menyiapkan sarapan,” jelas Misa.Wajahnya benar-benar menghindar dariku, ia juga terlihat lebih kaku dari biasanya. Pagi itu, ada sesuatu yang aneh terjadi pada diri Misa.“Tapi kamu bisa memakan semua itu? Apa
Baca selengkapnya
Orang asing
*** Ponselku berdering, kulihat ternyata Misa menelepon. Tak ambil waktu lama, segera kuangkat panggilan tersebut sembari berjalan keluar ruangan. “Halo, ada apa, Misa?” tanyaku. “Apa kamu masih berada di kantor?” tanya Misa, suaranya begitu lembut dan kudengar sepertinya ia sedang dalam mood yang baik. “Iya. Aku sebentar lagi pulang, apa kamu membutuhkan sesuatu?” tanyaku. Pada awalnya, ia hanya diam saja tak menjawab pertanyaanku. Namun, setelah kutanyakan untuk kedua kali. Barulah ia berkata kalau ia menginginkan makanan yang selalu ia beli di pertokoan pusat kota. “Ginanggang? Baiklah aku akan membelinya sepulang nanti,” ujarku. “Terima kasih, Revan,” ucap Misa, ia terdengar begitu bersemangat hari ini, mungkin karena berita kehamilan yang membahagiakan baginya. “Jaga dirimu baik-baik.” Segera kututup telepon tersebut dan kembali masuk ke ruang kerjaku, di sana terlihat Nancy sudah menghabiskan mien
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status