Semua Bab Red in Us: Bab 61 - Bab 70
176 Bab
61. Berebut
“Pokoknya Shae bakal tinggal sama gue dan Rabu,” ujar Katha sekali lagi.Rabu hanya menghela napas panjang sambil berdiri di sebelah istrinya itu. Dia sudah malas terlibat dalam perdebatan dua orang di depannya.Saat ini, Rabu, Katha, Shae dan Rendra sedang berada di parkiran rumah sakit. Shae sendiri sudah terduduk di kursi penumpang mobil Rabu. Namun, Rendra masih bersikeras mengajak Shae tinggal di apartemennya.“Dia butuh ketenangan, Tha. Apartemen gue tempat yang tepat.” Rendra tidak menunjukkan tanda-tanda mengalah sama sekali.“Sama lo? Lo mau gue percaya kalau lo nggak bakal ngapa-ngapain Shae?” tanya Katha sinis.Rendra menyugar rambutnya kesal. “Udah gue bilang berapa kali kalau gue bakal tinggal di rumah ortu. Apartemen gue free buat Shae.”Katha lagi-lagi menggeleng. Dia masih tidak bisa membiarkan Shae tinggal sendiri di apartemen Rendra. Siapa bisa jamin Rendra tidak akan melakuka
Baca selengkapnya
62. Naksir
“Gue masih nggak tenang lo di sini,” keluh Katha. Dia membantu membawakan tas pakaian yang sudah diambil paksa oleh Rabu dari rumah Shae.Shae mengulas senyum tipis sambil berjalan canggung di belakang Rendra. Sungguh, sikap ini bukan dia sekali. Katha pun sudah jauh-jauh hari menyadari bahwa sahabat perempuannya banyak berubah. Kesan tangguh dan bar-barnya entah ditelan siapa.“Lo tenang aja, Tha. Shae bakal aman. Penjagaan di sini bagus. Gue juga nggak bakal nginep di sini kalau-kalau lo khawatir.” Rendra mempersilahkan Shae duduk di sofa. Sementara Katha dan Rabu mengikuti.“Laki-laki tuh predator. Gue nggak bisa percaya seratus persen pokoknya.” Katha melipat lengan di depan dada. Lalu, dia merasa pinggangnya dicolek oleh Rabu yang sedang duduk di sebelahnya. Kernyitan muncul di dahinya. Dia menatap Rabu dengan mata melotot.“Gue laki, Tha,” bisik Rabu.Lalu, ekspresi terkejut muncul di wajah Kath
Baca selengkapnya
63. Kapan Bulan Madu?
Orang-orang di dapur sedang sibuk memindahkan piring-piring lauk ke meja makan. Sementara itu, kursi-kursi di meja makan sudah dihuni oleh semua anggota keluarga. Mereka menunggu sambil mengobrol ringan mengenai pekerjaan dan rencana di masa depan.Katha sendiri baru saja meletakkan piring berisi ayam kecap—salah satu makanan kesukaan Rabu. Ya, walaupun sebenarnya Rabu termasuk orang yang suka makan apa saja. Namun yang pasti, Katha tahu Rabu lebih suka cokelat dibanding apa pun.“Udah duduk aja,” bisik Rabu, “biar gue gantiin.”Dengkusan kesal keluar dari mulut Katha. Dia menatap malas ke arah Rabu. Itu tadi memang tawaran yang cukup menggiurkan. Sayangnya, kalau dia meletakkan bokong di kursi sebelum sema makanan terhidang di meja makan, sudah dipastikan papanya akan mengomel. Kejadian ini baru terjadi sejak Rabu resmi menjadi anggota keluarga mereka.“Beneran. Ntar gue yang bilang ke Papa.” Rabu kembali bersuar
Baca selengkapnya
64. Telepon Tengah Malam
Katha dan Rabu sudah kembali ke kamar saat jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Perut mereka kenyang, begitu juga dengan pikiran, terutama Katha. Dia kesal karena setelah makan malam tadi, papa malah sibuk mengajak dirinya dan Rabu membahas bulan madu. Dia bahkan berniat membelikan tiket ke hawai agar Katha dan Rabu bisa bulan madu dengan nyaman di tempat yang indah. Dan Katha semakin sebal saat Rabu malah meladeni ucapan ayahnya. “Masih marah?” tanya Rabu saat sudah selesai mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Katha sendiri sudah berganti lebih dulu tadi begitu masuk ke kamar. Dia sekarang duduk di depan meja rias, mengoleskan berbagai krim yang dulu dijuluki Rabu sebagai petaka. Ada asal usulnya julukan aneh itu. Dulu, Rabu pernah tak sengaja menjatuhkan tas Katha dari lantai dua rumah orang tuanya saat sahabatnya itu menginap setelah dimarahi Agung. Saat itu Katha sangat marah. Dia bahkan sampai urung menginap dan mendiamkan Rabu selama d
Baca selengkapnya
65. Bagaimana Kalau Jatuh Cinta
Sejak mendapati telepon Felysia semalam, entah kenapa Katha jadi malas sekali berbicara dengan Rabu. Apalagi perdebatan mereka semalam soal tiket bulan madu juga masih membuat Rabu sedikit ngambek. Alhasil, keduanya tak bertegur sapa sama sekali sejak bangun, hingga duduk di ruang makan dengan pakaian kantor.Ketika adu mulut yang biasa terjadi antara Katha dan Rabu tiba-tiba lenyap, maka semua penghuni meja mulai menebak-nebak sesuatu yang mereka yakini benar.“Kalian bertengkar?” tanya Agung.Katha yang baru saja duduk di kursi ruang makan setelah berdiri tak berguna di dapur, menoleh. “Siapa bertengkar?” tanyanya. Dia melirik piring Rabu yang sudah terisi. Lalu dia mulai bisa memikirkan kalimat apa yang muncul dari mulut papanya setelah ini.“Ya kamu sama Rabu.” Agung menjawab sambil menunjuk Katha dan Rabu bergantian dengan jari telunjuknya.“Iya, nih. Tumben banget Katha berhenti adu mulut sama Rabu.&r
Baca selengkapnya
66. Gosipin Bhanu Ayase
Setelah kejadian perjodohan dengan Rendra, Katha baru menyadarai bahwa dirinya berubah dari sosok yang cuek, jadi banyak mikir. Rasa-rasanya semua hal sekarang dia pikirkan berlarut-larut. Bodohnya, kadang dia jadi suka membuat asumsi sendiri. Saat sadar seperti sekarang, ingin sekali dia menyalahkan papanya.Gawai Katha yang ada di atas meja bergetar, hingga menarik atensi perempuan itu dari pikiran yang semrawut macam kabel headset yang lama dalam tas. Namun, saat dia initip siap pengirimnya, semua energinya terasa terkuras. Ah, Rabu. Lelaki itu yang memang sedang dia pikirkan sekarang. Ucapan Kandara tadi cukup jadi racun yang kuat untuk pikirannya.Dulu, sewaktu mengajukan kontrak pernikahan pada Rabu, Katha berpikir bahwa dia juga yang nantinya akan membatalkan kontrak itu. Sebab, selama mengenal Rabu, jarang sekali dia lihat sang sahabat bercerita soal cinta, kecuali soal Felysia. Itu pun terjadi saat Rabu sudah pacaran dengan Fely. Makin menjadi-jadi saat hubung
Baca selengkapnya
67. Berdamai, Ngambek Lagi
“Tumben belum pulang,” ujar Kandara saat melihat Katha asik menonton video seorang beauty vloger melalui gawainya. Dia kemudian melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore. Katha menoleh dan mendapati Kandara di depan pintu ruangannya yang sudah terbuka. “Nunggu Rabu,” jawabnya. “Gue kira kalian masih berantem.” Lelaki itu terkekeh sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Kernyitan muncul di kening Katha. “Apaan, sih? Gue nggak lagi berantem, ya.” Kandara mengangkat bahunya. “Ya, terserah kalau nggak mau ngaku.” Dia menutup pintu ruangannya sendiri. Tangan kanannya sudah menenteng tas kerja. “Rese banget, sih, lo!” seru Katha sambil mematikan layar gawainya. Mood menoton sudah hilang gara-gara kata-kata kakaknya itu. Sebab, dia jadi ingat kembali pertiakaiannya dengan Rabu, chat yang ternyata benar dikirim oleh Langit siang tadi, dan yang lebih parah efeknya adalah pertanyaan Kandara pagi tadi di mobil. Bukann
Baca selengkapnya
68. Masih Cinta
Usaha berbaikan Rabu rupanya dirusak oleh dirinya sendiri. Perasaan diabaikan itu membuatnya marah pada Katha dan enggan berbicara pada perempuan itu. Selama sisa makan malam, Katha sibuk berbincang soal Bhanu Ayase, padahal keduanya duduk di meja yang berbeda. Bahkan Katha sempat menawarkan mereka untuk pindah ke meja yang bisa diisi empat orang. Maka sebab itu, Rabu sudah tak bisa lagi menahan rasa cemburunya. Dia mengabaikan Katha, hingga perempuan itu turut memusuhinya. “Apaan, sih, ngambek nggak jelas,” gerutu Katha pagi harinya dia menemukan Rabu tidur di karpet depan televisi. Rabu yang mendengar itu hanya diam dan membuang muka. Dia ingin Katha sadar bahwa sesi makan malam mereka terganggu karena dia secara tidak langsung mempersilakan Sakha bergabung dengan mereka walau beda meja. Namun, harapan memang hanya harapan. Dan Katha adalah Katha. Sedangkan Katha juga sama jengkelnya. Malas bertemu muka dengan Rabu di hari Minggu seperti ini, akhirn
Baca selengkapnya
69. Sakit
Setelah curhat ke Shae, bukannya membaik, Katha malah makin pening. Dia yakin sekali kalau Rabu memang tidak punya perasaan apa pun padanya selain rasa sayang sebagai sahabat. Dan mungkin sekarang bertambah rasa tanggung jawab karena mereka suami-istri—meski di atas kontrak. Namun, atas pernyataan Shae juga, dia jadi mulai menduga-duga dari perilaku Rabu selama ini yang sedikit berubah. Bahkan termasuk makam malam di restoran mahal itu. Sungguh bukan ciri seorang Rabu. Meski berduit, lelaki itu hobi makan di warung tenda pinggir jalan, rumah makan keluarga—seperti Angkasa—dan warung biasa. Tapi, lagi-lagi kepalanya menyangkal. “Katanya dia mau minta maaf. Iya, itu masuk akal.” Tanpa sadar dia bergumam sendiri, hingga orang yang sedang mengemudi mengerutkan dahi. “Lo kenapa, Tha?” Itu Rendra. Lelak itu tadi benar-benar kembali ke apartemen dengan membawa tteokbokki tiga porsi, kimbab dan odeng. Setelahnya dia mengikuti para gadis yang sibuk menonton film korea
Baca selengkapnya
70. Disuapi
“Lo mau kerja?” tanya Katha dari arah dapur saat melihat Rabu sudah memakai pakaian kantor. Yang ditanya menganggukkan kepala, mengulas senyum lebar, lalu menarik kursi meja makan. “Gue udah sehat, kok.” Katha memutar matanya malas. Dia kembali mengaduk bubur dalam panci yang sudah hampir matang. Kediaman terjadi di antara mereka. Namun, Katha bisa merasakan tatapan Rabu sedang berada pada punggungnya. “Nggak usah kerja dulu kenapa, sih?” tanya Katha, berusaha menahan marah pada orang yang sedang sakit. Dan meski Rabu mengaku sudah sehat, dia baru memastikan kondisi lelaki itu subuh tadi. Hasilnya, masih demam, meski tak separah semalam. Lagi pula, pagi ini hujan masih mengguyur kota. Kalau cuaca tiba-tiba panas di siang hari dan hujan di sore hari, maka kondisi Rabu sudah bisa dia pastikan tidak akan pulih secepat itu. “Gue ada kerjaan, Tha. Hari ini peluncuran produk baru,” jawab Rabu. Katha bisa mendengar suara alas gelas beradu den
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
18
DMCA.com Protection Status