All Chapters of Perfect Brothers: Chapter 11 - Chapter 20
44 Chapters
Bertugas Di Desa Terpencil
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.  Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.  Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.  Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana.  "Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota. 
Read more
Malam Yang Seru
Waktunya salat subuh tiba, alarm yang dipasang Feng berbunyi. Ia segera bangun dan ingin mengajak Aisyah untuk salat bersama-sama. Tentunya dengan Syamsir juga.  "Lah, kamu sudah bangun, Syah?"  Feng melihat Aisyah tengah duduk dengan menyelimuti seluruh tubuhnya menggunakan selimut. Feng jadi ingat, saat mereka kecil, mereka pernah mengunjungi tempat yang angker. Aisyah melihat sesuatu dan pulangnya, ia menjadi demam tinggi.  Namun sebelum demam itu menyerang, Aisyah akan menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut terlebih dahulu.  "Syah, kamu kenapa?" tanya Feng lagi. "Apa kamu melihat penampakan?" Aisyah mengangguk pelan. Meski ketakutan, Aisyah tetap tidak menunjukkan bahwa dirinya tengah takut, ia hanya menutupi seluruh tubuhnya dan
Read more
Sesuatu Yang Bergerak-gerak
"Saya ke toilet dulu, kamu jangan kemana-mana!" Pak Raza meninggalkan Gwen di luar toilet.  "Hati-hati, jangan salah pilih toilet, Guru pembimbing!" teriak Gwen dengan tawa mengejek.  Ketika Gwen membalikkan badannya, tak sengaja ia bertabrakan dengan seorang lelaki berpostur tinggi. Tasnya terjatuh, dan lelaki itu malah menyalahkannya.  "Aw," jerit Gwen.  "Aduh, tas kamu ini isinya apa? Bisakah kau berjalan dengan melihat jalan? Dimana matamu? Kau mengotori bajuku!" bentak lelaki itu.  "Woy!" teriak Gwen. Tatapan matanya sangat tajam dengan tangan mengepal mengarah wajah lelaki itu.  Namun, hal tak terduga terjadi. Lelaki itu adalah Chen, Chen Yuan Wang, kakak kandungnya yang selama ini i
Read more
Pertemuan Yang Akan Datang
Pertemuan antara Chen dengan Tuan Wil malam itu juga terlaksana. Rupanya, si Tuan Wil ini adalah Willy. Kaki tangan sekaligus ayah angkat dari saudaranya, Gwen. "Tuan muda Wang, apakah anda tidak ingin melihat adik-adik anda yang sudah tumbuh menjadi gadis cantik sekarang ini?" tanya Willy memberikan potret Aisyah dan juga Gwen.  "Hey, Paman. Aku keponakanmu, mengapa kau memanggilku dengan sebutan itu?" sahut Chen meneguk arak di tangannya.  "Tuan muda Wang, mau bagaimana juga … kau adalah pewaris pertama Tuan Wang. Aku tidak mau jika memanggilmu hanya dengan sebutan nama saja. Itu akan menjadi sebuah penghinaan begituan Tuan Wang sendiri," jawab Willy.  "I don't want to see the portraits of my two sisters now, Tuan Wil," tolak Chen menutup foto mereka. 
Read more
Ayah Angkat
  Sesampainya di rumah Willy, mereka disambut oleh Willy dan istrinya yang tengah hamil besar. Meski Gwen hanya anak angkatnya, tetap saja Willy dan istrinya menyayanginya seperti anak sendiri. Mereka juga sering bertemu ketika Gwen libur sekolah dan kuliah dahulu.  Hanya Willy yang selalu memanjakan Gwen dengan sepenuh hati. Maka dari itu, kedisiplinan yang di ajarkan oleh Aisyah dan keluarga pesantren lainnya selalu luntur dengan kemanjaan yang diberikan oleh Willy.  "Nona muda, apakah itu dirimu. Kemari dan aku akan membuatmu gemuk di sini," sambut Willy.   "Ayah angkat, aku sangat merindukanmu. Lihatlah siapa yang aku bawa ini! seru Gwen manarik lengan Pak Raza.  Willy mengucapkan salam kepada Pak Raza sebagai penyambutan. Pak
Read more
Menghayal Tubuh Pak Raza
"DIAM!" bentak Pak Raza.  Seketika Gwen langsung diam, ia hanya menatap wajah Pak Rasa dengan tatapan yang tak seperti biasanya. Air matanya mulai berlinang, perlahan menetes membasahi pipinya.  "Em, maaf a-aku … aku ti-- tidak ber--" Belum juga Pak Raza mengucapkan maaf dengan benar, Gwen melepas tangan Pak Raza. Kemudian berlari ke kamarnya, seraya membanting pintu.  Bam!  Suaranya terdengar sangat keras, sampai Yusuf pun mendengarnya. Padahal, Yusuf baru saja ingin bicara dengan putrinya yang nakal itu.  "Halo, Mas Raza! Kamu masih di situ?" "Njeh, kulo tasih wonten mriki. Pripun, Pak?" sahut Pak Raza dengan sopan. (Iya, saya masih d
Read more
Bertugas Di Desa Terpencil
Masing-masing regu di dampingi oleh perawat maupun dokter dari pribumi agar bisa berkomunikasi meski akan ada perbedaan dalam berbahasa sedikit.    Mereka berempat di sambut dengan ramah oleh kepala desa dan seluruh warga. Keadaan desa itu sangat menyeramkan bagi Syamsir yang penakut.  Meski menggunakan obor dan listrik hanya ada di gedung besar dan balai desa, tetap saja baginya sangat menakutkan.    Jamuan makan malam juga berlangsung khidmat. Mereka mulai bercengkrama dengan baik. Makanan yang disiapkan juga sesuai dengan selera Aisyah, Feng dan juga Syamsir sebagai seorang muslim. Hanya sayuran dan tanpa adanya daging di sana.    "Jika boleh tau, dokter ini dari mana? Satu negara, atau beda negara?" tanya Mee Noi, anak kepala desa yang baru saja pulang dari Ibu Kota.    "Akhirnya ada yang bisa Bahasa Inggris, setelah melewati badai khuvukiland, huft!" desis Syamsi
Read more
Rasa Itu
Sesegera mungkin Pak Raza berlari ke dapur. Ia mendapati Gwen yang berdiri di pojokan membawa spatula ditangannya dan juga tutup panci besar di tangan sebelahnya.  "Ada apa? Kenapa kompornya kamu tinggal dengan api sebesar itu?" Pak Raza segera mematikan kompornya.  "Aku baru tau kalau ikannya akan hidup ketika di goreng, Pak. Lihatlah! Ikannya berenang di minyak yang bahkan belum panas." tunjuk Gwen dengan kata melebar.  Pak Raza melihat kekacauan di dapur. Semuanya berantakan, minyak untuk menggoreng ikan juga hampir 1 liter yang dipakai. Padahal ikannya cuma satu.  Kemudian, ada telur ceplok dengan cangkangnya yang masih nempel di sana. Belum lagi, Pak Raza juga melihat tumis kacang yang di potong sangat panjang.  "Allahu Ya Rabb &he
Read more
Bertemu Meski Belum Mengenal
Chen menuju kota yang hendak ia kunjungi sesuai dengan kerjasamanya bersama dengan Willy. Jalan yang ia lalui melewati desa pelosok yang di pakai Aisyah, Feng dan yang lainnya penyuluhan.  Ketika sampai di dekat desa itu, mobil yang Chen kendarai mengalami kemalangan. Ban-nya tiba-tiba saja kempes semuanya dalam hitungan detik. Otomatis sopir menghentikan kemudinya.  "Ada apa?" tanya Chen.  "Tidak tahu, Tuan. Tapi, saya merasa ban-nya ada yang kempes," jawab sopir.  "Asisten Dishi, coba kau lihat. Bantu sopir ini memperbaikinya!" "Baik, Tuan." Datanglah beberapa orang dengan memakai pakaian serba hitam menodongkan senjata kepada sopir dia juga Asisten Dishi. Melihat aksi itu, Chen segera turun dan m
Read more
Gelap Malam
Di malam yang sunyi itu, mereka makan malam bersama. Syamsir dan Aom tidak ingin tahu lebih dalam dengan urusan Aisyah, sehingga mereka memutuskan untuk segera istirahat. Mee Noi juga sudah kembali ke rumahnya sendiri.  Namun, hal yang membuat tegang malam itu adalah Feng. Tatapan Feng tak pernah lepas ke arah Chen. Kecurigaannya bertambah ketika ia tidak bisa makan asam seperti Aisyah. Cara menolaknya pun sama.  "Tidak, aku tidak makan yang ini!" tolak Aisyah dan Chen bersamaan. Mereka saling menatap lagi.  Buah mangga yang dikirim dari kepala desa memang masih masam. Sehingga baik Aisyah maupun Chen menolak buah tersebut.  "Darimana asal kalian?" tanya Feng lebih lanjut.  "Kami--" ketika Asisten Dishi hendak menjawab, Chen menyelanya.
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status