Om Sweet Om의 모든 챕터: 챕터 21 - 챕터 30
62 챕터
Maaf
Nero baru selesai mandi saat melihat istrinya memasuki rumah. Jarum jam dinding menunjukkan angka tujuh dan ini sudah malam.  "Mas baru pulang? Kemaren tidur di mana?" Tania bertanya. Melihat gelagat sang suami yang tidak seperti biasanya, dia mulai mencurigai sesuatu. Lelaki itu tidak pulang semalaman bahkan tidak memberikan kabar sama sekali. Nero memandang istrinya dengan lekat, berharap dia tidak marah lagi. Bukannya takut, hanya saja memang rasanya tidak nyaman jika selalu bertengkar dengan pasangan. "Dari rumah sakit ngeliat papa kamu," jawabnya pendek, tapi matanya mencuri pandang. Menerka dalam hati, apa istrinya masih marah atau tidak.Tania berjalan menuju kamarnya, tak menghiraukan suaminya sama sekali. Melihat wajah istrinya yang cemberut, Nero menahannya. "Kamu masih marah?" "Tanya aja diri sendiri!" jawabnya kesal. Siapa juga yang tidak akan marah jika diperlakukan suaminya seperti ini.Tung
더 보기
Tergoda
Dengan langkah pasti Nero berjalan memasuki ruangannya. Sapaan dari para karyawan yang lewat hanya dijawabnya dengan anggukan. "Selamat pagi, Pak." Nisa menyambut  kedatangan bosnya dengan senyum merekah."Pagi." jawabnya cuek, kemudian membuka pintu.Ruang kerja kerja berukuran lima kali enam meter itu terlihat apik dengan sentuhan interior yang berkelas. Simple tapi nyaman dan sejuk dipandang. Ada sebuah meja kerja lengkap, juga satu set sofa serta buffet yang menyediakan berbagai macam snack untuk para tamu. Tak lupa sebuah kulkas yang berisi berbagai macam minuman dingin. Dulu ada foto Saskia di ruangan itu, tapi setelah kematiannya, Nero tak lagi menyimpannya. Kenangan indah bersama sang almarhumah istri kini tersimpan apik di dalam hati. Tak akan terganti oleh kehadiran Tania, karena mereka mempunyai tempat tersendiri yang tidak bisa dicampur adukkan.Melihat sikap Nero yang dingin, Nisa segera membuka tas. Menyemprotkan sedi
더 보기
Entahlah
Dering panggilan telepon mengalihkan konsentrasi Nero saat mengerjakan laporan di ruang kerjanya. Nama Tania tertera di layar kacanya. "Kenapa, Sayang?" "Mas ke sini sekarang. Papa udah siuman." Suara istrinya yang serak di balik telepon membuat Nero segera bergegas menuju rumah sakit, dan membatalkan meeting dengan klien yang cukup penting hari ini. Berulang kali dia meminta maaf agar hubungan bisnis tetap berlanjut. Untunglah mereka mengerti karena sudah bekerja sama cukup lama. Sesampainya di sana, dia melihat Mike berdiri di luar. Si bule' berambut pirang itu menatap sebuah ruangan dari dinding kaca, lalu memberinya kode agar segera masuk secara bergantian. Nero mengambil baju khusus yang harus digunakan jika ingin membesuk pasien di ruang intensif.Dia berjalan mendekati ranjang. Bram terlihat lemah. Kesadaranya sudah mulai pulih. Lelaki paruh baya itu menatap anak dan menantunya secara bergantian. Sedangkan Ovi memilih
더 보기
Kejutan
Nero menggandeng Tania mesra. Mereka berdua memasuki kantor dengan senyum dan langkah pasti. Beberapa pegawai memberi salam dan hormat. Beberapa yang lain berbisik-bisik membicarakan mereka yang tampak seperti adik kakak atau paman dengan keponakan. Wajah Tania berubah karena tidak biasa dibicarakan begitu. Dia tidak suka. "Jangan dengerin. Kita ada rapat direksi hari ini. Kamu siap?" Nero mengeratkan gengamannya. "Iya, Mas. Tapi aku bagaimana, ya? Apa aku bisa?" Ada ragu dalam hatinya."Pasti bisa. Sampaikan yang penting aja. Terutama tentang kesehatan papa." Nero tersenyum menatap istrinya.Denting lift berbunyi. Ketika pintunya terbuka, mereka menuju lantai tempat di mana semua ruangan berada. Sebelumnya mereka melewati ruangan Nisa, sekretarisnya. Ada yang ingin Nero sampaikan sebelum meeting dimulai."Nisa!" Ketukan pintu terdengar. Wanita itu tersentak mendengar suara sang pujaan hati memanggilnya. Dengan anggun dia m
더 보기
Tak Terduga
Nero memandang selembar kertas yang diserahkan sekretarisnya dengan mata terbelalak. "Apa ini Nisa?" Dia bertanya kebingungan. "Surat pengunduran diri saya, Pak." Nisa menatap wajah lelaki tampan di hadapannya. Wajah yang selalu membuat hatinya merindu setiap saat. Wajah yang telah mengalihkan dunianya selama beberapa tahun terakhir ini. "Kenapa? Apa gaji di kantor ini kurang buat kamu?" tanya Nero penasaran. Untuk beberapa karyawan yang mengundurkan diri karena alasan tertentu, dia akan langsung menyetujui. Namun, jika tanpa alasan yang jelas, dia pasti akan mempertanyakan. "Gaji cukup. Mungkin memang sudah waktunya. Saya juga sudah lama di sini, hampir enam tahun," jelasnya. Padahal dalam hatinya sedang bergejolak, berusaha menahan mati-matian air mata yang hendak jatuh. Dia harus kuat. Inilah keputusan terbaik yang sudah diambil. Nero menganggukkan kepala berkali-kali, berusaha menerima ini. "Tapi harusny
더 보기
Nujuh Bulanan
Suara riuh dan teriakan menggema di rumah Bramantyo hari ini. Mereka mengadakan acara untuk menyambut usia tujuh bulan dari kehamilan yang dikandung putrinya. "Gimana udah pantes belum?" tanya seorang wanita paruh baya yang mengenakan kebaya lengkap. Dia bertugas memandu acara. "Belum ..." jawab ibu-ibu serentak. Kemudian kainnya diganti lagi. "Sudah pantes?" Dia bertanya ulang. "Belum...." Kata itu diucapkan berulang-ulang sampai kain yang ketujuh.Nero memandang istrinya yang terlihat senang. Dia tidak terlalu mengerti mengenai prosesi adat begini. Selama ini, hari-harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan. Sempat dia merasa kasihan melihat Tania yang sedari tadi diguyur air saat siraman. Wanita itu terlihat mengigil menahan dingin, tapi dia menyelesaikan acaranya sampai akhir. Semua ini tidak akan berjalan lancar jika Ovi tidak ikut turun tangan. Mereka sepakat mengadakannya, selain untuk doa dan keselamatan
더 보기
Untukmu Papa
Suasana di ruangan itu diliputi ketegangan. Beberapa orang perawat, bidan dan seorang dokter kandungan sedang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sedang berjuang di atas tempat tidur pasien. "Tarik napas ya, Bu. Hembuskan pelan-pelan. Ya begitu terus." Suara seorang bidan memandu. Sementara sang dokter dengan sigap menunggu bayi akan muncul sebentar lagi. Tania terengah-engah. Kali ini bukan karena cumbuan Nero, tapi ada kepala bayi yang sudah mulai tampak dibawahnya untuk kemudian akan dikeluarkan seutuhnya. "Ya, bagus! Sedikit lagi." Kali ini sang dokter yang berbicara. Sejak tadi jantungnya berdegup kencang. Pasiennya yang satu ini masih muda sekali, juga memiliki perawakan yang mungil, sehingga dia merasa sedikit khawatir, apakah bisa bersalin dengan cara normal atau harus melakukan operasi.Nero menggenggam erat tangan istrinya. Tidak tega rasanya melihat Tania menahan sakit. Wanita itu sendiri masih belum mau meny
더 보기
Kenangan
"Rea, mas datang." Bram bersimpuh di batu nisan di sebuah area pemakaman. Matanya menatap sendu nama yang tertera di situ. Andrea Maharani.Tiga belas tahun sudah berlalu semenjak kepergian istrinya. Meninggalkan dirinya yang harus menduda di usia muda, juga seorang anak perempuan cantik yang waktu itu berusia lima tahun. Usia yang masih sangat membutuhkan kasih sayang ibunya.Bram memutar kembali memori bersama Andea. Ada banyak kenangan indah baginya, walaupun dia tahu, mungkin wanita itu tidak merasakan hal yang sama.Mereka dijodohkan. Bram yang waktu itu masih kuliah, diminta ayahnya untuk menikah. Dia yang masih sibuk belajar merasa terkejut atas permintaan orang-tuanya. Padahal saat itu dia tidak memiliki pacar sama sekali.Bram anak baik-baik. Walaupun statusnya anak seorang pengusaha kaya, dia tidak suka berprilaku yang aneh seperti teman seusianya. Lelaki itu sangat menjaga diri, sadar bahwa anak pertama yang akan menjadi penerus keluarga. Dia j
더 보기
Seribu Tanya
"Andrea itu pacar pertama. Bukan cinta pertama, tapi yang paling berkesan." Nero menatap wajah istrinya, kemudian melanjutkan cerita."Aku ketemu dia di kampus waktu orientasi mahasiswa baru. Gadis pemalu tapi pintar."Tania mendengarkan setiap ucapan suaminya dengan seksama tanpa menyela sedikitpun. "Dia kesulitan ngerjain beberapa tugas, terus aku bantu. Aku kan dapat nilai tinggi di hampir semua mata kuliah. Mungkin itu sebabnya dia sering tanya." Lelaki itu menarik napas panjang. Sebenarnya dia tidak ingin mengingat lagi masa lalunya. Hanya istrinya berhak tahu agar tidak terjadi salah paham di antara mereka. "Anak pengusaha kaya. Rekanan kakekmu. Aku ini yatim piatu. Bapak dulu penjahit. Ibu jualan sayur di pasar." "Setiap subuh sebelum berangkat ke kampus aku bantuin ibu jualan di pasar. Kadang nguli angkat-angkat barang kalau diminta. Uangnya aku tabung buat biaya kuliah," lanjutnya. "Waktu itu kami habis makan
더 보기
Masa Sekolah
"Zal, Zal. Itu Tania lewat." Seseorang menyenggol bahunya. Rizal segera menoleh. Pujaan hatinya tampak cantik dengan rambut terurai. Biasanya diikat dengan bermacam-macam model. Hari ini berbeda, tapi dia tetap suka."Samperin, gih." Kata sesorang yang lainnya."Malu aku." Wajahnya memerah. Cukuplah melihat sang pujaan hati dari kejauhan, karena mendekatinya tak cukup berani.Gadis cantik itu selalu diantar jemput bodyguard-nya ke mana-mana. Katanya sih lelaki itu omnya, tapi Rizal sangsi. Menurut info dari Clara, adik papanya Tania cuma ada satu, perempuan dan tinggal di luar negeri."Kapan dapetnya kalau kamu malu terus. Kamu itu ganteng, pinter, ketua OSIS. Masa ngedeketin cewek keder," ucap yang lain."Liat tu, pengawalnya udah datang." Rizal menunjuk.Sebuah mobil Honda HRV meluncur ke depan gerbang sekolah. Tania hendak berjalan menuju kea rah jemputannya. Omnya sudah dating. Hari ini sepulang sekolah mereka mau jalan-jala
더 보기
이전
1234567
DMCA.com Protection Status