All Chapters of Pekik Ketakutan: Chapter 41 - Chapter 50
52 Chapters
BAB 39: Sripanggung
Setelah semua penduduk kerajaan Serdiapada habis Ratu Anggini dipaksa menjadi selir Raja Borate. Pria itu menghampirinya hampir setiap malam, tetapi Selir Anggini selalu menolak melayaninya. Namun ranting kering bisa apa? Diinjak sedikit patah. Wanita karang itu sudah tak menjulang keras seperti dulu. Raja Borate bertenaga besar, mudah baginya untuk menzalimi sang ratu. Laki-laki itu mengoyak-ngoyak martabatnya, melanggar tubuhnya, menggerus kemanusiaannya jadi lebih rendah dari binatang, setingkat sampah dapur.  Selir Anggini sudah muak. Mati lebih baik. Tapi ia tak ingin pergi tanpa memuaskan dahaga dendam di hati. Ia memutuskan untuk mengubah suratan nasib yang ceritanya selalu sama setiap malam. Ia menyiapkan sebuah kayu tajam yang dia peroleh dari pecahan kaki tempat tidurnya. Ia menyembunyikan senjata itu di bawah bantalnya. Malam itu Raja Borate sedang mabuk dan menghampiri Selir Anggini. Kala sang raja sedang menodainya, ia mengambil kayu itu dar
Read more
BAB 40: Hukuman
Melihat kejadian itu para tamu lain langsung kaget, ketakutan, menuntut uang mereka kembali.  Kejadian tersebut membuat Gatuk sangat marah. Ia masuk ke dalam kamar dan menemukan Anggini yang sedang berkumur dan membuang airnya keluar jendela. Mulutnya masih belepot darah dan matanya berkaca-kaca. “Kau!”  Dengan sangat marah Gatuk menjambak kasar rambut Anggini dan menyeretnya keluar. Anggini terseok-seok, terbungkuk-bungkuk saat ia ditarik. Ia meringis, memegangi kepalanya. Kulit kepalanya seakan-akan lepas tak lama lagi.
Read more
BAB 41: Zanna
“Ka… Kamu siapa?” tanya Anggini ngeri. “Aku Zanna,” jawabnya heran. Karena wanita di depannya merespon sedemikian rupa.Zanna? Anggini menarik nafas lega sambil mengamati anak gadis itu. Wajahnya sungguh mirip almarhum putri sulungnya. Andai kata anak itu menyebut namana seperti nama putrinya pasti ia akan tambah panik. “Kamu tinggal dimana?” tanya Anggini setelah dapat menenangkan dirinya. “Saya tinggal di Rumah Bordi
Read more
BAB 42: Selamat Ulang Tahun
Hari istimewa tiba. Zanna berulang tahun. Anggini telah menyiapkan sebuah kejutan kecil untuknya. Dua buah gelang tembaga berbentuk Bunga Gladiol. Gladiol berasal dari kata Latin, Gladius yang berarti pedang. Umumnya dikenal sebagai Bunga Bakung. Bermakna ketulusan, kemurahan hati, serta pendirian teguh. Anggini sengaja memilih bunga itu sebagai simbol asa Zanna meraih mimpi, menembus segala rintangan yang ada dengan kedua tangannya, diiringi kerendahan hati dan tetap setia pada jati dirinya. Selain itu bunga itu biasanya mekar di bulan Agustus. Pas dengan bulan kelahiran Zanna.  Anggini sudah tak sabar untuk menghadiahkan gelang itu, tapi ia menunggu waktu selesai bekerja. Agar ia, Nenek Min dan Zanna benar-benar dapat menikmati momen bersama itu dan membu
Read more
BAB 43: Mentari itu Sirna
Anggini tanpa daya diseret-seret ke rumah penyiksaan Patah Arang. “Jangan, jangan bawa saya ke sana!” mohon Anggini ketakutan. Ia meronta-ronta, melawan, menahan sebisanya. Ia tak ingin kembali ke tempat itu. Rasa ngeri membuatnya gemetar. Tapi ia tak berdaya diseret dua laki-laki kekar ke sana. Rasa takutnya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Setibanya mereka di rumah penyiksaan. Gatuk membuka sebuah kotak yang berukuran kecil, kurang lebih setengah badan wanita rata-rata. Terakhir kali Anggini melihat seorang wanita disiksa dan meninggal di dalamnya.“Masukkan dia ke dalam situ!” Anak buah Gatuk memaksa Anggini untuk menekuk tubuhnya, meringkuk seperti bayi dalam rahim agar ia bisa dimasukkan ke dalamnya. Baru setelah itu peti itu ditutup dan dikunci. Cahaya obor menembus sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai saluran udara. Tubuh Anggini hampir sama sekali tak bisa bergerak. Nafas terasa tidak nya
Read more
BAB 44: Mewujudkan Impian Mentari dan Lahirnya Setan Kebaya Merah
Pada tengah malam, Anggini dan Nenek Min menggali kuburan Zanna yang masih basah. Mereka masuk ke dalam liang, membongkar papan-papan penutupnya.  Mayat anak itu sudah membengkak dan mengeluarkan bau busuk dari dalam kain kafan. Tubuhnya melunak. Darah dan cairan lain keluar dari tubuhnya. Anggini menutup hidung dan mulutnya dengan kain untuk mengurangi bau. Kemudian ia membungkus Zanna dengan kain pelapis tambahan. Kemudian Nenek Min membantu meletakkan mayat Zanna ke punggung Anggini, sambil Anggini mengikatnya ke tubuhnya dengan tali.  “Aku akan pergi ke rumah orang tuanya, mempertemukan Zanna dengan keluarganya, dan menyerahkan obat ini.” “Ini gila, Anggini” Anggini memeluk Nenek Min, “Aku akan mewujudkan impian anak ini. Doakan agar aku berhasil.”
Read more
BAB 45: Keris
Di luar telah gelap. Rembulan enggan keluar. Nenek Min sedang berduka di rumah petaknya. Hanya suara jangkrik yang menemani di luar jendela. Ia duduk di depan meja. Di atasnya terdapat sebuah celupak — alat penerangan dari tanah liat berbahan bakar minyak kelapa dan minyak jarak. Api menyala di ujung sumbunya yang berbaring di cerat. Cahaya kuningnya menerangi ruangan remang-remang. Lidah api itu sedikit menari-nari, seakan mencoba menghibur wanita tua di hadapannya. Mata Nenek Min memandang ke api, cahaya itu menariknya dalam lamunan.Dua hari lalu rombongan Gatuk kembali dari pengejaran. Di belakang kudanya tergeletak tubuh Anggini yang diseret pakai tali. Kebaya merahnya compang-camping, kotor dengan darah dan debu. Wajah dan tubuhnya penuh luka beset dan baret. Rambutnya acak-acakan. Bahkan batang hidungnya sudah tak ada. Sama sekali tak terlihat, kalau dulunya ia seorang ratu sebuah negeri. Hati Nenek Min hancur melihat kondisi Anggini. Gatuk dengan bangga memperto
Read more
BAB 46: Kontrak
Setan Kebaya Merah kembali bersemayam di Hutan Terlarang. Dari sana ia mengirimkan sinyal ke seluruh penjuru nusantara, mengundang orang-orang untuk datang. Mereka yang mengolah ilmu kebatinan pasti dapat merasakan denyut panggilan misterius yang menjalar di alam raya. Terasa begitu menggairahkan bagi mereka pencari kekuatan, namun meresahkan bagi mereka yang menginginkan kedamaian. Bencana gonjang-ganjing akan datang tak lama lagi. Hutan Terlarang. Hutan rimba misterius mistis. Hutan yang memiliki kesadaran. Siapa pun yang masuk akan tersesat berhari-hari. Kiri jadi kanan, kanan jadi kiri, depan jadi belakang, belakang jadi depan. Jauh dekat semua serba terbalik. Segala sensasi indera menipu. Tidak ada satu pun yang bisa dijadikan petunjuk di hutan itu. Masuk ke sana sama saja mati. Datang berombongan juga tak berguna. Hutan itu akan mencerai-beraikan. Teman
Read more
BAB 47: Mbah Moen
Mbah Moen, seorang juru kunci Gunung Merapi Wijen. Tubuhnya kurus kering. Tulang pipinya menonjol. Tingginya sudah menyusut lantaran usia. Bibirnya selalu tersenyum, seperti orang yang sudah tak memiliki beban hidup.   Pekerjaan sehari-hari Mbah Moen menutup portal-portal gaib yang sering terbuka sebagai jalan masuk makhluk astral negatif ke gunung tersebut. Bila ada makhluk yang berhasil lolos, Mbah Moen akan menangkapnya dan menguncinya di satu tempat hingga tak bisa kemana-mana mengganggu. Mbah Moen sebagai seorang ahli kebatinan yang sensitif dapat merasakan energi negatif dari Hutan Terlarang yang melalang buana ke seluruh penjuru. Ia memukul-mukul tengkuknya yang terasa penat. Badannya kaku tidak enak akhir-akhir ini. Padahal sudah bertahun-tahun dia tidak pernah sakit. “Sini aku pijitin,” kata Mbah Asih, istrinya. Jari-jari tua keriput dengan ruas tulang jari menonj
Read more
BAB 48: Pilihan
“Selamatkan bayiku,” mohon ibu itu, mengangkat anaknya kepada Mbah Moen dengan gemetar. Kengerian tergurat di wajahnya, mengetahui kemungkinan anaknya tak kan hidup sampai esok hari. Ia tak peduli lagi dengan nyawanya. Asal buah hatinya selamat. Mbah Moen memandang bayi yang tak berdaya itu. Ia mengernyit, menghela nafas. Tak tega, tapi ia tidak mau turut campur dengan prahara dunia yang fana.  Ia tak suka hatinya mendapat beban dilema seperti ini. “Anak yang tampan,” kata si Janggut dari belakang. Suara itu membuat adrenalin ibu itu banjir deras, matanya melotot lebar, alisnya mengernyit, jantungnya berdebar keras melihat tangan “malaikat pencabut nyawa” itu perlahan mencengkram kepala anaknya. Raut wajahnya semakin jelek melipat, seperti orang dipaksa meminum sesuatu yang sangat pahit. Air matanya berurai.
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status