All Chapters of Audacity: Chapter 21 - Chapter 30
159 Chapters
20. Realita
[POV Fany]   -----   Aku tak percaya mereka berkumpul di sana. Untung ada tembok yang menjadi tempatku bersembunyi.  Setelan jas hitam mahal membalut tubuh lelaki tua kurus. Rambut penuh uban seperti wig menutup bagian atas kepalanya. Setelah merapikan dasi, dia mengetuk pintu. Wanita tua tambun berhias perhiasan mahal tampil anggun memakai setelah jas merah tua, kombinasi blouse putih. Menggandeng anak gadisnya dia berbisik padanya yang memakai baju sabrina, pamer pundak putih mulus yang seperti warna susu basi. Mau apa keluarga Melisa kemari? Ya Tuhan, jangan bilang Melisa melapor pada orang tuanya tentang kejadian di apartemen Adrian tempo hari. Alfred yang malang, dia dalam masalah besa
Read more
21. Hasil Test
[POV Adrian] ----- Ruang hening seperti rumah sakit di malam hari. Tuan John mengelus-elus lengannya, tepat di bagian yang aku tato.   "Kamu tahu Nak, apa yang dibutuhkan artis tato selain skill menato?"    Pertanyaan ini pasti bukan pertanyaan biasa. Ini tentang karirku, ini tentang masa depan. Aku tidak boleh salah menjawab, tapi kira-kira apa yang dibutuhkan selain skill?   Sesekali Tuan John menoleh memandangku, lalu fokus ke lengannya. "Carl, apa kau bisa menjawab?"   Seperti diriku, Carl juga blank. Dia menggaruk kepala sangat kencang, mungkin sampai kuku jari tangannya panas. Berbeda denganku, dia bisa mengarang.    "Koneksi
Read more
22. Mawar Hitam
[POV Adrian] -----   Netraku seperti besi yang tertarik magnet, gagal berpaling dari wanita berpakaian kaos ketat dan celana jeans panjang.    Dia pun salah tingkah, mengusap tengkuknya, tertunduk, mengintip ke arah wajahku berulang kali.    Suara kekeh Tuan John membuatku berpaling dari bidadari dunia. Beliau berkomentar, "Sepertinya kau benar Carl, ketampanan dan kecantikan juga  berpengaruh pada nasib manusia."   Ucapan paman seperti balsem  yang membuat wajahku memanas. Segera kuganti arah pandangan ke kertas kontrak, berniat menandatangani lembar terakhir di sana.    "Ada apa Bibi Elisa?" tanya Carl, suaranya membuatku
Read more
23. Hati yang Terluka
[POV Fany] -----   Dunia bagai jungkir balik. Ini tidak benar, kan? "Kenapa, kenapa." Kubekap bibirku sebelum suara semakin keras keluar.   Gontai aku berjalan mundur sambil menggeleng, berbalik badan berlari kabur seperti maling menjauh dari keluarga Melisa.   Langkahku melambat di lantai satu. Menekan dinding aku berusaha mencari pembenaran untuk semua kejadian yang baru terjadi.   Mungkin semua ini hanya mimpi. Ya, pasti begitu.  Aku masih kecil dan tertidur di kasur Bibi Nicole. Ya, aku berharap semua itu terjadi. Akan tetapi kenapa gagal? Ayo, buka mata! Aku ingin bangun, Tuhan. Tolong biarkan aku bangun dari mimpi buruk ini!   Lembut tang
Read more
24. Nasihat Sahabat
[POV Fany] -----   Seperti magnet yang menarik serpihan besi, dia menangkap telapak tanganku. Berulang kali aku menarik berusaha melepaskan diri, tapi gagal.    Enggan rasanya melihat dia, muak, marah, tapi dia Alfred, sosok yang selama ini menjaga, memperlakukanku bak harta karun yang dia jaga. Ya Tuhan, bagaimana ini.   "Alfred, kamu mau mengantarku pulang?" Suara Melisa.    Apa gadis itu tidak bisa membaca suasana? Apa dia sengaja ingin membuat Alfred memilih, antara diriku dan dirinya?   Tanpa melepas genggaman, Alfred menjawab, "Sebentar."   Sepertinya dia bingung. Seperti kucing, disuruh memilih whiskers dan ikan
Read more
25. Maling
Adrian   "Aduh, aduh kakiku!" teriak Carl terlentang sambil memegang kaki kanannya. Pria besar berpakaian setelan jas hitam keluar dari mobil. Pria berkulit hitam itu berjongkok, khawatir melihat keadaan Carl. Suaranya terdengar nyata, bukan dibuat-buat, dia benar-benar menyesali perbuatannya. “Maaf, maafkan aku. Kamu baik-baik saja, Nak? Aku benar-benar tidak sengaja menabrak kalian. Sumpah demi Tuhan!" "Kejar maling itu Bro, jangan pikirkan aku!" perintah Carl, walau mukanya meringis, dia menunjuk ke arah perampok. Sepertinya uang yang dirampok sangat berharga bagi warung bunga milik Elisa. “Akan aku usahakan, Carl. Kamu tenang saja, ya.” Aku menerobos kerumunan mengejar bedebah yang sekarang panik baru mulai berlari. Aku bukan pelari yang baik. Beruntung trotoar padat oleh turis dan penjual pernak-pernik, menyebabkan maling kesulitan membuat jarak dariku. Tinggal hitungan waktu saja, sebelum aku berhasi
Read more
26. Pertarungan Gangster
Adrian   "Hei, bukan kah dia yang tempo hari?" Pria Mexican lain datang menghampiri sambil menunjukku. "Dia pemuda yang datang bersama gadis seksi di depan mini-market!" Sepertinya mereka kawanan tempo hari, yang mengganggu Fany. Bagus, kali ini aku bisa menghajar mereka semua sekaligus tanpa takut menyeret Fany masuk ke dalam masalah. Aku berlari melempar tutup tong sampah seperti melempar Frisbee, mengenai muka salah seorang dari mereka. Aku menendang kemaluan pria terdekat, lalu meninju dagunya dari bawah sampai dia mendongak ke atas. Seorang dari mereka menyerang memakai pisau lipat, berhasil melukai pinggangku. Pada sabetan kedua, aku memegang bagian tajam pisau sampai telapak tanganku luka. Aku sundul  keningnya hingga dia jatuh terkapar. Suara sirine mobil polisi terdengar dari jauh. Aku melempar pisau ke dinding. Bahaya jika sampai polisi melihatku memegang pisau. Banyak polisi bermunculan, me
Read more
27. Menanti
Fany   Setelah pelajaran terakhir di kampus hari ini selesai, aku menunggu Adrian, berdiri di trotoar bersama teman-teman. Aku mencoba tersenyum menutupi perasaan hati dengan bersikap normal dan berhasil. Sampai detik ini hanya Casandra yang tahu apa yang aku rasakan. Aku mengobrol dengan beberapa teman, hingga akhirnya kami berpisah. Sekarang hanya Casandra yang tersisa menemaniku di sini. Dia memasang wajah murung sembari memeriksa layar gawainya. "Fany, aku ada kegiatan latihan cheerleader. Lebih baik kamu menunggu di lapangan, dari pada di sini sendirian." Aku mengangguk pelan, mengikutinya. Lebih baik di sana dari pada menunggu di trotoar kan? Lapangan universitas selalu hijau dengan garis-haris putih seperti garis pada penggaris. Aku duduk di tribune penonton anggota tim amerika football berlatih, mereka berteriak seperti di hutan. Para cheerleader pun berlatih di pinggir lapangan rerumputan hijau dengan pen
Read more
28. Ikatan Cinta
Fany   Mobil Alfred berhenti tepat di seberang jalan. Dia turun dari mobil menghampiriku. "Fany, kenapa tidak menjawab teleponku?" "Kamu menelepon?" tanyaku pura-pura membuka gawai. "Maaf, tidak sempat kuangkat karena tadi sedang berada dalam kelas." Dia memandang sekitar. "Mana Adrian?" "Entahlah, mungkin sibuk." "Kalau begitu biar aku antar pulang, ya." "Tidak usah, aku menunggu teman," jawabku, sembari melepaskan lenganku dari genggamannya.. Aku tidak berani memandang langsung matanya yang sangat cemas sekarang. Aku memilih memandang ujung kakiku. "Fany,kenapa hari ini kamu aneh?" tanyanya. Aku menggeleng dan itu membuat kedua telapak tangannya mendarat ke pundakku. "Fany, ayo jujur ada apa? Aku mengenalmu sangat lama, kamu selalu begini jika ada masalah. Apa Adrian nakal?" Entah kenapa aku malah tertawa kecil. Adrian memang nakal, kalau dia menjadi baik baru aku
Read more
29. Hukum
Adrian   Aku berteriak-teriak dalam mobil. “Pak! Pak Polisi, luka di perutku—“ Polisi kekar menggedor kaca jendela dari luar. “Diamlah, jangan banyak bicara!” Dia berdiri bersandar pintu, menutupi  semua orang yang hendak mengintip ke dalam mobil. Sialan polisi satu ini. Aku tahu, pasti dia cemburu karena polisi wanita tadi baik kepadaku. Walau demikian aku warga Amerika! Aku memiliki hak untuk mendapat perawatan ketika terluka! Untuk memperjuangkan hak, aku menggeser duduk ke arah pintu sebelah. Tanganku diborgol, jadi tidak bisa menggedor jendela. Aku tidak menyerah. Aku memakai kening untuk membuat gaduh, menabrak kaca jendela pintu mobil yang tertutup. Usahaku membuahkan hasil. Seorang polisi tua yang sedang sibuk mengamankan lokasi perkelahian menghampiri diriku sekarang. Dia membuka pintu mobil, sedikit membungkuk mengintip lalu bertanya, “Ada apa, Nak?” Aku menggeser badan supaya luka di pingga
Read more
PREV
123456
...
16
DMCA.com Protection Status