Semua Bab Bukan Gadis Biasa: Bab 11 - Bab 20
72 Bab
Bag 11. Semakin Salah paham.
»»»»     Radith tersenyum menyambut kedatangan relasi bisnisnya yang sudah membuat janji makan malam bersama keluarganya. Sepasang suami istri dan tiga anaknya datang secara bersamaan. "Maaf kami terlambat!" Pria itu menyapa lalu bersalaman dengan Radith. "Santai saja, Pak. Kami juga belum lama." Radith mengangguk dan mempersilahkan pria itu untuk duduk. "Nah, Ma. Perkenalkan, beliau adalah Pak Bernard Knowles. Rekan bisnis Papa."  "Selamat malam, Pak Bernard," sapa Diana sambil tersenyum ramah.  "Dia istri saya, Diana. Dan kedua anak saya, Dava dan Cia." Cia langsung memalingkan wajahnya. 'Mampus!' Batinnya berteriak. "Malam, Pak," sapa Dava ramah. Sedangkan Cia masih menunduk. "Pst! Ci, Cia!" Dava menepuk lengan Cia pelan. Cia mengangkat kepalanya sambil tersenyum canggung. 
Baca selengkapnya
Bag 12. Keras kepala.
   »»»»    "Pak Ferry menghubungi saya, dan berkata bahwa saya harus menjaga privasi dari client. Saya pikir, itu tentang Pak Radith. Ternyata, justru anda Mrs. Carlstie." Cia tersenyum canggung.    "Maaf ya, Pak. Tapi, Bapak nggak bilang sama om Radith kan?"    "Tenang saja, saya bisa menjaga rahasia."    "Syukurlah."    "Kamu hebat ya, saya jadi merasa semakin bersemangat untuk bekerja. Dulu, saat saya seusia kamu, yang saya pikirkan hanya main!" Bernard dan Cia terkekeh bersama.    "Tapi, kedepannya tolong jangan beri tahu siapa-siapa tentang saya ya, Pak!"
Baca selengkapnya
Bag 13. Kekesalan.
                  »»»»                           "Aduh!" Gevin sudah bersedeku di lantai dengan tangan yang terkunci ke belakang.                           "Jangan karena bokap lo nitipin lo ke gue, lo bisa seenaknya!" Cia mendorong Gevin hingga cowok itu terjatuh ke lantai. Sedangkan Cia langsung berlalu pergi begitu saja, harinya begitu sial.                        
Baca selengkapnya
Bag 14. Penyerangan.
»»»»»         Pagi di sekolah yang damai. Semua orang tampak senang karena sepertinya si pentolan sekolah tidak masuk sekolah. Walaupun semua orang tampak senang, lain hal dengan cowok bermanik mata abu-abu yang kini duduk di tepi lapangan basket. Dia bersama sahabatnya, Iqbal sedang menghabiskan waktu hanya duduk diam sambil menunggu bel pelajaran di mulai.      Iqbal menatap Dava dengan bingung, sejak beberapa hari lalu, Dava tampaknya sering melamun dan sering tidak fokus.    "Cia?" Pertanyaan singkat dan tidak jelas Iqbal justru di tangkap jelas oleh Dava. Cowok manik abu itu mengangguk, lalu menghela napasnya, "udah lah, dia itu memang susah di tebak. Gue denger, kemaren dia bikin rusuh di kantin!"   "Gara-gara gue!" Dava menatap kunci mobil milik Cia di tangannya. Benar, kemarin dia dan Cia berangkat bersama dan pada akhirnya, Cia meninggalkan kunci mobilnya sekali
Baca selengkapnya
Bag 15. Keadaan Cia.
»»»» "Dava!" Radith berlari mendekati Dava yang masih duduk di depan ruang Operasi. "Pa!" Cowok manik abu itu segera berdiri. "Apa yang terjadi?" Radith bertanya pada Kasim dan Naida yang masih menemani Dava.  "Maaf, pak. Saat ini, Cia sedang di operasi." Radith tak mengerti apa yang di ucapkan Kasim. "Apa maksud Bapak?" "Dokter bilang, pisau yang menusuk perut Cia, mengenai organ vitalnya, dan saat ini Cia harus di operasi!" jelas Kasim. Radith menatap Dava yang sudah kembali duduk di kursinya, seragam sekolahnya masih berlumuran darah juga kedua tangannya yang tampak bergetar. "Dava ..." Radith duduk di samping Dava, lalu merangkul bahu puteranya itu. "Pa ...!" Dava langsung memeluk Radith dengan erat. Dava masih tak percaya, beberapa jam yang lalu, adiknya berbaring di pangkuannya denga
Baca selengkapnya
Bag 16. Hubungan apa?
»»»»     Cia menatap jam yang terus berdetak di dinding ruang rawatnya. Sudah 2 hari dia di rawat dan seharusnya, nanti malam adalah pertandingannya dengan pembalap dari New Zealand. Cia tak ingin melewatkan kesempatan itu, tapi bagaimana bisa dia keluar, jika dia terus di awasi 24 jam begini! "Hai Cia ..." Cia berdecak kesal. Kenapa di saat seperti ini, harus muncul orang yang menyebalkan! "Ngapain lo kesini!" Ketus Cia. Kian hanya tersenyum seperti biasa. "Kita kan temen, jadi wajar kalo gue jengukin lo, ya kan?" "Nggak perlu, dah sana balik!" "Ih, jahat banget. Padahal kan gue cuma pengen tau keadaan lo doang!" "Gue baik-baik aja. Puas lo, dah sana balik!" "Ish! Iya-iya, gue pulang nih!" Cia mengalihkan tatapannya, dan saat itu dia mendapat ide bagus. "Tunggu!"
Baca selengkapnya
Bag 17. Kejujuran.
  »»»»         Radith datang sambil berlari mendekati Dava. Cowok itu sudah duduk di kursi yang ada di dekat tempat tidur Cia, sedangkan gadis itu masih berbaring tak sadarkan diri.   "Gimana keadaannya?"   "Kacau, Pa!" Dava menatap Cia sesaat lalu menunduk. "Dokter bilang, Cia bisa aja kehilangan nyawanya, untung dia cepet-cepet di bawa kesini!"    "Cowok yang kamu bilang dateng sama Cia, sekarang di mana?"   "Dia udah pulang. Dia sama sekali nggak mau ngomong apapun, bahkan dia cuma jawab satu pertanyaan, itu cuma nama dia doang! Sisanya dia sama sekali nggak ngomong apa-apa!"    "Kamu biarin dia gitu aja?"   "Untuk sekarang iya. Lagian, dia bawa bodyguardnya, Dava nggak bisa apa-apa. Tapi, Gevin bantu Dava dan ngikutin mereka."   "Gevin?"   "Temen sekelas D
Baca selengkapnya
Bag 18. Operasi.
 »»»» "Dua tahun lalu ... di halte depan sekolah!" Cia menahan ucapannya, Jun tidak mengerti apa yang Cia maksud, "lo yang nabrak Kakak gue, kan ...." cowok Korea itu benar-benar terkejut mendengar apa yang Cia ucapkan. Tidak, bukan hanya terkejut, Jun juga tak percaya dengan pendengarannya. "Maksud lo ... apa?" "Motor yang lo pake waktu itu, sama persis kayak motor yang dulu nabrak Kakak gue. Gue nggak tau siapa pengendaranya, tapi itu jelas motor yang sama!" Jun terdiam lalu menunduk, "waktu itu hujan ..." Cia lalu terdiam, menatap Jun yang masih menunduk di depannya. "Iya ... itu gue!" Cia segera mengalihkan tatapannya. "Kenapa lo pergi? Kenapa lo nggak tolongin Kak Nita waktu itu?" "Gue ... takut, jadi ..." "Lo kabur." Jun tak berani menatap Cia. "Lo tau, apa yang udah lo lakuin waktu itu?"
Baca selengkapnya
Bag 19. Pulang.
 **** "Udah waktunya makan ..." Dava duduk di samping Cia, di tangan cowok itu terdapat mangkuk berisi bubur dan segelas air putih. "..." "Ci, makan dulu." "..." "Gue suapin ya!" Cia menatap Dava kesal. "Bisa nggak  lo jangan ganggu gue!" "Bisa, asal lo harus makan dulu!" Cia mendengus. Tanpa menunggu lama, gadis itu mengambil mangkuk dan memakan bubur yang sudah tersedia. Beberapa kali Cia tampak ingin memuntahkan makanan itu, Dava yang melihatnya sedikit memicing. "Lo ... nggak suka bubur?" Cia tak menjawab. Setelah menghabiskan setengah bubur yang ada, gadis itu memberikan mangkuknya kembali pada Dava. "Gue udah kenyang!" Sambil mengambil gelas berisi air minum dari tangan Dava, "gue udah selesai. Jadi jangan ganggu gue lagi!" Cia buru-buru berbaring dan menutup seluruh tubuhn
Baca selengkapnya
Bag 20. Pacaran.
 »»»»»      Cia berjalan keluar dari kamarnya, sudah 3 hari terlewati setelah kepulangannya dari rumah sakit. Keadaannya semakin membaik. Terlebih, Cia juga tak pernah keluar kamar dan itu membuat Dava senang. Setidaknya Cia tak keluyuran dan membuat kesehatannya semakin memburuk.    Saat Cia baru menutup pintu dan ingin berjalan ke lift. Ternyata ada beberapa orang di ruang bermain. Mereka tampak sedang bercanda sambil memegang stik ps di tangan mereka. "Mau kemana, Ci?" Dava menjeda apa yang tengah dia lakukan. "Minum!" Cia acuh dan kembali melangkah, Dava mengangguk lalu kembali duduk untuk melanjutkan acara mabar-Nya dengan teman-temannya. Sampai di dapur, Cia menuang air hangat ke dalam gelas dan menghabiskannya dengan cepat. Gadis itu kembali menuang air ke dalam gelas. Tiba-tiba, Cia dikejutkan oleh suara yang terdengar di bel
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
8
DMCA.com Protection Status