All Chapters of Mengandung Bayi Bos: Chapter 11 - Chapter 20
49 Chapters
Part 11. Oh, Pak Adit
Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.Ya, ampun. Apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini."Kenapa melamun?"Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu."Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu."Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah.""Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak.""Sudah sarapan?""Sudah, Pak. Saya sudah sarapan.""Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan
Read more
Part 12. Sekamar dengan Sergio
Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu, tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku. Ada apa dengannya? Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya. "Mbak?" "Lepas!" hardiknya. "Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi. "Lepas kubilang!" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!" Dia masuk kamar tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan. Aku masih berdiri di antara kamar kami. Mem
Read more
Part 13. Tempat Rahasia
Mbak Sari membelalak karena melihat Mas Gio menangkap tubuhku dari belakang. Sama halnya dengan Mas Gio yang terkejut melihat wajah istri pertamanya yang lebam.   "Sari!" tegur Mas Gio yang keheranan.   Apa Mas Gio mendengar ucapanku tadi? Semoga saja tidak, karena aku belum menyelidiki apa pun tentang Mbak Sari.   "Kenapa wajahmu?"   Mas Gio melepas genggamannya dari tubuhku begitu saja dan hampir membuatku terjatuh kedua kalinya. Ia mengambil langkah untuk menghampiri istri tuanya.   Aku menepuk jidat. Nasib istri yang tak diakui, dilirik pun tidak. Aku ditangkapnya mungkin karena tadi kebetulan terjatuh di hadapannya. Pada akhirnya, p
Read more
Part 14. Bunglon
"Mungkin. Tapi kalau dia sedang merasa banyak pikiran. Dia akan pergi ke suatu tempat." "Oh, ya? Tempat apa itu?" "Ada laaah ... tempat yang bisa membuat pikirannya tenang." Bikin penasaran saja. Tempat yang membuat tenang itu, kan banyak. Bisa di pantai, gunung, kuburan, bahkan hati aku. Aku mau bertanya satu hal penting lagi padanya selagi di kantin masih sepi "Oh, ya, Pak?" "Hm?" Dia menaikkan alisnya. "Pak Ibrahim itu kan sudah tidak ada. Kenapa Pak Sergio tidak menjabat CEO? Bukannya, kursi itu kosong?" Pak Adit yang baru saja menyeruput minumannya, segera menggeleng dan menggoyang tangan kanannya. Dia tidak membenarkan kesimpulan yang kubuat. "Jadi,--" Aku menahan ucapanku sendiri. 
Read more
Part 15. Harga Diriku
Setelah merasa diperhatikan Mbak Sari, aku langsung bersembunyi. Sepertinya aku harus segera pergi dari semak-semak. Aku menarik kerudung yang tadi sempat terlepas agar menutupi sebagian wajahku lagi. Dug! "Sudah saya duga, kan! Kamu yang tadi mengelak membuntuti saya! Siapa kamu! Siapa yang memerintahmu untuk mengikuti saya?!" Mbak Sari berdiri di hadapanku lantas mencengkeram ke atas kerah baju. Secepat itu dia keluar dari kafe sampai ke sini? Aku membuka kerudung yang menghalangi batas hidung ke bawah sebagai cadar, dilanjut dengan menarik kacamata hitam. Aku merasakan cengkeramannya melonggar disertai tatapan terkejut saat mengetahui siapa aku. "Ri-rimar?! "Ya, ini saya. Kebetulan saya melihat Mbak di rumah sakit ini. Tak mau kehilangan jejak, jadi sekalian saya mengikuti kemana Mbak pergi. Ternyata sama dia!" Aku mendengkus. Lalu, me
Read more
Part 16. Beradu Mulut
"Marimar!" Dia berteriak. Lalu, menarik tangan dan mengempaskannya berikut tubuhku yang tengah mengandung. Aku tak bisa menahan tangannya yang dengan kuat mendorong, akibatnya tubuhku terpelanting dan tersungkur di aspal."Aaahh toloong ...." Aku memanfaatkan kondisi jalan yang ramai agar perhatiannya tertuju pada aku dan Mas Gio.Benar-benar aku sudah menahan emosi ini pada puncaknya. Entah sampai kapan dia akan bersikap seperti itu? Mungkin sampai aku pergi dari kehidupannya, tapi mana bisa? Dia memiliki keturunan dari darah dagingnya sendiri. Walau aku pergi sejauh apa pun, kelak anaknya ini akan mencarinya."Kenapa ... kenapa, Mbak?""Mbak, baik-baik aja?""Mas, Mbaknya kenapa gak ditolong?!"Begitu pertanyaan dari beberapa orang yang menghampiri kami."Sa-saya istrinya, dia ... hampir menabrak dan mendorong saya yang sedang hamil." Tak terasa air mata mengalir di salah satu ekor mataku. Mungkin ini efe
Read more
Part 17-Malam Kelam.
Suara klakson di luar meminta agar pintu gerbang segera dibuka. Lalu, sebuah mobil sedan hitam berlogo kincir angin keluaran tahun 2010 memasuki pelataran rumah setelah seorang pekerja membuka gerbang. Sang sopir keluar dari mobil, lalu membukakan pintu penumpang. Ia menunggu seseorang yang keluar dari seat belakang. Kemudian, mama mertuaku yang berpenampilan sederhana, tapi elegan tengah berjalan ke arah kami berdiri. "Kalian sedang apa di sini? Tumben sekali?" Selalu dengan senyumnya yang hangat dan bijaksana. "Cuma sedang mengobrol, Ma," jawab Mbak Sari. "Mama, kok, baru pulang?" rengek si bungsu sambil bergelayut di lengan mamanya. "Iya, tadi pertemuannya agak lama, Lisa. " Mama menjawab sambil tangannya mengusap kepala anak bungsu yang sedang bersandar itu. "Ya, sudah ... teruskan saja. Mama masuk duluan, ya?" sambungnya. Lisa melepa
Read more
Part 18. Menemukan Bukti
"Sudah, ya? Besok kita cari sama-sama. Sekarang sudah malam, waktunya kita melanjutkan tentang kita." Kalimat terakhir yang diucapkan Mas Gio.Degh!Te-tentang kita? Tentang apa? Yang tadi? Ya, ampun. Apa aku harus semalaman di dalam lemari dengan baju-baju dan sprei yang terlipat rapi? Lalu, mereka melanjutkan ....Aku menutup mata. Aku tidak mendengar apa pun. Begitulah aku meyakinkan diri di tengah tragedi ranjang bergoyang yang membuat hati ini terasa panas.Kakiku yang sejak tadi dilipat terasa sulit digerakkan karena tidak juga berubah posisi. Aku memukul-mukulnya pelan untuk menghilangkan kebas. Keadaan yang sempit dan pengap membuat aliran air yang keluar dari pori-pori kulit bercucuran di dahi dan membasahi sebagian badanku.Aku berusaha menampik apa yang kudengar dengan menutup telinga rapat-rapat. Namun, tetap saja suara gaduh mereka sampai ke telingaku. Dalam dada berdegup kencang, bagaimana caranya aku bisa pergi agar tidak mendengar p
Read more
Part 19. Investigasi Pertama
Aku kembali menatap layar memperhatikan satu persatu foto, kemudian fokus pada satu video. Di situ, Mbak Sari tampak berbaring di ranjang seperti rumah sakit. Lalu, dokter menyuntikkan sesuatu di tangan Mbak Sari dan menepuk-nepuknya setelah beberapa saat.Tunggu, kenapa dia disuntik di lengan? Bukannya untuk memasang IUD hanya disuntik di bagian leher rahim? Lalu, operasi apa yang sedang dilakukan Mba Sari itu?!"Rimaaaaar ...." Lani mengejutkanku dari belakang sambil menepuk bahu.Sontak langsung kumatikan video yang baru berlangsung sekitar lima menit. Lalu, aku matikan ponsel dan meletakkannya kembali di meja."Nonton apa, sih?""Cuma ... nonton drakor, Lan." Kujawab asal saja padahal aku tak pernah menontonnya sama sekali, hanya sering mendengarnya saja."Ooh, drakor, ya? Judulnya apa? Mau, doong ... semua judul udah kulahap habis, nih.""Itu drakor apa gorengan?""Hahaha." Lani malah dan Bu Hani malah tergelak.
Read more
Part 20. Widuri atau L?
Dia dengan lihainya memacu kendaraan roda dua yang masih terlihat baru itu, badannya meliuk-liuk seperti Mark Marquez membelah jalanan kota Jakarta yang sangat padat. Beruntung hari sudah menjelang sore, cuaca agak teduh dan mendukung aku untuk berinvestigasi.Dalam waktu tujuh menit, aku sudah sampai di Wisma Tulip dari yang seharusnya dua puluh menit. Sebelumnya, aku meminta sang driver untuk berhenti di samping wisma itu agar tak terlalu kentara.Kemudian, aku memberinya tips lebih karena berhasil mengantar dengan kilat ekspres halilintar walaupun saat aku melihat wajah si pengemudi sudah tak jelas bentuknya.Setelah si driver pergi, aku berjalan mengendap di depan pagar dan bersembunyi di bawah pohon palem. Karena terlalu jauh jaraknya, aku sampai tak bisa melihat apa pun. Akhirnya, kuputuskan untuk sedikit mendekat dan bersembunyi di balik bekas batang pohon besar yang pernah ditebang, karena tak ada tempat lain untuk bersembunyi.Aku memperhatikan g
Read more
PREV
12345
DMCA.com Protection Status