Semua Bab Arya Tumanggala 2: Bab 61 - Bab 70
150 Bab
Dugaan Rakryan Rangga
SELEPAS melakukan pemeriksaan terhadap Sukarta dan dua anak buahnya, Rakryan Mantri Tumenggung mengajak Rakryan Rangga dan yang lain-lain berunding. Sang panglima merasa perlu segera menyusun rencana pencarian.Sebelumnya, siapa pembokong keji yang menewaskan ketiga tahanan tidak terkejar. Rakryan Rangga, Senopati Arya Mandura, Palasara dan beberapa prajurit yang turut mengejar kembali dengan tangan kosong.Meski kecewa, Rakryan Tumenggung tak mau berlarut-larut menyesali keadaan. Baginya, lebih baik segera bertindak walaupun hanya berbekal sepotong keterangan dari mulut Sukarta."Jenggala itu luas, ke mana kita harus mencari keberadaan Gusti Puteri. Bagaimana pendapat kalian?" ujar Rakryan Tumenggung membuka pembicaraan.Sang panglima memandangi satu demi satu semua yang duduk di hadapannya. Tampak mereka juga saling pandang, seolah berunding dengan mata siapa yang akan bertindak sebagai juru bicara."Mohon ampun, Gusti Tumenggung ..." Palasara akhirnya minta izin menanggapi. "Jika m
Baca selengkapnya
Keterangan Ganaseta (2)
KEDATANGAN Rakryan Mantri Tumenggung bersama Rakryan Rangga ke ruang tahanan bawah tanah membuat para prajurit penjaga terkejut. Seorang lurah prajurit yang bertindak sebagai kepala pasukan yang berjaga langsung menghadap kedua pejabat tinggi tersebut."Antar kami ke ruang tahanan Senopati Arya Lembana!" perintah Rakryan Tumenggung, setelah menerima basa-basi dari pasukan penjaga yang menyambutnya."B-baik, Gusti," sahut lurah prajurit yang baru datang, lalu memimpin jalan menuruni tangga masuk.Arya Lembana tengah termangu-mangu di dalam ruang tahanannya. Senopati itu agaknya masih berusaha memecahkan rahasia diketemukannya seragam prajurit Panjalu di tempat kejadian penculikan Dyah Wedasri Kusumabuwana.Saat tengah asyik menyusun dugaan di dalam kepala, suara nyaring beradunya logam di pintu mengalihkan perhatian Arya Lembana. Senopati itu seketika bangkit dari duduknya ketika melihat siapa yang datang."Gusti Tumenggung ..." Arya Lembana menghaturkan sembah kepada atasannya."Tidak
Baca selengkapnya
Lelaki Bercaping
PARA pengunjung di warung makan dekat pertigaan itu sontak berdiri. Mereka kaget sekaligus merasa penasaran tatkala mendengar suara berderap kencang dari arah jalanan tanah di muka warung. Tepat pada saat para pengunjung berdiri memandangi jalan, sepasukan prajurit berkuda melintas. Jumlahnya tak kurang dari 50 orang, dipimpin oleh seorang bekel bersama dua lurah prajurit. Suara gemuruh itu ditingkahi dengan ringkikan kuda, juga bentakan-bentakan para penunggangnya. Para pengunjung warung langsung berkasak-kusuk di antara mereka, sembari mengikuti arah kepergian pasukan tersebut. "Mau ke mana mereka?" tanya salah seorang pengunjung warung pada temannya. "Mana kutahu," sahut yang ditanyai acuh tak acuh. "Sudah, ayo makan lagi. Ada prajurit lewat saja heran." "Bukan heran," sergah pengunjung pertama. "Ini sudah kali ketiga aku mengetahui ada sepasukan prajurit meninggalkan Kotaraja. Kemarin juga ada, lalu sekarang. Sepertinya ada sesuatu yang gawat tengah menimpa kerajaan kita." "B
Baca selengkapnya
Bekel Pembelot
MENJELANG petang, lelaki bercaping tiba di sebuah dawuhan (waduk) di Paradah. Sinar matahari kekuningan dan langit yang dipenuhi awan membayang di permukaan air.Dawuhan itu berbentuk lonjong membujur utara-selatan, disanding sebatang sungai besar dan sederet pebukitan membiru di sisi timur. Sementara di selatan sana Gunung Kampud berdiri gagah.Lelaki bercaping mengendap-endap di balik pepohonan yang tumbuh memenuhi tepian dawuhan di sisi barat. Dari balik caping ia mengamati keadaan di sekeliling dawuhan, tetapi tidak menemukan tanda-tanda yang menarik perhatian."Semoga saja bekel tua itu datang kemari besok. Aku benar-benar membutuhkan bantuannya sekarang," gumam lelaki tersebut. Gerahamnya tampak mengeras.Ia lantas berkelebat ke arah timur, menyeberangi sungai lebar yang airnya tidak terlalu dalam. Dengan lincah lelaki bercaping meloncat dari satu batu ke batu lain yang mencuat di permukan sungai.Tepat di sebelah sungai itu terdapat deretan pebukitan dipenuhi pepohonan menghija
Baca selengkapnya
Pesan Bibi
GELAPNYA malam mulai menyungkupi tlatah Panjalu. Di dataran tinggi seperti Hantang, kabut yang turun sejak menjelang sore sudah membuat suasana remang-remang sedari tadi. Ditambah hawa dingin mencucuk tulang.Di kediaman bibinya, Citrakara tengah menghadap wedang jahe hangat dalam gelas bambu di ruang tengah. Tumanggala duduk di sebelahnya, tampak sibuk mengupas ubi jalar rebus.Ketika kulit tanaman umbi itu berhasil dikelupas, asap mengepul dari permukaannya yang berwarna ungu gelap. Tanpa memedulikan rasa panas, Tumanggala enak saja memasukkan sepotong besar ubi jalar ke dalam mulut."Kau belum bilang pada Bibi, Kakang?" tanya Citrakara yang juga tengah mengunyah ubi jalar.Kalau Tumanggala langsung memegangi ubi yang sedang ia santap dengan tangan, Citrakara makan beralaskan piring tanah liat kecil. Perempuan itu juga menyantap makanannya dengan perlahan-lahan."Belum," jawab Tumanggala yang masih mengunyah."Tunggu apa lagi?" desak Citrakara lagi. "Bukankah lebih cepat akan lebih
Baca selengkapnya
Kisah Tumanggala
SETELAH meredakan tangisnya, Citrakara masuk ke kamar untuk beristirahat. Sesampainya di dalam, ia lihat Tumanggala belum tidur. Prajurit itu tengah duduk di tepi pembaringan, dengan tubuh bersandar kepala ranjang. Begitu mendengar suara pintu terbuka, Tumanggala langsung bangkit dan menghampiri Citrakara. Hal ini membuat Citrakara tercekat. Seketika ia menghentikan langkah, lalu menatap malu-malu pada Tumanggala yang telah berdiri di hadapannya. Duh, jangan-jangan Kakang Tumanggala mendengarkan semua pembicaraanku dengan Bibi tadi? Citrakara jadi menduga-duga sendiri di dalam hati, sembari menggigit bibir. "Bibi sudah tidur?" tanya Tumanggala, sambil mencondongkan badan untuk mendorong pintu kamar yang tak sempat ditutup oleh Citrakara. "S-sepertinya sudah," jawab Citrakara yang tiba-tiba saja jadi gugup. "Tadi Bibi duluan yang masuk kamar." "Kalau begitu, ganti aku yang ingin bicara denganmu," ujar Tumanggala, membuat jantung Citrakara berdegup tak karuan. "B-bicara, Kakang?"
Baca selengkapnya
Mata-Mata
TUMANGGALA bergegas keluar kamar, langsung menuju bagian belakang rumah. Citrakara mengikuti dengan wajah cemas, tetapi hanya berani sampai ambang pintu dapur.Mengandalkan ketajaman mata dan pendengarannya, Tumanggala berjalan dalam gelap. Ia mendekati tempat kudanya ditambatkan dan merasa lega hewan tersebut masih berada pada tempatnya semula.Mengetahui kedatangan Tumanggala, kuda itu mengeluarkan suara-suara resah. Seolah hendak memberi tahu sesuatu yang sayangnya tidak dimengerti oleh Tumanggala."Kau melihat sesuatu? Tenanglah, aku akan mencarinya," ujar Tumanggala, sembari mengelus-elus belakang leher kudanya dan mengamati sekeliling.Tak lama kemudian hewan tersebut kembali tenang. Tumanggala tajamkan pandangan dan pendengarannya untuk menangkap tanda-tanda apapun yang dapat diperoleh.Namun tak terdengar apa-apa selain suara-suara hewan malam. Derik jangkrik, kukuk burung hantu, kepak sayap kelelawar, juga gemericik aliran air di sungai belakang sana yang sayup-sayup sampai.
Baca selengkapnya
Pertarungan di Tepi Sungai
MENDENGAR seruan orang, dua lelaki bercaping menoleh ke belakang. Namun mereka malah mempercepat laju lari ketika tahu Tumanggala tengah mengejar."Bedebah!" maki Tumanggala geram.Sang prajurit mengerahkan kemampuan lari cepatnya sampai mentok. Satu kepandaian yang ia pelajari dari petapa tua di Teluk Secang. Kemudian di satu tempat tubuhnya melenting tinggi ke udara.Setelah berputar beberapa kali di udara, Tumanggala mendaratkan sepasang kakinya tepat di hadapan dua orang yang dikejar. Hal ini membuat kedua orang tersebut kaget bukan baik dan mau tak mau berhenti berlari."Kisanak berdua, mengapa kalian lari menghindariku?" tanya Tumanggala.Sembari bertanya begitu, Tumanggala pandangi dua orang di hadapannya lekat-lekat. Namun sulit baginya mengenali wajah mereka yang lebih separuhnya tertutup caping lebar.Sementara yang ditanyai saling berpandangan. Tak seorang pun dari mereka yang mau menjawab.Tumanggala manggut-manggut, sembari menyeringai tipis. Bertambah yakinlah ia jika ke
Baca selengkapnya
Mengorek Keterangan
MELIHAT temannya roboh bersimbah darah, lelaki bercaping satunya jadi kecut. Namun ia tutupi rasa takut dengan menggeram marah.Dengan wajah mengelam merah, lelaki tersebut menghunus golok di tangannya ke depan. Pandangan matanya yang tajam berkilat tertuju tepat-tepat pada Tumanggala."Prajurit keparat! Kau harus mati di tanganku!" geram lelaki bercaping.Bentakan itu membuat Tumanggala kaget. Bagaimana orang di hadapannya ini tahu kalau dirinya seorang prajurit, sedangkan mereka baru pertama kali bertemu?Tidak salah lagi. Berarti benar mereka berdua tadi datang untuk memata-matai. Bisa jadi ini semacam prajurit perintis yang biasa dikirim sebelum sebuah penyergapan dilakukan.Tugas para prajurit perintis adalah mengetahui seluk-beluk tempat dan keadaan di mana orang yang hendak disergap berada. Itu artinya keberadaan Tumanggala di Hantang inisudah diketahui oleh pihak Kerajaan."Hiaaatt!"Belum selesai Tumanggala menduga-duga dalam hati, lelaki bercaping di hadapannya sudah melesat
Baca selengkapnya
Citrakara Sendu
CITRAKARA tercekat mendengar ucapan Tumanggala, juga melihat paras sang prajurit yang begitu tegang. Ia jadi bertanya-tanya apa sebenarnya yang tengah menimpa pujaan hatinya tersebut."Ada apa, Kakang? Apa yang terjadi?" tanya Citrakara yang jadi ikut cemas.Tumanggala tarik lengan perempuan itu, lalu membawanya menjauh dari sungai. Ia khawatir bakal ada serangan susulan dan membuat Citrakara celaka."Aku baru saja bertemu dua orang asing di seberang sana. Gerak-gerik mereka sangat mencurigakan. Agaknya mereka tengah memata-mataiku," jawab Tumanggala setelah mereka agak jauh.Paras Citrakara sontak berubah. Ada rona ketegangan yang terpancar jelas di sana. Kecemasan di dalam diri perempuan itu semakin bertambah-tambah."Kau yakin tidak salah lihat, Kang? Mungkin saja mereka penduduk sekitar sini yang sedang mencari ikan di sungai," ujar Citrakara, mencoba menenangkan dirinya sendiri.Tumanggala langsung menggeleng."Aku dapat membedakan mana penduduk biasa, mana prajurit kerajaan dan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
56789
...
15
DMCA.com Protection Status