Semua Bab Arya Tumanggala 2: Bab 71 - Bab 80
150 Bab
Marabahaya Mengadang
BEGITU Citrakara melepaskan pelukan, Tumanggala langsung melompat naik ke atas pelana kuda. Diikuti pandangan sendu perempuan itu, sang prajurit menggebah hewan tunggangannya. Kuda yang kaget meringkik keras, sembari mengangkat kedua kaki depan. Sekali lagi Tumanggala menggebah, hewan tersebut melesat pergi meninggalkan halaman belakang rumah bibi Citrakara. Debu mengepul tinggi ke udara, membuntuti sepanjang jalan yang dilalui Tumanggala. Sementara matahari pagi semakin merangkak naik. Sinarnya yang semula lembut mulai menghangat. Kabut dan embun perlahan sirna. "Jika benar dua orang tadi adalah prajurit perintis, berarti sudah ada pasukan dari Daha yang bersiaga di dekat-dekat sini," gumam Tumanggala, sembari matanya awas mengamati jalan di depan. "Kalau begitu, sebaiknya aku menghindari jalan-jalan utama agar jangan sampai bertemu dengan mereka selepas dari sini," lanjut Tumanggala. Andai dugaan Tumanggala benar, ia baru akan mendapat ancaman begitu meninggalkan Hantang. Segena
Baca selengkapnya
Dikeroyok Sepasang Rase Merah
SATU pukulan dan satu tendangan dengan cepat mengarah ke tubuh Tumanggala. Deru angin kencang mengiringi datangnya dua serangan tersebut. Didahului satu geraman keras, Tumanggala pasang kuda-kuda. Kedua tangannya ditarik ke belakang, sementara telapak yang terkepal erat disiagakan di pinggang. Sejajar dengan perut. Sambil menunggu datangnya serangan, sang wira tamtama alirkan tenaga dalamnya pada kedua belah tangan. Ia memutuskan untuk melakukan tangkisan, sekaligus mencari tahu seberapa tinggi kemampuan kedua lawan. Begitu pukulan dan tendangan yang dilepas lawan-lawannya tiba, Tumanggala membentak garang sambil gerakkan kedua tangan secara berbarengan. Satu gerakan cepat yang membuat kaget Sepasang Rase Merah. Buk! Buk! Terdengar suara benturan kerasa manakala kedua lengan Tumanggala beradu dengan tangan dan kaki lawan-lawannya. Wira tamtama Panjalu itu terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya tampak mengernyit kaget. Rupanya kedua lawan juga mengerahkan tenaga da
Baca selengkapnya
Jebakan Licik
PARA prajurit magalah yang terjatuh duduk tak sempat lagi menghindar. Tanpa ampun tubuh mereka jadi sasaran empuk pukulan jarak jauh yang dilepas Rase Merah Kedua. Jerit kesakitan setinggi langit keluar dari mulut mereka. Tubuh para prajurit yang menjadi korban terpental jauh ke belakang, lalu berjatuhan di balik semak belukar lebat di tepi jalan. Baik Surama maupun Paladhu sama terbelalak kaget melihat kejadian tersebut. Namun mereka tak ambil peduli, sebab para prajurit itu hanyalah alat bagi mereka untuk menaklukkan Tumanggala. "Dasar bodoh!" maki Surama, tetapi sambil tertawa kecil. Sementara Tumanggala memanfaatkan keadaan tersebut dengan baik. Ia menyelinap di antara prajurit yang berlarian menyelamatkan diri. Tangannya bergerak cepat merebut sebatang tombak dari tangan salah satu prajurit. Setelah itu Tumanggala melentingkan tubuh tinggi-tinggi ke udara, keluar dari kerumunan. Di kedua tangannya kini tergenggam pedang dan tombak. Setelah bersalto beberapa kali, ia mendarat
Baca selengkapnya
Tumanggala Pasrah
TAK dapat dihindari lagi, jaring besar lagi berat yang dilepas entah siapa itu memerangkap tubuh Tumanggala. Lalu ada yang menarik dari satu arah, membuat jaring melilit sekujur tubuh sang wira tamtama dengan kencang. "Sial!" Tumanggala merutuk, setengah mendesis. Seluruh tubuh Tumanggala dari ujung kepala hingga ke kaki benar-benar tak dapat digerakkan. Bahkan untuk sekadar memutar pedang yang berada dalam genggaman tangan pun tidak bisa. Berulang kali Tumanggala mencoba melepaskan diri, dengan cara menggoyang-goyangkan tangan dan kakinya. Namun jerat jaring tersebut justru menjadi semakin erat saja. Bertepatan dengan itu satu sosok mendekati Tumanggala, sembari tertawa terbahak-bahak. Begitu orang yang baru datang berhenti di depannnya, sang wira tamtama jadi kaget luar biasa. "Bekel Kridapala?" desis Tumanggala. Mendengar namanya disebut, orang yang memang adalah Kridapala hentikan tawanya dan memandangi Tumanggala lekat-lekat. Surama dan Paladhu ikut berdiri di sebelah bekel
Baca selengkapnya
Si Tua Nyentrik
TUMANGGALA pejamkan mata. Ia tak mungkin menghindar karena seluruh tubuhnya terikat erat. Wira tamtama itu hanya bisa berkomat-kamit, memanjatkan permohonan pada Sang Hyang Tunggal. "Baiklah, begini rupanya akhir perjalananku di Hantang," desah Tumanggala. Lalu lagi-lagi bayangan Citrakara memenuhi kepala Tumanggala. Namun tidak seperti tadi yang tersenyum, kali ini perempuan itu tampak menangis tersedu-sedu. Sementara ketegangan menyelimuti orang-orang yang menyaksikan adegan tersebut. Semakin dekat ujung pedang Paladhu ke kulit paha Tumanggala, bertambah pula rasa tegang di benak semua orang. Namun tinggal sejari lagi ujung pedang menembus kaki Tumanggala, tiba-tiba saja Paladhu memekik keras. Pedang di tangannya seolah terhantam batu besar, lalu terpental lepas dari genggaman. Traaak! Klontang! Dengan wajah pucat berkeringat, Paladhu terjajar mundur beberapa langkah. Sepanjang tangannya seketika bergetar hebat, sekaligus terasa ngilu bukan alang kepalang. Kridapala dan Suram
Baca selengkapnya
Unjuk Kemampuan
PEDANG di tangan Kridapala terayun deras, menyilang ke dua sasaran berbeda pada tubuh si lelaki tua. Suara mendesing nyaring menyertai gerakan senjata tersebut. Yang diserang tampak tenang-tenang saja. Malah enak saja memasukkan jari kelingking ke lubang hidung. Kemudian mencongkel-congkel sesuatu di dalam sana dengan mata merem-melek. "Keparat!" Kemarahan Kridapala semakin menjadi-jadi. Sikap yang ditunjukkan si lelaki tua jelas sekali sangat meremehkan bagi Kridapala. Namun apa yang terjadi kemudian mengagetkan semua yang ada di sana, termasuk Kridapala sendiri. Trang! Trang! Tinggal serambut lagi mata pedang Kridapala mengenai sasaran, kedua tangan si lelaki tua bergerak cepat. Sangat cepat sekali, sampai-sampai gerakan tersebut tak dapat diikuti pandangan mata siapapun. Tahu-tahu saja sudah terdengar suara berdentrangan. Kridapala merasakan pedangnya menghantam permukaan keras, serupa batu karang. Sekujur tangan bekel itu sampai bergeta hebat dibuatnya. Bukan itu saja. Bahka
Baca selengkapnya
Dikeroyok Tiga
TANPA ampun tinju keriput si lelaki tua mendarat telak di dada Rase Merah Pertama. Membuat lelaki berpakaian merah itu mengeluh tertahan. Ulu hatinya seketika terasa sesak.Saking kerasnya pukulan lelaki tua tadi, tubuh Rase Merah Pertama sampai terjajar ke belakang. Andai saja sebelah tangannya tidak sedang dicengkeram lawan, tentulah tubuhnya sudah terlempar jauh.Belum lagi Rase Merah Pertama tarik napas untuk meredakan sesak di dada, tangan si lelaki tua kembali bergerak. Kali ini cengkeraman jari-jari kurusnya diketatkan, menekan kuat-kuat kulit dan daging yang membungkus tulang siku."Aaaaaa!"Lolongan setinggi langit keluar dari mulut Rase Merah Pertama. Sepasang mata pendekar itu membeliak lebar, seolah bola putih miliknya hendak mencolok keluar dari rongga. Rasa sakit di sikunya bukan alang kepalang.Ketika pandangannya terarah pada siku, paras Rase Merah Pertama sontak berubah tegang. Napasnya tertahan, sedangkan jantungnya berdegup jauh lebih kencang.Entah sejak kapan jema
Baca selengkapnya
Menang Telak
NAMUN Tumanggala masih beruntung. Batang pohon yang patah itu tidak jatuh ke arahnya, melainkan sisi sebelah sana. Suara berdebam keras terdengar manakala patahan tersebut menghantam permukaan tanah. "Oh, untung saja ..." Tumanggala mendesah lega. Sementara itu si lelaki tua putar tubuhnya di udara. Berjungkir balik beberapa kali, untuk kemudian mendarat tepat di belakang punggung Kridapala dan Paladhu. Dua orang tersebut baru saja terkaget-kaget karena serangan mereka hanya mengenai angin kosong. Begitu mengetahui lawan sudah berpindah ke belakang, keduanya sontak berbalik badan. Sungguh satu kesalahan. Sebab tepat pada saat itulah si lelaki tua ulurkan tangannya kanan kiri sekaligus. Mengirim dua pukulan keras ke arah wajah dua anggota tata keprajuritan Panjalu tersebut. "Kalian makan tanganku ini!" seru si petapa nyentrik dari Teluk Secang. Kridapala dan Paladhu lagi-lagi terkaget-kaget. Mereka tak sempat menghindar, sehingga tanpa ampun dua jotosan tersebut mendarat di wajah
Baca selengkapnya
Ajakan Guru
SURAMA mengeluh tinggi, merasakan sesak yang tiba-tiba saja membungkus jalur pernapasannya. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang, untuk kemudian jatuh terjengkang dengan keras. Tumanggala yang benar-benar merasa kesal tak mau memberi ampun. Ia langsung melenting ke arah jatuhnya Surama. Tombak di tangannya dipegang dengan dua tangan, siap ditancapkan ke dada lawan yang sedang telentang tanpa daya. Di tempatnya, Surama jadi membelalak ngeri. Ia coba bangun untuk menghindar, tetapi urung dilakukan karena ternyata seluruh tulang-belulangnya terasa nyeri. Tenaganya seakan-akan lenyap. Akhirnya Surama hanya bisa memejamkan mata pasrah. Namun keberuntungan masih memihak padanya. Belum sampai mata tombak di tangan Tumanggala mencapai sasaran, satu seruan keras terdengar. "Cukup, Tumang! Hentikan!" Yang berseru si lelaki tua. "Lawanmu itu sudah tidak berdaya." Tumanggala sontak hentikan gerakannya dengan kesal. Tombak di tangan ia lempar secara serampangan ke tanah. Saat mendarat di sisi S
Baca selengkapnya
Kejutan di Tepi Kotaraja
"SIAL! Sungguh sial dangkalan!" Makian keras itu menggema hingga ke punggungan pebukitan di sebelah barat. Kridapala benar-benar kesal dan marah sekali.Bekel itu tampak mondar-mandir dengan wajah tegang. Berkali-kali terdengar helaan napasnya yang diikuti dengan dengusan kasar. Sementara gerahamnya sedari tadi bergerak-gerak tanpa henti.Bagaimana Kridapala tidak kesal. Tumanggala yang jadi buruannya sudah tertangkap dan tinggal dihabisi tadi. Namun tanpa diduga-duga datanglah si lelaki tua mengacaukan segalanya.Bukan saja Tumanggala kembali bebas dan sekarang pergi entah ke mana, Kridapala bersama yang lain-lain juga mendapat luka-luka yang terhitung parah. Terutama Surama yang sejak tadi hanya tergolek lesu di atas rerumputan."Dua pendekar musang itu juga sialan betul! Bisa-bisanya mereka melarikan diri ketika kita masih membutuhkan bantuan!" geram Kridapala lagi.Pendekar musang yang dimaksud Kridapala tentu saja Sepasang Rase Merah. Sewaktu Kridapala dan Paladhu tergantung di c
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
678910
...
15
DMCA.com Protection Status