All Chapters of Cinta yang Salah: Chapter 11 - Chapter 20
40 Chapters
Part 11
Kami memasuki kamar yang sudah aku pesan. Sikapnya semakin tidak terkontrol. Sebagai laki-laki normal, aku pun semakin ingin merasakan kenikmatan yang lebih bersamanya. Lampu di dalam kamar sengaja tidak dimatikan. Itu bertujuan agar aku melihat pemandangan yang indah dari tubuhnya. Sensasi itu membuatku semakin bersamangat untuk berpeluh bersama. Dan juga, aku menyuruhnya untuk bersuara agar semakin merasakan kenikmatan itu. Semua yang ada di sini memang bebas sesuai keingian. Jadi, mau malakukan apa pun itu tetap sah-sah saja. Kecuali jika ada razia, tempat ini akan tutup sementara waktu dan akan kembali beroperasi jika dirasa sudah aman. “Dan, aku sangat menikmati ini semua. Aku puas, Dan.” Dia mengecupku beberapa kali dan kami sama-sama kele
Read more
Part 12
“Dan, kayaknya ada yang aneh deh. Kenapa aku belum datang bulan ya? Padahal biasanya dapat tanggal sepuluhan, ini sudah akhir bulan. Ck! Atau jangan-jangan, aku hamil? Ahh! Masa iya? Aku ‘kan selalu pakai pengaman.” Faniza duduk di sebelahku dengan wajah yang bingung. Di dalam hatiku seperti ada semilir angin yang berembus. Rasanya sangat bahagia seperti mendapat undian berhadiah dengan nominal yang cukup besar. Apa yang aku tunggu dan harapkan, akhirnya terjadi juga. Mungkin karena hamil Faniza jadi telat datang bulan. “Wah! Iya tuh. Kayaknya kamu kebobolan, Ay. Terus gimana? Apa kamu mau tetap bekerja sampingan?” Bukannya ikut merasakan kekecewaan dan kesedihannya, aku justru sangat berantusias dengan wajah yang berbinar penuh harap. 
Read more
Part 13
“Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, ya, selamat. Kalian akan segera menjadi orang tua. Mbak Faniza sedang mengandung seorang anak. Usia kandungannya diperkirakan memasuki umur delapan minggu. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk kalian.” Perkataan yang dilontarkan oleh seorang dokter kandungan tersebut membuatku sangat bahagia. Tanpa sadar, bibirku mengembang. Namun, saat melihat ke arah Faniza, ia terlihat sangat terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang terukir di bibirnya. Perlahan senyumku ikut memudar. “Oh iya, Bu. Terima kasih atas informasi yang sangat membahagiakan ini. Kami pamit untuk segera pulang ke rumah.” Karena Faniza hanya bergeming tanpa ada tanggapan sedikit pun, akhirnya aku memutuskan untuk segera me
Read more
Part 14
“Ay, ceritakan semuanya kepadaku. Aku nggak mau kalau kamu memendamnya sendirian. Ada aku yang selalu mencintaimu. Aku yang selalu ada untukmu, Ay. Jangan sembunyikan semua beban di pundakmu. Ceritakan semuanya padaku, Ay. Tentang kehamilanmu, aku minta maaf karena telah melakukannya dengan cara yang curang. Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu secepatnya.” Kedua tangannya kugenggam erat. Dia sudah mulai tenang dan tidak lagi memberontak. Matanya terlihat sembap. Sejak tadi air matanya tidak mau berhenti. “Iya, Dan. Dari dulu sebenarnya aku ingin bercerita sama kamu. Tapi, aku berpikir kamu itu terlalu baik padaku. Aku nggak mau merepotkanmu terus, Dan. Nanti kalau kamu tau masalahku, pasti kamu nggak ragu untuk membantuku. Aku nggak enak, Dan. Lebih baik kusembunyikan dan mencari solusi sendiri saja
Read more
Part 15
“Ay, apa kamar ibu mertua masih jauh?” tanyaku. Aku berjalan menggandeng tangan Faniza dan mengikuti langkahnya yang membimbingku pergi ke ruangan tempat ibunya dirawat. Aku rasa sejak masuk ke rumah sakit jiwa ini, kami berjalan cukup jauh ke tempat tersebut. Beberapa bangsal kami lalui. Namun, langkah Faniza belum juga terhenti. “Kok aku aneh ya, mendengar panggilan itu.” Bukannya menjawab pertanyaanku, Faniza justru membahas tentang panggilan baruku untuk ibunya. Dia tetap berjalan menyusuri bangsal tanpa melihat ke arahku. Namun, aku melihat bibirnya mengembang. “Lho, iya ‘kan? Ibumu sebentar lagi akan jadi mertuaku? Nggak ada yang aneh dong, Ay?&
Read more
Part 16
“Wah, Ay. Gambarnya bagus banget. Hmmm, tampan banget ini. Iya sih, kayak aku. Hehehe.” Aku menemukan gambar seorang laki-laki pada lembaran ketiga. Tidak kusangka ternyata ibunya Faniza pandai menggambar. Rasanya familiar saat melihat goresan pensil di atas kertas itu. Ya, seperti melihat diriku sendiri. Atau malah lebih mirip ke wajah ayahku. Kata banyak orang, aku memang sangat mirip dengannya. Orang tampan sepertiku dan ayahku mungkin banyak ditemukan, jadi wajar jika ibunya Faniza berimajinasi seperti ini. “Ngomong aja kalau mau puji diri sendiri, Dan,” sanggah Faniza sambil tersenyum. “Aku selalu ingat dengan wajahmu, Mas. Kamu itu sangat tampan. Aku nggak bisa melupakanmu sampai kapan pun, Mas. Dan sekarang, kamu mau men
Read more
Part 17
“Bu, kami pulang dulu ya? Ibu harus sehat terus di sini ya?” Faniza sudah kembali ke ruangan ini bersama perawat yang sedang bertugas. Aku tak mengira, ternyata calon ibu mertua mau melepaskan pelukannya begitu saja. Dia tidak histeris seperti awal tadi. Apa dia mendengarkan semua yang aku ucapkan? Padahal aku kira dia tidak bisa mencerna ucapanku dengan baik. Atau mungkin karena dia mengira aku adalah suaminya, jadi bisa dengan mudah memahami perkataanku. Mungkin saja begitu. “Kamu sama ayahmu ‘kan? Kamu harus bahagia sama dia. Mas Lutfan orangnya baik banget.” “Iya Ibu. Aku akan bersamanya. Ibu di sini harus bahagia ya? Biar bisa sembuh dan kembali pulang bersamaku.” 
Read more
Part 18
“Ibuku, Ay. Kebetulan banget. Sekalian bisa ngomong kalau besok kita mau pulang.” “Dear, apa kamu yakin, ibumu dan semua keluargamu mau menerimaku?” Jemariku yang akan mengusap layar ponsel menjadi terhenti saat mendengar ucapannya itu. Padahal aku kira permasalahan itu sudah tidak mengganggu pikirannya. Aku akan bertanggung jawab dengan semua yang akan terjadi nanti. “Ay, kamu nggak usah mengkhawatirkan tentang hal itu. Biar aku yang nanti akan mengurusnya. Sebentar ya, aku jawab telepon ibu dulu.” Faniza hanya menggangguk. Dari guratan di wajahnya aku menangkap ada perasaan khawatir yang tengah menghantuinya. Aku sudah sangat berusaha untuk meyakinkannya
Read more
Part 19
“Ay, kamu kok jadi marah sih? Aku salah ngomong ya, Ay? Aku nggak bermaksud ngomong kayak gitu, Ay. Aku minta maaf kalau memang ucapanku menyakiti hatimu, Ay.” Aku mencoba menggapai tangannya untuk kedua kali. Kini dia tak menepisku lagi. Namun, wajahnya terlihat menahan amarah. “Kalau seandainya kamu nggak bisa menerima keadaanku yang seperti ini, kenapa kamu sengaja membuatku hamil, Dan? Ya sudah berikan fotoku apa adanya saja. Biar ibumu tau, aku ini wanita j*l*ng, Dan. Aku malas kalau harus berpura-pura baik kayak gitu. Aku nggak suka, Dan!” “Ya, ya. Aku salah. Aku minta maaf sama kamu. Aku benar-benar mencintaimu, Ay. Aku memintamu seperti itu hanya untuk menyenangkan ibuku saja kok. Mau bagaimanapun nanti tanggapan ibu setelah bertemu denganmu, aku tetap cinta sama kamu, Ay. Nggak pantas saja kalau seandainya aku mengirimkan fotomu pakai lingerie, Ay.”
Read more
Part 20
“Aku sudah ngomong sama kamu kan, Ay. Soal itu jangan dipikirkan lagi. Biar aku saja yang akan bertanggung jawab. Ayo kita tidur saja. Apa kamu mau itu?” Aku menariknya dan membuatnya tidur dalam pelukanku. Masalah yang belum terjadi jangan dipikirkan terlebih dulu. Ya, meski aku tahu nantinya pasti akan ada amarah dari kedua orang tuaku. Jika sudah saatnya nanti, pasti ada solusi terbaik yang bisa diambil. “Nggak, Dear. Aku capek. Maaf ya?” ucapnya seraya menggelangkan kepala. “Iya, nggak apa-apa. Aku cuma iseng kok. Lebih baik kita tidur sekarang saja, Ay. Kita butuh istirahat yang cukup, perjalanannya lumayan jauh. Kamu jangan mikir kayak gitu lagi ya? Kasihan lho dedeknya kalau ibunya sedih terus.” “He-um. Apa kamu sudah siap jadi ayah, Dear?” Dia memegang hidungku yang mancung dan memainkannya.&nbs
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status