All Chapters of Misteri Bulan: Chapter 11 - Chapter 20
101 Chapters
Chapter 11. Dilema
                Semburat sinar mentari menuntun Agil pergi ke rumah sakit. Cuaca pagi itu masih dingin, sementara embun di atas rumput dan dedaunan tampak indah berkilau seperti mutiara di pelataran rumah sakit.  Langkah pria itu tegap dan senyumnya mengembang, dari jauh dia melihat Chandra sudah rapi di depan kamarnya bersama Tante Mirna. Dia melambaikan tangannya, gadis itu membalasnya.                “Eh… kok pagi-pagi sudah ke sini? Apa kamu tidak bekerja?” tanyanya ramah. Dia senang dengan kedatangan pria itu. Agil kelihatan perlente dengan jeans biru dan kemeja putih yang lengannya digulung ke dalam, serta parfumnya yang beraroma kayu, aroma yang mengingatkan Chandra pada bau hutan pinus di desanya. Ia menghirupnya  kuat-kuat memenuhi rongga dadanya.      
Read more
Chapter 12. Kedatangan Ibu Boss
Agil hendak memarkir motornya di depan kantor iNiRice ketika sebuah mobil Lexus masuk danAgil” tanya berhenti di dekatnya. Seorang perempuan setengah baya turun, kemudian dengan tergesa-gesa membuka pintu belakang mobil sebelah kiri. “Hati-hati kepalanya Nyonya…”Kali ini yang keluar adalah wanita cantik dengan penampilan jetset. Sepatu high heels hitam dengan gelang kaki mutiara yang menampakkan kemewahan dan keanggunan menghiasi kakinya yang panjang dan putih. Dia langsung masuk ke kantor iNiRice diikuti oleh perempuan yang terlihat seperti  asistennya.“Di mana kantor Pak wanita cantik itu sambil berkacak pinggang.“Sebentar lagi beliau datang, Bu. Ibu silahkan duduk dulu di sini?” jawab Pak Maman menghentikan pekerjaannya.“Eh… berani sekali kamu menyuruh saya duduk. Apa kamu tidak tahu siapa saya?!” kata perempuan itu ketus dan matanya mendelik menguliti
Read more
Chapter 13. Misteri Nota
Agil baru saja selesai meeting dengan Ibu Silvia dan 3 teman sosialitanya, mereka tertarik untuk menanamkan modal di iNiRice. Agil menceritakan kabar gembira ini pada Arif. Bukannya bahagia, pria itu malah menanyakan hal lain yang tak ada kaitan sama sekali dengan perusahaan.            “Apa kamu sudah menyimpan barang-barangku dengan baik? Tolong jauhkan dari Mamaku,” pintanya setengah berbisik, Agil nyaris tak bisa mendengarnya. Ia melihat ke arah lemari besi.            “Ah… untung saja!” gumam pria berbahu lebar itu lega. Kemarin Ibu Silvia telah meminta barang-barang Arif, tapi karena Agil sibuk, dia lupa memberikan padanya. Barang Arif sebenarnya tak banyak, ada beberapa binder, buku catatan, beberapa buku marketing dan IT. Pria itu menjadi penasaran, kenapa Arif memintanya untuk menyimpannya baik-baik? Kenapa pula Ibu Sil
Read more
Chapter 14. Arwah Gentayangan di Kamar Mandi
Mirna menghentikan mobilnya di depan rumah bercat putih. Dia mengambil remot dan menekannya, pintu pagar rumah terbuka sendiri. Chandra takjub! Mulutnya melongo, seumur- umur baru kali ini melihat pintu pagar seperti punya Tante Mirna. ”Wow keren!” celetuknya tak sadar. Haji Komar, orang terkaya di desanya pagar rumahnya biasa saja. Mirna hanya tersenyum mendengar celetukan gadis itu. “Ayo masuk,” ajaknya sambil membuka pintu rumah, gadis itu mengikutinya. Chandra melayangkan pandang, rumah bergaya minimalis dengan taman kecil itu kelihatan sunyi dan muram. Sisa-sisa rintik hujan tadi pagi masih terasa basah pada daun-daun bunga kamboja, bougenvile yang berserakan menutupi rumput yang mulai meninggi. Sedangkan bunga gantung yang berderet indah di teras sebagian layu dan kering. Gadis itu merasakan ketidaknyamanan, ada hawa dingin menyapu wajahnya saat memasuki rumah Tante Mirna. ia percaya takhayul, kematian Bulan yang tidak wajar membuat bulu kudukny
Read more
Chapter 15. Sepasang Mata Mengintai
Agil masih terjaga, meski malam mulai tadi merambat naik. Mata pria itu masih sibuk menelusuri rekapan laporan delivery oder iNiRice. Ada sesuatu yang menarik hatinya, di sana tertera sepuluh kali pengiriman barang hampir setiap minggu ke Jalan Kenanga 9 yang ditujukan pada Dewi atas perintah Arif.  Kening pemuda itu mengernyit, siapakah Dewi?            Pria itu melirik ponsel yang tergeletak di atas meja. Agil mengambilnya, seketika ia teringat Chandra, bukankah gadis itu tinggal bersama Tante Mirna hari ini dan dia tinggal di Jalan Kenanga. Untuk membuktikan dia tidak salah, Agil membuka kembali percakapannya dengan gadis itu tadi sore. Benar! Alamat Tante Mirna sama dengan yang tertulis pada delivery order. Aneh!            Melihat Chandra masih online, Agil menelponnya.”Halo, Can… kenapa kamu belum tidur?”   
Read more
Chapter 16. Penguntit
Dari kaca spion, Agil mengamati dengan awas dua motor yang mengikutinya semenjak dari rumah Tante Mirna. Ia berusaha mengecoh mereka dengan membelokkan motornya ke mini market, membeli onigiri dan air mineral, kemudian duduk di teras mini market. Ia berusaha menenangkan diri dengan meminum beberapa teguk air, sembari memperhatikan keadaan. Ponselnya berdering, dari Ibu Silvia. Lelaki itu jengah mengangkatnya.             Setelah aman, Agil melanjutkan perjalanannya ke kantor iNiRice, namun dugaannya salah. Tiba-tiba dari belakang muncul motor dan memepetnya lalu menggiringnya ke gang buntu. Empat orang laki-laki bertato dan berbadan besar turun dari motor dan tanpa kode langsung menghajarnya hingga babak belur.             “Ini baru peringatan pertama!” kata salah seorang pria itu sambil menodongkan sebilah pisau ke leher Agil sebelum meninggalkan pemuda itu
Read more
Chapter 17. Terancam
“Kebakaran… kebakaran!” teriak Ibu panik, perempuan tua itu segera berlari mengambil air di sumur tak peduli pekatnya malam yang kian menggigit. Dia terus mengisi ember dengan air, bulir-bulir peluh mulai membasahi badannya. “Cepat padamkan apinya Gil!” katanya berulang kali. Kecemasan tergambar jelas dari raut mukanya.            Teriakan Ibu membangunkan tetangga kiri kanan, orang-orang datang dan membantu memadamkan api. Mereka beruntung, rumahnya tidak mengalami kerusakan berarti, hanya daun jendela kamar Agil yang gosong.            “Untung tadi sempat ketahuan, kalau tidak… entahlah, mungkin kami sudah mati terpanggang di sini, “kata Ibu pilu, matanya tak dapat menyembunyikan kengerian. “Terima kasih bapak-bapak sudah membantu kami,” imbuh Ibu. Dia pergi ke dapur, membuatkan minuman hangat da
Read more
Chapter 18. Suara Seram
Udara siang ini begitu lembab, napas Chandra pendek. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, ia duduk di teras di depan kamar, ditemani Orange kucing manis yang mendengkur di pangkuannya. Gadis itu tampak gelisah, matanya berulang kali melirik ponsel seperti mengharap sesuatu. Ia mendesah panjang, hampir seminggu ia belum menerima kabar dari Agil, semenjak Tante Mirna tak mengijinkan pria itu datang ke rumahnya, ada rasa khawatir yang menyelimuti hati Chandra.            Bagaimana ini? Apakah dia marah padaku? Kenapa dia kini menjadi peduli pada Agil? Bukankah dia bukan siapa-siapa? Tapi gadis itu diam-diam sangat merindukan perhatian-perhatian kecil dari Agil terutama mata teduh dan senyum manis yang membuat hatinya meleleh.            Agil berbeda dengan laki-laki yang dikenalnya. Sikap pemuda itu santun dan memandangnya sebagai perempuan utuh, apa adanya ta
Read more
Chapter 19. Tamu Tengah Malam
Chandra sudah berganti pakaian, dia kelihatan segar dengan baju casual dan rambut yang diikat ekor kuda. Setelah itu dia memoles wajahnya dengan bedak tipis lalu mematut dirinya di depan di cermin. “Sepertinya ada yang kurang, tapi apa ya?” gumamnya pelan.            Tiba-tiba lipstik pink jatuh, gadis itu memungutnya dan menyapunya di atas bibir. “Voila sempurna! Terima kasih Bulan,” katanya tertawa geli. Ia bisa merasakan Bulan sedang mengamatinya saat ini.Tak berselang lama terdengar suara tawa mengikik di belakang Chandra membuat tengkuk gadis itu meremang. Tapi dia berusaha bersikap biasa saja.”Oke-oke, sebentar lagi aku keluar bersama Agil, kamu mainlah bersama Orange di sini,” kata Chandra asal.Tak ada jawaban. Sambil menunggu Agil, Chandra mengambil novel milik Bulan yang tersusun rapi di rak, gadis itu memiliki koleksi buku menarik yang membuat Chandra bahagia.
Read more
Chapter 20. Pelukan Tengah Malam
Setelah lelaki itu pergi, Chandra baru berani keluar dan melihat Orange sedang tergeletak lemah di tanah. Napas kucing kecil itu tersengal-sengal, tak tega dia melihatnya. Di raihnya Orange ke dalam pelukan gadis itu dan air matanya bercucuran tak terkendali membasahi tubuh Orange yang menatapnya sayu. “Orange kamu jangan mati,” kata Chandra sesenggukkan, dia terus memijat bagian dada Orange.            “Meow…” kucing itu menggeliat dan mulai menjilati wajah Chandra.            Tangis gadis itu terhenti, dia tertawa melihatnya. “Orange… kamu hebat!” kata Chandra bahagia sambil menciumi kucing itu.            Mendengar suara tangisan, Mirna terjaga dari tidurnya, dia melihat pintu depan terbuka dan melihat Chandra duduk menangis sambil memeluk Orang
Read more
PREV
123456
...
11
DMCA.com Protection Status