Semua Bab Biro Jodoh Pangkalan Hati: Bab 21 - Bab 30
36 Bab
Lamaran
Sore hari setibanya Nun di rumah, Bapak menyambutnya dengan semringah.“Buruan mandi, ganti baju yang rapi! Jangan lupa dandan yang cantik!” kata Pak Sabar.“Memangnya ada apa, Pak?”“Kan malam ini calon mantu Bapak mau lamaran ke sini.”Nun serasa kena serangan jantung. “Maksud Bapak apa?”“Memangnya Alif enggak cerita? Dia mau bawa keluarganya ke sini buat lamaran secara resmi.”Nun membeku di tempatnya berdiri. Jantungnya kebat-kebit tidak karuan. Ingin dia menggigit sepatu bututnya saat itu juga. Namun keburu dihardik bapaknya.“Buruan beres-beres. Bapak mau ambil kue dari Ceu Saodah, sekalian manggil Pak RT buat jadi saksi.”“Bapak ....” Nun teriak sambil menangis.“Terharunya nanti aja. Bapak lagi buru-buru ini. Bapak pamit dulu!”“Bapaaak ....”Nun segera mengambil gawai dan membuka deretan pes
Baca selengkapnya
Keluarga Alif
Di ruang tamu mungil rumah Pak Sabar, Alif berhaha-hihi dengan Pak RT dan rombongan yang dibawanya. Mereka adalah pengurus rumah dan orang-orang kepercayaan kakeknya, mulai dari kepala ART, hingga satpam. Semuanya diperkenalkan Alif sebagai keluarganya.Pak Sabar dan Pak RT juga kini mengetahui bahwa ketergesaan pemuda itu melamar Nun adalah karena kakeknya sedang sakit. Mereka pun bersepakat bahwa acara pernikahan akan dilangsungkan paling lambat sebulan setelah lamaran ini.Nun langsung permisi ke belakang karena tidak tahan dengan semua yang serba dadakan ini. Perutnya mual. Ketika dia kembali, Alif tampak santai menikmati kue basah yang dihidangkan. Nun langsung mendekatinya untuk bicara empat mata.“Kamu tuh banar-benar gila, ya! Enggak mirikin perasaan saya?” kata dia setengah bergumam karena tidakut didengar orang.“Emang lu mikirin perasaan gue?” balas Alif santai saja.“Memang kamu punya perasaan?” timpa
Baca selengkapnya
Debat
Pagi hari, ketika Nun menghampiri Pak Sabar di angkringan ketoprak, dia tidak mendapati Alif."Tumben," pikirnya. Namun, dia tidak sudi menggubris rasa kehilangan yang muncul begitu saja di hatinya. “Nun berangkat, ya, Pak!” Dia mencium tangan Pak Sabar seraya menyabet bungkusan ketoprak pesanan teman-temannya.“Iya, hati-hati!” ucap Pak Sabar. “Eh, Nun ... ini sebungkus lagi buat calon menantu Bapak!”“Alif?” tanya Nun. “Dia kan enggak ada, Pak.”“Ada. Tuh!” Bapaknya menunjuk Nun.“Jangan bilang ‘di hatimu’ deh, Pak!” Nun melengos.“Itu ... di seberang!” jelas Pak Sabar. Ternyata yang dia tunjuk adalah seberang jalan yang tepat dibelakangi Nun.Gadis itu menoleh. Dipicingkannya mata. Alif tampak sedang ngobrol dengan seseorang. Mata Nun membulat sempurna saat identifikasinya berujung kesimpulan. Itu Kafka.“Tadi Al
Baca selengkapnya
Solo
Di Solo, untuk pertama kalinya Nun bertemu dengan satu-satunya keluarga yang tersisa dari pihak ayah, yakni tantenya yang bernama Muthmainah. Panggilannya Tante Muthi. Begitu menginjakkan kaki di rumah besar peninggalan kakek-neneknya itu, Nun langsung mengerti mengapa Om dan Tantenya tidak bisa pergi untuk menemuinya di rumah Bapak.Tante Muthi adalah penyandang disabilitas. Dia mengandalkan kursi roda untuk berjalan. Sementara suaminya yang juga Om Nun dan Kafka, bekerja di luar pulau Jawa. Mereka tidak punya anak. Nun maklum, ketika sang Tante berkata, “Kalau saja Tante tahu keberadaan kamu sejak dahulu, pasti kamu sudah Tante besarkan seperti anak sendiri, Ainun.”Wanita seumuran almarhum ibu Nun itu menangis tersedu-sedu. “Setelah ayah kamu meninggal, Kafka pun Tante yang mengurus dan membesarkannya.”“Om dan Tante sudah seperti orang tua bagi saya Nun,” tegas Kafka. “Kamu juga tidak usah sungkan kepada mereka, ya!&
Baca selengkapnya
Tante Muthi
“Tante rasa, lebih baik kamu tinggal di sini saja bersama Tante,” ujar Tante Muthi sambil mengarahkan selang ke perdu-perdu rimbun yang memagari pelataran rumahnya. Nun tidak berkata apa-apa. “Kamu takut sama bapakmu?” cecar tante Muthi. “Bukan begitu, Tante ....” “Lantas nopo to, Nduk (lantas kenapa, Nak)?” “Bapak enggak punya siapa-siapa lagi selain Nun. Mana mungkin Nun meninggalkan bapak begitu saja ... dia yang merawat dan membesarkan Nun selama ini, Tante,” tutur Nun. “Salah ibumu juga sih ... menikah lagi sama orang lain ndak ngabari kami. Lah, kalau Tante sama almarhum kakek-nenekmu tahu, yo pasti kamu ndak akan terlantar seperti sekarang ini, tho,” celoteh tante Muthi. Entah kenapa, Nun merasa sikap wanita itu berbeda jika mereka sedang berdua. Padahal, jika sedang bersama Kafka dan yang lainnya, sikap dan kata-katanya sangat manis. “Harusnya bapakmu tahu diri. Dia kan cuma bapak tiri. Lagipula ibumu sudah meni
Baca selengkapnya
Momen di Solo
“Aku minta maaf ....” ucap Alif serius. Dia tidak membawa Nun ke kamarnya, tetapi ke dapur karena Nun butuh air putih untuk minum.“Kenapa minta maaf?” tanya Nun. Wajahnya masih pucat. Hanya mata dan hidungnya yang tampak kemerahan.“Karena aku, kamu jadi terlibat masalah dengan keluarga.” Alif menundukkan kepala. Dia tidak sanggup menatap penderitaan di wajah calon istrinya.“Tanpa kamu pun masalahnya tetap ada.” Nun membuka pintu belakang. Tampak hamparan kebun peninggalan nenek-kakeknya. Hijau, menyejukkan mata.Alif mengekor seperti kena hipnotis.“Saya minta maaf, ya ....” ucap Nun. Tiba-tiba dia menoleh hingga beradu pandang dengan Park Seo Joon kw. Nun jadi ingat adegan di drama Korea.Pipi Alif seperti dihiasi blush on seketika. “Ke ... kenapa minta maaf?” suaranya bergetar sebagaimana hatinya saat itu.“Karena saya, kamu jadi terbawa-bawa ke sini.&r
Baca selengkapnya
Cinderella
Ada banyak pertanyaan di kepala Nun sepulang dari rumah tantenya. Sepertinya tidak berimbang jika informasi tentang ibunya hanya berasal dari satu pihak saja. Nun merasa dia juga perlu tahu cerita versi bapak.“Pak,” panggil Nun ketika makan malam tiba. “Hm ... dulu, bagaimana ceritanya bapak bisa menikah dengan ibu?”Pak Sabar melirik sambil senyum-senyum. “Kamu nanya begitu supaya dapat gambaran soal pernikahan, ya? Hm ... baper ya, yang mau nikah?” lepas tawa orang tua itu. Padahal kemarin saat Nun baru pulang dari Solo dia nangis-nangis karena kangen katanya. Eh, sekarang sudah usil saja.Nun mengernyitkan dahi. “Sok tahu aja nih, Bapak,” gumam Nun.“Begini Nun ... Bapak itu jatuh cinta pada pandangan pertama sama ibu kamu.”Makanan yang baru Nun suapkan ke mulut hampir dia muntahkan. “Enggak usah lebay deh, Pak. Mana ada yang begitu.”“Eh ... ada,” tegas
Baca selengkapnya
Rencana
Nun fokus menatap layar monitor. Beberapa chat masuk. Seperti biasa dia jawab satu-persatu dari urutan terbawah. Ada yang menanyakan soal Biro jodoh; ada chat klien yang mendesak segera diinformasikan soal hasil pencocokan; ada yang mau upgrade membership dari premium ke VIP; ada juga yang mengabarkan tanggal pernikahan; dan ada yang mengirimkan foto desain gaun pengantin.Mata Nun langsung terbelalak pada pesan yang terakhir.[Pilih yang mana?]Jantung Nun sempat kebat-kebit. Namun dilihatnya lagi pengirim pesan tersebut, Kafka. Bukan Alif.Ada beberapa desain pakaian pengantin yang dia kirimkan –gamis, kebaya, hingga gaun yang bagi Nun terlalu ‘wah’. Lama sekali Nun tercenung hingga tidak membalas pesan itu meski sudah dibaca.[Dari Alif. Dia minta kamu pilih model baju pengantin]Nun mengerjapkan matanya, lalu membalas pesan itu dengan cepat, secepat dirinya melayani keluhan klien.[Terserah Kakak][Kamu ya
Baca selengkapnya
Pernikahan Dadakan
Begitu pintu kamar pasien yang ditempati Pak Yasin terbuka, Nun langsung menyadari apa yang menunggunya di depan mata.Pak Yasin tergolek lemah dengan belitan selang yang lebih banyak dari biasa. Bahkan, ditambah dengan elektroda yang terhubung ke monitor hemodinamik dan saturasi. Berbagai alat medis lain juga terpasang di dekat ranjangnya.Enam buah kursi tersusun rapi mengitari sebuah meja tidak jauh dari ranjang Pak Yasin. Alif duduk di salah satu kursi. Matanya sembab. Wajahnya pias. Rambutnya berantakan. Kemejanya kusut. Penampilannya tidak karuan. Dia jelas tidak tidur semalaman bahkan melewatkan mandi pagi.Di hadapannya, duduk seorang bapak-bapak bersetelan rapi mengenakan kopiah. Di sisi meja yang lainnya asisten dan sopir Alif duduk berdampingan dengan wajah gusar. Di sekeliling mereka penjaga, perawat dan dokter berdiri memantau situasi.Nun yang baru masuk langsung diminta duduk di sebelah Alif yang terus menunduk.Kafka menghampiri dan
Baca selengkapnya
Kabar Duka
Nun akhirnya pulang malam dijemput Kafka. Pak Yasin yang membukakan pintu sempat memelototi dia. Namun, tidak mengatakan sepatah kata pun pada akhirnya. Dia terlonjak dari tempat tidur saat mendengar ketukan pintu. Ketika menyambut Nun pulang, Pak Sabar seakan berjalan dalam mimpi. Bingung membedakan realita dan fatamorgana.Kafka juga langsung pulang karena merasa mengganggu dan tidak sopan jika berlama-lama di sana. Dia hanya mengantar Nun pulang sesuai permintaan Alif kepadanya. Baik dia maupun Nun tidak sempat mengutarakan soal kejadian hari itu kepada Pak Sabar.Parahnya lagi, begitu pagi tiba, Nun ditinggal bapaknya begitu saja. Orang tua itu biasanya pamitan dan titip pesan kepada dia jika akan berangkat untuk mangkal di depan gang. Namun, kali ini tidak.Di lapak ketoprak, dekat mulut gang Sabar, Nun baru bisa menyapa bapaknya setelah beberapa kali menguap karena masih ngantuk dan lelah. Kepalanya pusing karena kurang tidur. Perutnya juga mual karena dar
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status