All Chapters of An Unidentified Witch: Chapter 81 - Chapter 90
103 Chapters
80. Dugaan Edwyn
Kenan berjalan mondar-mandir di depan ruangan tempat Karleen dirawat. Sudah tiga jam dia tidak siuman. Edwyn dan Lisette sudah berulang kali mengingatkan Kenan untuk tidak perlu khawatir.  Di saat Kenan sedang sibuk dengan kecemasannya, Edwyn dan Lisette berbisik-bisik membicarakan Kenan. Mereka berdua sama bingungnya dengan sikap yang ditunjukkan oleh Kenan.  Mereka tidak mengerti mengapa Kenan yang baru saja mengenali Karleen bersikap seperti itu.  "Kalian," ucap Kenan yang memberhentikan langkah mondar-mandirnya. Edwyn dan Lisette dengan sigap membalikkan badan mereka. “Ada apa?” tanya Edwyn yang sedikit gelagapan. “Aku tahu sejak tadi kalian membicarakanku.” Edwyn dan Lisette sontak kaget dengan apa yang dikatakan Kenan. Mereka bertanya-tanya bagaimana bisa Kenan mengetahui jika Edwyn dan Lisette membicarakannya. “Jika aku memberit
Read more
81. Kedekatan Karleen dan Warren
Sudah berpuluh-puluh menit berlalu. Warren masih tetap menunggu kedatangan Karleen bersama sahabatnya di gerbang. Dia masih merasa cemas dengan perasaannya yang tidak enak. Dua buah kereta kuda berhenti tepat di depan gerbang. Mata Warren bergetar saat menangkap sosok Karleen yang terlihat sangat lemah. Perasaannya tidak salah. Karleen terlihat pucat. Tanpa memikirkan pandangan pengawal kompleks, Warren memacukan langkah kakinya menuju kereta kuda yang ditumpangi oleh Karleen bersama Lisette. Matanya sedikit memicing ketika melihat Conrad yang membantu menopang tubuh Karleen. Dengan gerakan cepat tetapi tidak kasar, Warren menggantikan Conrad menopang tubuh Karleen. “A-arren?” panggil Karleen pelan dengan bibir pucatnya. Warren menahan tangisnya. Tanpa sadar dia merengkuh tubuh Karleen yang lemah. Dia tidak menyangka Karleen yang sangat bersemangat berlatih pedang tadi pagi berubah menjadi gadis yang terkulai
Read more
82. Perhatian Warren
Karleen pura-pura tidur selama Warren menggendongnya. Dia sangat beruntung karena sejak awal digendong, Karleen membenamkan wajahnya. Jika tidak, Warren akan tertawa melihat wajahnya yang semerah tomat. Ingin rasanya Karleen membisikkan Warren untuk berjalan dengan lambat. Tapi itu tidak mungkin, dia tidak ingin anak-anak lain sudah selesai makan malam dan melihat mereka. Telinga Karleen geli. Warren berulang kali mengucapkan kata yang mungkin saja tidak bisa Karleen katakan. Karleen berusaha kuat untuk tetap tenang. “Karleen, apa kau tahu? Aku tidak mungkin bisa mengatakan ini jika kau tidak tidur sekarang.” Karleen benar-benar gemas mendengarnya. Ingin sekali dia berteriak membalas ucapan Warren. Meskipun hanya kata-kata menyukai, Karleen tidak menyangka akan memberi efek yang begitu hebat kepada hatinya. Dia tidak ingin membayangkan Warren mengucapkan kata yang lebih hebat dari pada itu suatu hari nanti. &
Read more
83. Rasa Penasaran Kenan
Conrad kembali bersama Kenan. Sejak tadi, raut wajah Kenan sedih. Dia mengerti perasaan Kenan. Akan tetapi, Conrad tidak mau ambil pusing. Dia hanya mengamati Kenan dalam kesunyian.  Kereta kuda itu sampai di pinggir kota. Malam mulai menyingsing. Tanpa kata, Kenan hanya mengikuti kemana langkah kaki Conrad melangkah. Mereka tiba di sebuah restoran berbintang. Dengan suasana kondusif di sini, dia berharap percakapan mereka nanti bisa berjalan lancar. Mereka duduk di kursi yang berhadapan. Seorang pelayan yang mengenakan jas hitam menghampiri mereka. Dua buah buku menu bersampul merah, pelayan itu berikan kepada Conrad dan Kenan. Mata mereka berdua menyelidiki berbagai menu yang tersedia di sana. Tidak hanya makanan khas Jerman saja, makanan khas Italia pun juga ada. Kenan sedikit berekspresi ketika melihat harga menu yang mahal. Dari interior restoran Kenan bisa pastikan hanya orang kelas meneng
Read more
84. Guyonan Gunther
Gunther menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya yang bidang. Seakan sedang tidak berada di ruangan, Warren menyelonong masuk dengan ekspresi wajah yang sangat aneh. Gunther menggurutu dengan suara pelan. Warren duduk dengan sembarangan ke atas sofa. Wajahnya sangat merah. Dia menundukkan wajahnya dan mengusap-usapnya berulang kali. Gunther bisa menebak mengapa wajahnya bisa semerah tomat seperti itu. “Ehem.” Gunther berdeham dengan sangat kencang. Tidak ada tanggapan dari Warren. Dia seperti sedang berada di dunianya sendiri. Tawa kecil keluar dari mulut Warren, membuat Gunther tersentak dan hampir jatuh. “Kapten sudah gila sepertinya,” gumamnya pelan. Gunther menghampiri Warren dengan duduk tepat di sebelahnya. Dia memerhatikan kaptennya itu dari samping. Keadaannya benar-benar mengenaskan. Tidak hanya wajahnya yang merah, telinganya pun juga merah.
Read more
85. Dampak Kejadian Tadi
Karleen merasakan degup jantungnya tidak beraturan. Dia masih belum percaya dengan yang dialaminya barusan. Warren. Entah apa yang dipikirkan Warren sehingga dia berani berbuat seperti itu. Karleen tidak marah. Dia hanya merasa sangat bingung dengan tujuan Warren. Sudut mata Karleen mengeluarkan air. Lisette yang melihatnya kembali panik. Dia mengusap air mata Karleen dengan cekatan. Mata Lisette menatap teduh tubuh Karleen yang masih tampak lemah. “Kau masih merasa sakit, Karleen?” Karleen menggeleng pelan. “Ayolah, kau makan bubur ini dulu sampai habis. Kau hanya makan di waktu pagi saja tadi. Aku khawatir maagmu akan kambuh.” “Aku tidak apa-apa, Lisette. Aku hanya perlu beristirahat sebentar. Jangan khawatirkan aku lagi. Kau bisa kembali ke kamarmu,” ucap Karleen lemah. “Mana bisa begitu Karleen. Aku tahu betul kon
Read more
86. Divisi Rencana
Lisette mengedor pintu kamar Karleen. Tidak ada jawaban yang terdengar. Berulang kali Lisette mengedor dan memanggil nama Karleen, tetapi tidak ada juga jawaban yang kunjung didengar. Setelah mencoba lagi, perlahan kenop pintu kamar Karleen terbuka dari dalam. Wajah Karleen terlihat membengkak, matanya yang berkantung, dan rambutnya yang acak-acakan menyambut Lisette yang sudah rapi. “Astaga! Bagaimana bisa pasien ini seperti ini? Kau begadang semalaman ya, Karleen?” Karleen hanya terkekeh mendengarnya. “Lisette, apakah aku boleh istirahat hari ini?” tanya Karleen dengan wajah yang memelas. Seketika wajahnya berubah menjadi serius, seakan teringat oleh sesuatu yang penting. “Aku lupa untuk berlatih pedang bersama Warren!” timpal Karleen kemudian. “Kau gila atau bagaimana Karleen? Mana ada pasien yang harus istirahat sudah berlatih pedang.
Read more
87. Cerita Masa Lalu
Badan Kenan sedikit terkesiap saat mereka mendarat di kastil. Tatapannya yang kosong membuat orang berpikir bahwa Kenan sedang tidak baik-baik saja. Dari sudut mata Conrad, dia bisa melihat bahwa Kenan sedih. Belum sempat Conrad membuka mulut, Kenan sudah berlari menuju kamarnya. Padahal sesuai kesepakatan mereka, Conrad akan menjelasakan kehidupan Karleen kepada Kenan. Conrad mengejarnya. Dia tidak paham dengan perubahan sikap Kenan yang menurutnya seperti kenak-kanakan. “Hei! Kenan! Aku ingin menceritakan kehidupan Karleen kepadamu! Mengapa kau malah kembali ke kamar duluan? Aku tidak jadi ingin mendengarnya, huh?” Seakan tidak peduli dengan ucapan Conrad, Kenan menepis tangan Conrad yang menahan lengan kirinya. “Aku ingin istirahat, tolong jangan ganggu aku!” balas Kenan. “Kau baru saja makan berat. Mana mungkin kau langsung istirahat setelah ini. Kau pasti berbohong.
Read more
88. Sebuah Kecanggungan
Karleen dan Lisette bergandengan tangan menuju gedung administrasi. Edwyn sudah sampai duluan bersama teman-temannya. Dari kejauhan, Edwyn tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Karleen dan Lisette. “Syukurlah kau sudah membaik hari ini, Karleen!” ucap Edwyn. Rasa senang terpatri jelas di wajahnya. Karleen membalas dengan hangat senyuman itu. “Terima kasih telah mengkhawatirkanku, Edwyn!” Teman-teman Edwyn saling sikut menyikut. Mereka seakan terpana melihat senyum Karleen. Edwyn yang tahu akan itu dengan sengaja mengusir teman-temannya dengan dalih ingin berbicara dengan Karleen dan Lisette. “Apakah kau masih merasa pusing, Karleen?” tanya Edwyn selepas teman-temannya pergi. “Tidak, aku sudah sangat baik sekarang.” “Baiklah, semoga kejadian seperti itu tidak terjadi kepadamu lagi. Kami benar-benar bi
Read more
89. Paksaan Hylda
Suara hentakan kaki terdengar di lorong panjang yang sedang sepi. Tidak ada satu pun orang di sana. Hanya ada Hylda yang berlari menuju taman belakang untuk menemui seseorang. Napasnya terengah-engah. Sedangkan kedua tangannya mengepal. Dia ingin sekali berteriak untuk meluapkan kekesalannya hari ini. Setelah apa yang dia dengar di kantin mengenai Warren yang mengantar makanan ke asrama perempuan untuk Karleen yang sedang sakit. Tepat sebelum mulut Hylda terbuka dan berteriak, sebuah tangan dari belakang menutup mulutnya. “Kau sudah gila, ya! Meskipun sekarang sudah dini hari, teriakanmu itu bisa membangunkan orang-orang.” Hylda menepis kasar tangan Jaye. Dia berbalik berniat memarahi Jaye yang sudah menghalanginya untuk melampiaskan amarahnya. “Mengapa kau melihatku seperti itu? Kau ingin memarahiku, huh?” Perkataan Jaye tidak ditangg
Read more
PREV
1
...
67891011
DMCA.com Protection Status