All Chapters of SUKSESKU BERAWAL DARI SAKIT HATI: Chapter 11 - Chapter 20
33 Chapters
SANTET
*Rumah Mbah dukun jauh dari pemukiman warga. Di seberang rumahku, ada hamparan sawah berpetak-petak yang sangat luas, yang dibatasi pagar bambu. Di antara sawah-sawah itu, ada sebuah jalan setapak yang jika dilewati hingga ke ujung, akan sampai di sebuah jalan kereta (rel) yang sudah tidak dipakai. Untuk sampai di rumah Mbah Dukun, harus melangkahi rel itu kemudian berjalan lagi beberapa ratus meter, menelusuri semak belukar."Mbah!" Aku menyeru sambil mengetuk pintu. Bau dupa semerbak hingga ke tempat di mana aku berdiri malam itu. Rumah yang menyerupai gubuk itu tampak sepi, karena hanya diterangi cahaya damar. Samar kudengar suara orang batuk dari dalam. Lama-kelamaan, suara itu semakin mendekat ke arah pintu, yang kemudian terbuka."Siapa?" tanyanya di depanku."Saya Asih, Mbah," jawabku.Mbah mempersilakanku masuk. Tidak ada sesajen dan peralatan yang biasa dimiliki dukun-dukun. Hanya bau dupa yang tercium di sana. "Ada perlu apa?" Mbah bertanya setelah mempersilakanku duduk d
Read more
SEGUMPAL DAGING
"Salah dukun?" Aku bertanya tak mengerti.Ibu menghembuskan napas lagi, layaknya seorang yang baru selamat dari musibah."Ibu kira tadi kamu ke rumah dukun yang di Bojongsoang. Syukurlah kalau kamu tidak ke sana. Sudah, cepat tidur. Ini sudah jam setengah satu malam!"*Pagi itu, ibu menyuruhku mandi dan mengucap istighfar untuk membersihkan tubuh sekaligus dosa-dosaku, karena telah berbuat musyrik dengan mendatangi dukun."Percuma, Bu. Rosi dan Asep pasti sedang merasa kesakitan sekarang. Aku terlanjur melakukannya," kataku."Apa kamu menyesal?" tanya ibu."Di satu sisi tidak, di sisi lain iya!" jawabku."Rosi dan Asep tidak apa-apa, mereka baik-baik saja. Pagi tadi Rosi sudah resmi jadi istri Agung, mereka menikah di KUA. Dan Asep ... tadi Ibu melihatnya sedang memarahi karyawannya. Puas kamu, Asih?" Dadaku bergejolak lagi. Bukankah semalam aku sudah menyantet mereka?"Kenapa bisa begitu, Bu? Aku tak terima! Mereka harusnya kesakitan dan menderita," teriakku histeris. Aku menangis
Read more
KEMBALIANNYA YUNI KE WARUNG
"Kalau menuruti hawa nafsu, pasti saya berontak. Tapi saya sudah sadar bahwa hawa nafsu dapat mencelakai diri sendiri, jadi lebih baik saya fokus memperbaiki hidup saya," jelasku.Dewi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, Sumi yang sudah selesai menggoreng, menghampiri kami dan ikut menanggapi, "saya juga sangat ingin bisa seperti Ibu. Baik hati dan tidak sombong," katanya."Kalau saya jadi Ibu, saya tidak akan bisa melupakan kejahatan orang-orang itu, Bu," ujar Dewi.Bahkan, anak sekecil Dewi pun bisa berkata begitu, saking kesalnya mendengar cerita masa laluku yang ditindas."Memelihara dendam itu tidak baik, saya sudah mengalaminya sendiri. Percayalah. Kalau kamu punya rasa sakit hati dengan seseorang, lebih baik sembuhkan saja hatimu. Tak usah berpikiran untuk membalas, biarlah itu menjadi urusan Alloh. Toh, semua perbuatan manusia pasti akan mendapatkan balasannya," kataku menasihati Dewi. Kulihat, ia masih punya 'uneg-uneg' terhadap Yuni."Kalau kamu, Wi?" tanya Sumi sambil m
Read more
YUNI BERAKSI
Yuni dan Sumi salah tingkah, mereka terpergok menggunjing seorang anak gadis yang hamil di luar nikah. Ya, sekilas kudengar bisik-bisik mereka membicarakan hal itu. "Maaf, Bu," ucap Sumi dengan wajah malu. "Hehe, maklum, Bu. Efek jenuh di warung, kami ngobrolnya jadi kemana-mana," timpal Yuni. Aku membiarkan mereka melanjutkan pembicaraan. Walaupun sebenarnya, aku tak suka perbuatan mereka yang menggunjingkan orang lain di warungku, karena jika pelanggan mendengarnya, akan terasa tidak sopan. Tapi biarlah, selama tidak menimbulkan keributan antar pegawaiku dan dalam keadaan warung sepi, aku akan membiarkan mereka. Toh, Yuni dan Sumi sudah sama-sama dewasa, kalau kunasihati terus-menerus, kesannya aku menggurui. Aku kembali menghitung uang di laci kasir. Alhamdulillah, pendapatan warung hari ini lumayan. Walaupun baru buka setengah hari, tapi sudah dapat untung. Kusisihkan tiga ratus ribu untuk 'uang munggahan' dan akan kubagi rata kepada ketiga pegawaiku. Masing-masing kebagian se
Read more
ASIH MARAH
"Oh, itu pemberian Bu Khadijah pemilik toko sembako untuk saya, Bu. Katanya, sedekah menyambut bulan puasa. Tadi waktu saya beli bahan-bahan takjil, Bu Khadijah ngasih amplop dan sembako itu untuk saya," jelas Dewi.Aku memelototi Yuni, karena tuduhannya tidak benar. Yuni hanya tersenyum malu. "Kamu itu, mikirnya negatif terus," bisikku padanya."Kenapa memangnya, Bu?" Dewi bertanya dengan polos, ia tak mengetahui apa yang dibicarakan Yuni tentangnya."Gak apa-apa. Saya cuma heran aja ada barang yang bukan pesanan saya, takutnya kamu salah beli," jawabku, tak memberitahu Dewi kejadian yang sebenarnya karena khawatir dia akan menangis lagi. "Sudah, Wi. Kamu lanjutkan bekerja, ya!" titahku.Kulihat Yuni membisikkan sesuatu selagi aku bicara pada Dewi. Entah apa lagi yang mereka bicarakan. Dewi pun kembali ke dalam warung, disusul Sumi. Semua kembali mengerjakan pekerjaannya masing-masing, dan aku bersiap untuk pulang. Sumi kembali ke dapur untuk bebersih, dan Yuni melanjutkan cuci pir
Read more
MENERIMA ANCAMAN
"Adikku? Sejak kapan Nia jadi adikku, Bu?" Aku menatap Bu Onah dengan sedikit sinis. "Tentu saja Nia adalah adikmu," katanya dengan nada meyakinkan, membuatku sebal. Perangainya sebelas-duabelas dengan Rosi, yang sering disebut-sebutnya sebagai menantu idaman.Aku mendengkus lalu membuang muka dari tatapannya yang memelas."Mari kita ingat, ketika kita masih tinggal bersama dan aku masih jadi menantumu. Waktu itu, keluarga besar mengadakan hajatan dan aku tidak punya baju bagus untuk dipakai. Kang Agung meminta Nia meminjamkan bajunya untukku dan Nia menolak. Kemudian Ibu bilang, 'Nia tak akan meminjamkan bajunya pada orang asing, apalagi pada Asih, dia bukan kakaknya!'" kataku menirukan kata-katanya pada waktu itu.Bu Onah hanya diam, sepertinya ia tak punya kata-kata untuk menjawab. Hening beberapa saat. Ibu yang dari tadi hanya berdiri, akhirnya menyuruh mantan besannya itu pulang, karena malam hampir larut dan kami ingin istirahat."Lebih baik kita tak usah punya urusan lagi. Se
Read more
Ghibah
'Astaghfirulloh.' Aku hanya bisa mengucap istighfar mendengar cerita itu."Yang bener kamu, Yun? Dapat dari mana kabar itu, jangan-jangan itu fitnah, ah!" kataku.Yuni menyimpan lap bekas membersihkan etalase dan mengajakku duduk untuk membisikkan sesuatu, "istrinya Pak Yudi yang cerita sama saya. Dia mergokin suaminya di TKP sama Nia! Pas ditanya, suaminya ngaku udah bayar tiga juta. Tiga bulan setelah itu, baru deh ketahuan Nia hamil karena perutnya udah membesar. Dari situ warga jadi rame, Bu," jelas Yuni."Astaghfirulloh. Udah, Yun. Gak usah diterusin ceritanya!" pintaku."Lho, kenapa, Bu? Tadi katanya ingin tahu cerita sebenarnya, saya siap beberin serinci-rincinya," kata Yuni. Semangat ghibah 45-nya menjadi ciut saat aku menyuruhnya berhenti."Iya. Semalam Bu Onah mengancam akan mengganggu warung saya dengan ilmu hitam. Jadi, saya merasa perlu tahu ceritanya, karena ini menyangkut Nia, Yun," jelasku. "Tapi setelah dengar ceritanya, saya gak kuat dengernya. Sekarang ayo ke dapur
Read more
Melawan Rosi
"Ayo ikut aku!" bentak Rosi sambil melotot. Tampang judesnya itu selalu membuatku ingin mencabik-cabiknya."Mau apa!" kataku. "Pergi dari warungku, jangan cari masalah di sini!" "Kamu mau aku ribut di depan pelangganmu?" ancam Rosi.Gerak-gerik kami mengundang perhatian pembeli. Daripada mereka tak nyaman, lebih baik aku mengikuti ke mana Rosi mengajakku. Kuserahkan urusan warung pada Sumi, dan memintanya untuk mencariku seandainya aku lama tak kembali. Perkara dengan Rosi bukan hal main-main. Terminal ini sepi kalau sore hari, apalagi di bulan puasa seperti sekarang. Dan Rosi membawaku ke belakang sebuah bengkel yang sudah tak terpakai. Tak ada seorang pun lewat ke sini, karena keadaannya kotor dan bau menjijikan. Aku sampai harus menahan napas berkali-kali."Gara-gara kamu gak ngasih pinjam uang, Bu Onah jadi maksa minta semua gaji Kang Agung!" hardik Rosi, membuat rahangku gemeretak menahan geram. Kalau mertuanya minta uang sama anaknya, kenapa aku yang disalahkan?"Kok kamu mala
Read more
Jatuh Korban Lagi?
"Innalillahi wa innaillaih roji'un," ucapku ketika mendengar kabar meninggalnya Bu Ida.Bu Ida adalah istri Pak Yudi, yang—menurut cerita Yuni—memergoki permainan selingkuh suaminya dengan Nia. Tiba-tiba, aku jadi teringat cerita Dewi yang melihat Bu Onah keluar dari rumah Mbah Kyoto."Memangnya sebelum meninggal, Bu Ida muntah apa, Bu?" tanyaku."Belatung," jawab ibu sambil berbisik, membuatku mual membayangkannya.Jika benar Bu Ida meninggal karena ada sangkut pautnya dengan ilmu hitam, berarti ada seseorang yang 'menjahilinya'. Aku menduga Bu Onah lah pelakunya, dan jika benar dia berani pakai ilmu hitam, maka ancamannya terhadap warungku malam itu bukan main-main. "Sih ...." Ibu berbisik memanggilku, kedua alisnya bertautan dengan ekspresi wajah yang terlihat khawatir. Aku tahu yang ditakutkannya sama denganku.Aku membawa ibu ke ambang pintu warung, untuk menjaga jarak dari Dewi. Sepertinya, sedari tadi Dewi menyimak percakapanku dengan Ibu."Sudah, Bu. Jangan terlalu dipikirka
Read more
Dewi Yang Istimewa
Aku berusaha menyembunyikan rasa terkejutku di hadapan Bu RT dan Pak RT, saat mendengar kabar itu."Siapa sekarang yang jadi korban, Bu?" tanyaku."Cahyani," jawab Bu RT pelan. "Teman sekantor Pak Agung, mantan suamimu itu lho.""Astaghfirulloh, saya ikut prihatin mendengarnya," responku sambil mengusap dada. "Oh, iya, saya permisi dulu ya Bu, Pak ... takut kesiangan." Aku menghela napas, dan segera pamit setelah mendengar nama Kang Agung disebut, takut kalau-kalau Bu RT malah membahas mantan suamiku.Matahari sudah terbit lumayan tinggi. Aku meneruskan perjalanan. Namun, jalan yang biasa aku lalui untuk pergi ke pasar sedang dalam perbaikan dan ditutup, sehingga terpaksa aku harus berputar arah melewati ruko Pak Asep.Sebenarnya malas, karena aku pernah dilarang melewati jalan ini lagi oleh Pak Asep. Tapi bagaimana nasib warungku kalau hari ini tak belanja ke pasar? Akhirnya aku cuek saja lewat di depan tokonya, lagipula ini kan jalan umum."Masya Alloh, Neng Asih ... makin cantik s
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status