All Chapters of Terpaksa Akad: Chapter 11 - Chapter 20
60 Chapters
bab. 10b
“Dasar, wanita bodoh. Apa kamu gak membaca kemasannya?”“Tulisannya bahasa asing, Om. Aku gak bisa mengartikannya.”“Dasar kamu, Zi!” ucap Om Zuan sambil menatapku dengan membulatkan dua bola matanya.**POV Zuan.“Dasar kamu, Zi!”“Om, jangan marah-marah. Tau tidak kalau tiap Om marah tingkat kegantengannya bertambah.”Aku tersenyum mendengar pengakuan wanita kecil itu. Tak aku pungkiri, ketampananku memang melebihi rata-rata.“Diam, Zi! Kamu itu lagi gak waras!”“Siapa yang gak waras, Om. Zi itu tidak gila. Zi bisa berpikir sehat, dan yang terpenting, Zi bisa jatuh cinta. Tidak seperti Om. Berarti siapa yang tidak waras?” Wanita ini sepertinya memang sudah terpengaruh dengan alkohol dari minuman tersebut. Kenapa aku lupa kalau ada wine di lemari itu. “Om, apa karena wanita tadi ya? Om tidak mau menyentuhku. Padahal cantikan aku Lo, Om. Apalagi kalau aku dandan, sudah pasti tuh wanita itu kalah jauh.”‘Apakah seperti ini perasaan seorang wanita? Bukankah aku sudah pernah berpesan j
Read more
bab. 11 a
“Om Zuan, kenapa aku memakai pakaian haram seperti ini? Apa yang sedang terjadi? Kamu tidak ...?”Aku menutup belahan dadaku yang terbuka dengan menyilangkan tanganku sedangkan kakiku yang terekspose karena pakaian pendek ini aku tutup dengan jaket milik om Zuan. “Jangan berpikir aneh-aneh, Zi! Kamu menanggalkan semua pakaianmupun aku tak akan tertarik. Lihat saja, ukuran dadamu saja standar. Siapa juga yang mau melirik?” ucap Om Zuan dengan senyum tipis. Benar-benar merendahkanku.“Om.”Aku mendelik ke arahnya, sedangkan ia seakan tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia memasukkan sebuah alat kecil ke telinganya, lalu menggeser layar pipih miliknya.“Iya, Ma. Zuan jemput sekarang ya!” Aku menatap lelaki itu, ketika kata “Ma” keluar dari bibirnya. Apakah Ma yang dimaksud adalah ibunya?“Siapa yang telfon, Om!”“Bukan urusanmu.”Ish, benar-benar menyebalkan. “Nanti kalau bertemu Mama kamu harus bersikap sopan, jaga sikapmu, dan ingat jangan banyak bicara.”“Bukan urusanku.”“Ini urusan
Read more
bab. 11b
langkah kaki Om Zuan terlalu besar dan cepat, sehingga aku tertatih untuk mengekorinya.Langkah kami terhenti ketika seorang wanita paruh baya melambaikan tangan ke arah kami, memakai pakaian panjang dengan jilbab menjuntai sampai bawah.“Ingat, jangan banyak bicara. Jawab seperlunya saja,” bisik Om Zuan ke arah indraku. Aku hanya mengangguk.Lelaki itu tampak meraih lengan Mamanya dan mencium punggung tangan itu, dan di sambut oleh wanita berparas cantik itu dengan ciuman di keningnya, tampak seperti anak kecil yang di cium sayang oleh ibunya. “Ini, mantuku?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatapku, matanya berbinar dengan penuh kebahagiaan.‘Ya Allah, Mama Om Zuan semua auratnya tertutup. Sedangkan aku?’ Aku menatap tubuhku yang terbalut pakaian minim. Benar-benar membuatku minder.“Iya, Ma.” Lelaki itu mengambil alih koper yang dibawa Mamanya, sedangkan wanita paruh baya itu kini memeluk tubuhku dan mencium pipi kanan dan kiri ku.“Aku harap kamu bisa tahan dengan sikap dingi
Read more
bab. 12 a
Aku menatap lelaki yang kini berbaring di sebelahku, mungkin karena ketidaksengajaan ia merubah posisinya menghadap ke arahku, bahkan mampu kurasakan hembusan nafasnya dari dengkuran lembut miliknya. Lelaki yang menikahiku, tanpa boleh ada kata cinta di dalamnya. “Zi, kamu belum tidur? Ha?” Matanya terbuka dan membuatku salah tingkah. Bagaimana kalau Om Zuan menyadari tingkah konyolku tadi? Menatap wajahnya dengan sendu.“Ayo tidur.” Tangannya ia lingkarkan ke tubuhku, sedangkan dua pelupuk matanya kembali menyatu. Tangan kekar dengan sedikit bulu itu kini naik ke rambutku, ia mengelus rambut panjangku, mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Dan aku benar-benar terperanjat ketika sebuah ciuman hangat mampir di keningku. ‘Ciuman? Apa maksud sentuhan ini? Zi, kenapa mendadak jantungmu berdesir hebat? Apakah ini yang dinamakan cinta? Ingat perjanjian, Zi. Ingat posisi. Kamu tak lebih dari wanita yang terbeli oleh Tuannya.’ Aku bermonolog kepada diriku sendiri. “Om.” Aku menatapnya le
Read more
bab. 12b
Mama kini terkekeh. “Pintar sekali kamu cari istri, Nak. Dia periang sekali,” ucap wanita berjilbab itu sambil menatap ke arah anak lakinya. Sedangkan aku yang mendengar sanjungan itu kini menahan malu. Apakah sikapku memang masih ke kanak-kanakan yang seperti orang bilang?Aku mengoles selai nanas untuk Om Zuan, lalu memberikan roti yang sudah siap di makan itu di piringnya. Ia menatap tajam ke arahku, sambil melirik ke arah wanita di sebelahnya, seperti memberikan kode kepadaku. Aku yang langsung paham bergegas mengambil roti dari tangan Mama mertuaku dan mengoleskan selai untuknya.“Biar mama sendiri, Zi!” ucap wanita itu sambil berusaha meraih roti yang ku pegang.“Jangan, Ma. Ini sudah kerjaan, Zi! Menyiapkan sarapan pagi dan makan siang,” ucapku sambil memamerkan senyum.“Kamu rajin sekali, Zi! Mama sayang sekali denganmu,” ucap wanita itu sambil meraih punggunggku. Diusapnya punggung itu sambil memamerkan senyum indahnya.“Gimana kabar, Mama? Kenapa mendadak sekali pulangnya?”
Read more
bab. 13a
“Om, jalannya pelanan dikit,” protesku, ketika lelaki di depanku melangkah begitu cepat. Apalagi jarak langkah nya begitu lebar, berbeda sekali denganku.“Kamu yang terlalu lelet.”Aku tertatih mengimbangi jalannya Om Zuan.“Selamat pagi, Pak Zuan.”Seorang lelaki cukup umur menyapa, berseragam rapi dengan jas warna Dongker.“Selamat pagi juga, Pak.”“Ada yang bisa saya bantu?”“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mampir saja.”Om Zuan kembali melangkah dan aku terus mengekori di belakangnya.“Kelasmu di mana, Zi?”Aku menggeleng.“Zi?” “Aku beneran gak tahu, Om. Waktu Rendra mengantarku ia buru-buru. Aku belum sempat lihat tempat ini, habisnya Om sih, wajibin bikin makan siang jam dua belas tepat. Aku gak punya banyak waktu.”“Zi, bisa gak sih kalau jawab sesingkat-singkatnya saja. Aku gak tanya rumus luaa, yang harus dijelaskan panjang kali lebarnya.”“Maaf, Om!”“Di mana kelasmu?”“Gak tahu, Om!”“Mata kuliahmu apa hari ini?”“Jam delapan ada kelas bahasa, jam sepuluh ada kelas akutansi.
Read more
bab. 13b
Ssstt...Motor terhenti begitu saja, hingga aku seakan terpental dan duduk mendekati Aga. Tubuh kita tampak menyatu di jok yang tak rata ini.“Ma-maaf,” ucapku sambil kembali mundur ke jok semula yang ku duduki. “Apa maksudmu tidak tahu alamatmu?”“Aku beneran gak tahu, Ga! Aku tinggal di rumah Om Zuan. Apa kamu tahu rumah Om Zuan?”“Zuan tetanggaku yang berprofesi jadi tukang ojek?”Aku menggeleng.“Om Zuan mu telfon, di mana alamatnya.”“Aku gak punya ponsel, Ga!” “Jaman sekarang gak punya ponsel, Zi? “Aku menggeleng.“Sudahlah, kita balik kampus saja kalau begitu.”Aga tampak menarik gas motornya kembali hingga motor ini kembali melaju cepat.“Ga, kenapa berhenti di sini?” tanyaku sambil menatap jalanan.“Aku haus, Zi! Kita beli es cendol dulu ya.” Ia turun dari motornya, sedangkan tatapanku mengarah kepada Abang penjual es, mirip sekali dengan Om Zuan . Aku mengucek mataku dan kembali memperhatikannya, wajahnya kini berubah menjadi lelaki dekil dengan pakaian lusuh.“Sini, Zi!”
Read more
bab. 14a
Kamu kenapa, Zi?” Ia menatapku dengan pandangan berbeda.“Gak apa, Om.”“Jangan bohong. Kamu kenapa?”“Aku lapar, Om. Tadi pagi gak sarapan nasi, Zi belum kenyang. Ini sudah saatnya makan siang tapi gak ada yang Zi makan. Tadi mau dapat cendol gratisan, eh gak jadi Zi minum gara-gara keduluan Om datang dan marah.”“Kamu nyalahin aku, Zi?”“Enggak, Om. Kan tadi Om yang tanya Zi kenapa? Ini Zi jawab, tetap saja kena marahan juga.”“Kalau tadi pagi kamu lapar, kenapa gak makan siang di kampus. Kantin di sana kan banyak? Cerdas dikit dong, Zi!”“Uang dari mana, Om? Zi kan budak yang terbeli, jadi gak dapat upah. Zi mana bisa jajan.”Lelaki di sebelahku bangun dan kembali meraih sepatunya, ia menarik lenganku untuk mengikuti.“Mau ke mana, Om?” “Jangan banyak bicara.”“Tapi, Om!”Ia tak bergeming, masih fokus menyusuri anak tangga.“Om, pelanan dikit jalannya.”Mataku membulat sempurna ketika lelaki itu melepaskan pegangan tangannya. Ia kini mendekat dan mengangkat ku begitu saja. Wajahn
Read more
bab. 14b
Uhuk ...Om Zuan terbatuk ketika meneguk minuman dingin berkuah santan itu.“Kamu kenapa, Om? Makanya kalau mau makan atau minum baca doa dulu, supaya setan tidak melintas dan bikin tersedak seperti sekarang.”“Setannya itu kamu, Zi. Yang bikin aku tersedak.”“Hus, gak boleh lo Om menyamakan manusia dengan setan, derajatnya berbeda di depan Allah meskipun sama-sama makhluknya. Setan tak pernah mau menurut perintah Allah, berbeda sekali dengan Zi, Om?”“Sudah ceramahnya? Bu ustadzah laper dan haus kan? Sana habiskan dulu.”Aku menatap berbagai macam makanan di depanku. Ayam goreng sambal lalapan, oseng teri, cah kangkung, orek telur. Benar-benar membuat nafsu makanku bertambah.“Ayo, Om kita makan dulu.”“Habiskan saja, Zi. Menu makan siang ku hanya sup ayam jahe.”Aku menatap lelaki di depanku, yang kini mencoba meraih cendol dari gelasnya. Ia sama sekali tak tertarik dengan makanan yang menggoyang lidah di depannya. Bahkan kini kurasakan lidahku ingin menari untuk segera menyantapnya
Read more
bab. 15
Cup !!!Lelaki itu membentuk jari jemarinya berbentuk bibir dan di kecupkan di dahiku.“Zi, sudah kubilang kan jangan pakai perasaan kepadaku!”“Siapa yang pakai perasaan, Om? Zi ini masih menunggu Om Zuan melepas sabuk pengamannya.”Klik, laki – laki itu kini menjauh dan membuka pintu keluar dari dalam mobilnya. Sedangkan aku membuang nafas kasar, sambil menata detak jantungku yang kini mengalir tak karuan.Aku mengikuti Om Zuan keluar mobil dan mengekorinya tanpa tahu tujuan yang jelas. Memasuki bangunan yang besar, bahkan sangat besar.“Apakah ini yang namanya Mol, Om?” Aku memandang sekitar di mana banyak dagangan mereka pasarkan, barang-barang branded yang hanya pernah ku dengar tanpa sama sekali menyentuhnya.“Om, apa itu merk Chanel yang pernah dipakai Syahrini? “ tanyaku kepada laki-laki di depanku, yang sama sekali tak mengindahkanku walaupun jalanku tertatih. Jari telunjukku mengarah kepada ruangan besar yang berlogo bentuk C yang saling menempel. Beberapa wanita dengan pen
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status