Semua Bab Pharmacist Save the Villain: Bab 51 - Bab 60
64 Bab
Bagian 51: Keadilan
Aroma karbol perlahan raib digantikan harumnya melati. Kasur juga menjadi lebih empuk. Saat membuka mata, dinding kamar dengan pahatan intan tertangkap pandangan. Berarti, perpindahan antar dimensi berhasil dan aku sudah berada di istana Raka. Baru saja mencoba duduk, terdengar bunyi pintu dibuka. “Syukurlah, kamu sudah sadar, Aleeya.” Suara indah Raka yang khas membuatku menoleh ke kiri. “Kyaaa!” Aku refleks menutup muka dengan telapak tangan. Pipi terasa panas, malu, dan kesal bercampur aduk. Sementara dada malah berdebar kencang. Pemuda jadi-jadian itu memang keterlaluan. Dia seenaknya masuk hanya dengan kain melingkar di pinggang. “Kamu baik-baik saja, Aleeya?” “Pakai baju dulu, Raka!” “Ehem, sepertinya ada yang terpesona dengan keindahanku. Yah, mau bagaimana lagi, beginilah kami para keturunan bidadari, selalu menawan dan memabukkan.” “Keindahan gundulmu! Cepat pakai baju, dasar memalukan!” “Oke, oke, Sayang. Apa pun permintaanmu.” Kalau menabok putra bidadari, bakal k
Baca selengkapnya
Bagian 52: Rencana Danar
Aku hanya bisa mengerutkan kening. Perkataan Danar benar-benar menimbulkan banyak tanda tanya. Zaman ini jelas tidak ada CCTV. Jadi, bagaimana caranya membuktikan bahwa aku tidak bersalah. Dharma selaku sang saksi mata juga ditahan di ruangannya. Para dayang dan ibu susu Putri Sekar Ayu sudah jelas memberikan kesaksian yang memberatkan. Danar menghampiri salah seorang pengawal. “Panggilkan Ganendra! Bawakan cangkir berisi jamu yang kusuruh dia untuk menjaganya!” perintahnya. Tak lama kemudian, Ganendra datang membawa nampan berisi cangkir terisi setengah. Dia berhenti di depan Danar. Si pengawal rese mengambil cangkir dan menyodorkannya kepadaku dengan wajah datar. “Minumlah, Tabib. Jika kamu memang meracuni Tuan Putri, maka ini akan menjadi hukuman mati untukmu!” Aku tersentak. Ada senyuman samar di sudut bibir Danar. Sekarang, semua kelakuan anehnya dalam menyikapi fitnah ini bisa dimengerti. Ternyata, dia sangat cerdas. Meskipun sering emosian, saat situasi darurat Danar malah
Baca selengkapnya
Bagian 53: Pengakuan
Putri Sekar Ayu tiba-tiba menjerit dan menangis histeris. “Kangmas Danar, jangan sakiti Mbok Asih! Aku tidak keracunan. Aku berbohong untuk menjebak tabib itu.” “Tidak, itu tidak benar! Bunuh saja saya!” jerit si ibu susu. Putri Sekar Ayu menggeleng. Dia menghambur ke pelukan Mbok Asih. Mereka pun bertangis-tangisan. Danar menyarungkan kembali pedangnya. Sementara Raka hampir meledak lagi. Aku menggenggam tangannya untuk menenangkan. Untunglah, perhatian semua orang tengah terfokus pada sang putri dan ibu susu. Aku tidak akan dipandang aneh karena menggenggam udara. Raja cepat mengangkat tangan untuk menenangkan para warga. Kejadian ini memang bisa menurunkan kepercayaan rakyat jika tidak diselesaikan dengan baik dan adil. “Putriku, kamu sudah mencoreng nama kerajaan kita.” “Maafkan Ananda, Ayahnada.” Putri Sekar Ayu tertunduk pasrah. “Ini semua salah saya, tolong jangan hukum Tuan Putri,” sergah Mbok Asih. “Mbok Asih. Aku sudah berjanji untuk bertindak adil. Oleh karena itu,
Baca selengkapnya
Bagian 54: Penyesalan
Erangan Mbok Asih terdengar semakin menyayat. Aku tersentak. Wanita paruh baya itu, kan, aktingnya cukup buruk. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya saat ini, sakit yang dirasa tampak sangat nyata. Dia tidak mungkin bisa bersandiwara sebagus ini. Apa mungkin dia kena penyakit mag? Bisa jadi, mengingat tingkat stres si ibu susu pasti sedang tinggi-tingginya karena hukuman Putri Sekar Ayu. Jika dia juga tidak menjaga pola makan, tidak menutup kemungkinan lambungnya mengalami peradangan. Aku memang tidak boleh memberikan diagnosa seenaknya. Namun, tidak ada jalan lain, kecuali coba-coba pada zaman serba terbatas ini. Seandainya, Dharma ada di sini mungkin lebih baik. Dia telah menjadi tabib jauh lebih lama, pasti sudah memiliki banyak pengalaman. Putri Sekar Ayu memeluk tubuh Mbok Asih dan berseru panik, “Mbok, Mbok kenapa?” “Sudah tidak ada gunanya kalian bersandiwara,” cetus Danar sinis. Aduh, nih orang kejam benar, sih! “Kami tidak bersandiwara, Kangmas. Mbok Asih benar-benar sa
Baca selengkapnya
Bagian 55: Kata Maaf
Waktu berlalu tanpa terasa. Hampir seharian aku berada di kamar Mbok Asih. Napas lega terembus saat kondisi si ibu susu membaik. Putri Sekar Ayu sampai tertidur dengan bersandar pada tepian tempat tidur. Aku membangunkannya untuk memberitahukan perkembangan Mbok Asih. “Tuan Putri, syukurlah, Mbok Asih sudah aman perutnya."Putri Sekar Ayu menggenggam tanganku dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Tabib. Terima kasih sudah menyelamatkan Mbok Asih. Aku minta maaf sudah memfitnahmu. Kecemburuan sudah membutakanku. Aku memang pantas dihukum.” “Putri ....” Rasa iba menggayuti hati melihat kondisi sang putri yang memprihatinkan, mata bengkak dan rambut acak-acakan. Putri Sekar Ayu tersenyum lembut. Dia sungguh cantik bagaikan dewi saat seperti ini. Aneh sekali, si pengawal rese tidak jatuh cinta. “Kuharap kamu bisa bahagia dengan Kangmas Danar," tuturnya.Deg! Entah kenapa senyuman dan permintaan maaf tulus Putri Sekar Ayu seolah menampar. Gadis di hadapanku ini selalu mendapat peng
Baca selengkapnya
Bagian 56: Melepaskan Kebencian
Suara keras membuatku terbangun. Badan langsung gemetaran. Enam bulan ini rumah kami memang terasa mengerikan. Ayah berubah menjadi jahat, suka memukul ibu. Aku juga akan dipukul atau dicambuk dengan sabuk jika mencoba membela ibu. Anehnya, besok paginya Ayah akan meminta maaf, lalu pergi bekerja. Ibu bilang, Ayah begitu karena minuman setan. Aku juga mencium bau tidak enak dari mulut dan badan Ayah setiap dia memukuli kami. Matanya juga memerah. Mungkin minuman setan membuat orang jadi kerasukan setan. Praaang! “Lepaskan kakiku, Bodoh!” Suara Ayah terdengar menggelegar. Dia pasti menyakiti Ibu lagi. Keadaan menjadi bertambah buruk ketika terdengar tangisan bayi. Sepertinya, adikku Ghaida terbangun juga. Ayah bisa tambah murka. Aku cepat bangkit dari tempat tidur, lalu berlari ke luar kamar. Benar saja, Ayah sedang berkacak pinggang dengan wajah dan mata merah. Kata-kata yang kasar terus keluar dari mulutnya. Aroma minuman setan juga tercium. Ibu terisak-isak sambil memeluk Gha
Baca selengkapnya
Bagian 57: Janji
“Ardhan, kamu mau apa, sih? Pakai harus tutup mata segala.” Ardhan tak menyahut. Terdengar suara pintu mobil dibuka. Dia membimbingku keluar dan berjalan dengan pelan. Pacar tampanku ini memang selalu fenomenal. Sepulang sekolah bukannya diantar pulang, aku malah disuruh tutup mata dan dibawa entah ke mana. “Siap-siap.” Ardhan melepas penutup mata. “Surprise!” Aku menggerutkan kening. Rumah bergaya minimalis dengan taman kecil terpampang di depan mata. Ada tempat bermain anak mini juga, bersebelahan dengan air terjun buatan. Halamannya cukup luas dan masih berupa tanah berumput hias. Jiwa bercocok-tanamku terasa meluap-luap. Pasti menyenangkan menanam TOGA di sini. “Ardhan, ini apa maksudnya?” “Ini hadiah anniversary kita, Leeya, rumah masa depan. Setelah menikah, kita akan tinggal di sini. Lihat tempat bermain itu untuk anak-anak kita. Mereka pasti cantik seperti kamu. Halamannya sengaja tidak disemen. Kamu, kan, suka menanam tanaman obat.” Ardhan terus mencerocos tentang renc
Baca selengkapnya
Bagian 58: Memaafkan Diri
“Mbakyu, sadarlah huaaa!” Suara isakan menggelegar. Aku tersentak. Saat membuka mata, wajah cemas Bawang Putih tertangkap pandangan. Sementara itu, tubuh terasa lelah dan basah oleh keringat. Mimpi tentang Ardhan menguras banyak energi. Akhirnya, janji yang dulu terucap bisa diingat kembali. Rasa bersalah pun menggayuti hati. Amarah dan kekecewaan membuatku gelap mata. Seluruh sikap manis Ardhan menjadi terlihat seperti kepalsuan. Aku pun berusaha melupakan semuanya termasuk janji sendiri. Padahal, jika dipikirkan, mana mungkin seorang laki-laki yang sampai membelikan rumah hendak mempermainkan. Sebenarnya, Ardhan tidak jauh berbeda denganku. Dia juga takut pernikahan karena sering melihat ibunya bermain api dengan arisan berondong. Sang ayah yang gila kerja seperti tak acuh. Oleh karena itulah, Ardhan dikenal suka bersikap dingin pada wanita. Kehadiranku dalam hidupnya membawa angin segar. Ardhan perlahan membangun kepercayaan, bahkan menjadi terlalu bergantung. Namun, taruhan ya
Baca selengkapnya
After Story 1: Sesal
Note: After story saya tulis dalam bentuk POV 3 serba tahu~~~Acara pemakaman Aleeya baru saja usai. Saudara dan tetangga masih ramai di rumah duka sekedar menghibur hati keluarga yang ditinggalkan. Sulastri, ibu almarhumah duduk lemas tersandar di dinding dengan mata bengkak. Dia sudah tiga kali pingsan sejak jenazah dibawa pulang dari rumah sakit. “Aleeya, kenapa harus kamu, Nak? Kenapa bukan ibu saja?” Isakan Sulastri kembali terdengar. “Sudah, Mbak, sudah. Ikhlaskan Aleeya,” bujuk Riana, adiknya. Sulastri mendelik. “Kamu tidak mengerti! Aleeya itu anak yang selalu mencoba membahagiakanku. Dia bahkan tidak pernah menangis karena tidak ingin aku sedih.” “Iya, Mbak. Kita tahu, Aleeya anak yang berbakti.” “Dia selalu menjadikan keluarga nomor satu.” Sulastri mengelap air mata di pipinya dengan sapu tangan yang sudah basah kuyup. Sementara itu, putri keduanya, Ghaida hanya bisa menunduk dalam dengan hati dirasuki rasa bersalah. Andaikan bisa mengulang waktu, dia tidak akan bert
Baca selengkapnya
After Story 2: Tekad Ardhan
Note: after story ditulis dalam POV 3 ~~~ Syahril dan Rosa tampak terperanjat. Pecahan kaca berserakan di lantai. Ada jejak darah hingga ke kamar Ardhan. Suara teriakan penuh amarah juga terdengar dari sana. Sementara itu, Mamat hanya berdiri gemetaran di depan pintunya. Pemuda kurus ceking itulah yang tadi menghubungi Syahril dan Rosa. “Bang, tolong Ardhan!” seru Mamat dengan wajah memelas. “Iya, Mat. Biarkan Abang masuk dulu.” “Ya ampun, Ardhan!” jerit Rosa saat pintu dibuka. Dia seketika terduduk lemas melihat adiknya berbaring di lantai dengan kaki berlumuran darah. Syahril bisa bersikap lebih tenang. Sang dokter masuk dan memeriksa kondisi Ardhan. “Aleeya, kenapa kamu mengingkari janjimu, hah? Jawab aku Leeya! Jawab!” Ardhan kembali berteriak. Dia mendadak bangkit, lalu mulai menghamburkan barang-barang di nakas. Pigura-pigura berisi foto-foto mesranya dengan Aleeya di dinding dihempaskan ke lantai. Syahril memberi isyarat pada Mamat untuk mendekat. Tak lama hingga mer
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status