Semua Bab Rahasia Ibu Mertuaku: Bab 31 - Bab 40
47 Bab
Bab 31
Harto mengusap wajahnya kasar. Tidak mau terus-terusan berdebat dengan Nana dan memperpanjang masalah ini. Harto memilih menyetujui usulan itu.  "Oke, kita cari alim ulama. Tapi di mana? kalau kita bisa menemukannya di desa ini, kita bisa mendatanginya sekarang juga. Tapi jika kita tidak mendapatkannya, maka kita harus mencari penggantinya," ucap Harto. "Mas, mana bisa secepat itu? Mencari alim ulama di desa ini, sama saja bohong! Mana bisa, hari ini dicari, hari ini dapat? Kan kamu sendiri yang bilang, di desa ini tidak ada. Itu artinya kita harus mencarinya di luar desa dulu. Sedang di sini keadaan kita tidak memungkinkan untuk meninggalkan desa. Kakak tertua akan pulang hari ini bersama kakak yang lain. Kita bisa minta bantuan atau kita hubungi kak Ayu untuk mencarinya di kota?" sahut Nana. "Ide kamu boleh juga Na. Kamu hubungi Ayu sekarang saja. Di kota, dia pasti lebih mudah mencarinya. Kalau sudah ketemu, langsung saja minta datang
Baca selengkapnya
Bab 32
"Kenapa kamu menanyakan itu Wat?" tanya Bani, menatap curiga. Wati tak menjawab. Ia hanya diam, sambil menunduk dan memainkan jari-jari tangannya. "Jawab Wat! Jangan bilang, kedatangan kamu ke sini berniat mewarisi ilmu itu?" tebak kakak tertua Harto. Mendengar itu, Wati langsung mendongak. Ia masih belum berani membuka suara. "Jawab Wat!" desak Bani. "I-iya Mas," jawab Wati tergagap. Suasana seketika hening. Ekspresi semua yang berada di sana berubah tegang. Termasuk Nana dan dua saudaranya. "Apa yang kamu bicarakan Wat? Apa yang kamu pikirkan? Kamu sudah gila!" sentak Bani, tak terima. "Aku tidak tega Mas, aku tidak tega melihat cil Daniah seperti ini terus menerus. Siapa yang akan mewarisi ilmu itu kalau bukan aku? Siapa yang kalian semua harapkan? Putri mas Harto? Dia bahkan masih terlalu kecil untuk mewarisi ilmu itu. Aku bersedia melakukannya," jelas Wati, dadanya terlihat turun naik saat mengat
Baca selengkapnya
Bab 33
Hari semakin sore, semburat senja semakin tampak terlihat di ufuk barat. Kelima saudara Harto membatalkan niat mereka untuk pulang hari ini. Kedatangan Wati seakan membawa angin segar untuk ketujuh bersaudara itu, begitu pula dengan Nana dan dua saudaranya. Bukan karena bahagia di atas penderitaan orang lain. Namun, jika sudah takdir, apa yang mau dikata? Larangan dan nasihat sudah mereka berikan pada Wati. Tapi Wati masih bersikeras ingin mewarisi ilmu itu. "Mas yakin tidak jadi pulang?" tanya Bani, kala semuanya duduk berkumpul menunggu waktu magrib. "Hem, begitulah Ban. Kita tunggu kabar dari Wati. Kalau cil Saniah mengijinkannya, sia-sia juga kami pulang sekarang. Toh, ujung-ujungnya juga akan kembali lagi. Sudah rugi tenaga, ditambah lagi ongkos," jelas sang kakak. "Benar juga. Tapi, bagaimana kalau Wati tidak memberi kabar lagi? Bisa saja cil Saniah marah, dan melarang Wati ke rumah ini," sahut Bani. "Kalau memang seperti itu ceritanya.
Baca selengkapnya
Bab 34
"Dengan siapa Mas?" tanya seseorang yang tak lain adalah Wati. Bani segera menarik Wati, lalu menutup pintu rumah. Ia dan Agung saling berpandangan, lalu menoleh ke arah peti. Di sana, sosok berkain kafan masih berdiri tegap. "Kalau ibu kamu ada di sana, terus yang di luar siapa Ban?" tanya Agung setengah berbisik. "Entahlah, mungkin iblis," jawab Bani asal. "Ibu? Maksudnya cil Daniah?" tanya Wati yang tidak sengaja mendengarnya. Mendengar suara Wati. Beberapa orang yang ada di ruang tengah, gegas menuju ruang tamu. Tak terkecuali Harto. "Bani, Agung, kenapa kalian masih di sini?" tanya Kakak tertuanya. "Wati, kamu ada di sini?" tanya Harto terkejut melihat kedatangan Wati. Pandangan Wati beralih ke arah Harto dan kakak sepupunya yang lain. Ia terkejut bukan main, tanpa sadar langkahnya tersurut mundur. Bukan karena terkejut melihat kedatangan para kakak sepupunya. Melainkan saat pandangannya bertemu d
Baca selengkapnya
Bab 35
Malam semakin larut, proses pewarisan ilmu dari ibu Harto sebentar lagi dilaksanakan. Di belakang rumah, tepatnya di dekat pohon-pohon rimbun yang berjejer tak beraturan Wati dan yang lainnya berada. Nana yang saat itu juga ikut menyaksikan, beberapa kali merasa tak karuan. Apalagi saat ekor matanya melirik ke arah peti di mana jasad ibu mertuanya masih ada di dalamnya. "Kak, kok aku merinding ya? Suara burung kedasih juga tidak henti-hentinya berbunyi," bisik Ahmad, merapatkan posisi berdirinya pada Nana. "Huss! Lebih baik kamu diam saja Mad! kita lihat saja prosesnya!" Balas Nana, juga ikut berbisik. Tiga orang tetua desa, mulai menyiapkan semua perlengkapan yang diperlukan. Dimulai dari membakar kemenyan, menyiapkan minyak yang sering disebut orang minyak kuyang dan sebagainya. Aroma kemenyan menguar diterpa angin yang berhembus lumayan kencang. Peti mati yang tadinya tertutup rapat, seketika saja terbuka dengan sendiriny
Baca selengkapnya
Bab 36
 Wajah cantik sang ibu yang semasa hidup selalu terlihat awet muda, kini seketika saja berubah keriput bahkan hampir tidak dikenali. Ilmu hitam yang sudah berpindah kepada Wati, membuat semuanya ikut berpindah dan hilang. Tipu daya setan memang sangat dahsyat, ketika seseorang sudah tidak berdaya, maka setan akan pergi mencari wadah baru. Dan, pengikut terdahulunya akan kekal menemaninya di neraka nanti. "Buu... Kenapa jadi begini?" jerit Harto, air mata luruh begitu saja. "Ada apa Har?" tanya Bani dan saudara yang lainnya. "Lihat ibu Mas!" Tunjuk Harto, ia sendiri merasa takut namun pegangan tangan tetap menahan tubuh sang ibu. Keenam saudaranya mengikuti arah telunjuk Harto. Betapa terkejutnya mereka, saat mendapati perubahan yang drastis. "Ya Allah... "  Hanya kalimat itu yang mampu keenamnya ucapkan, sembari terus menyebut. "Jangan terlalu lama dipandang! Cepat
Baca selengkapnya
Bab 37
 Tanpa menunggu lagi, Harto langsung menyambar ponsel di tangan Ahmad, lalu meletakkannya di telinga. "Reina kenapa Kak?" tanya Harto, wajahnya terlihat gusar sekaligus khawatir. Sedang Nana yang tidak tau sejak kapan tertidur di samping Agung, sengaja tidak dibangunkan oleh dua saudaranya. Mereka tidak mau, jika Nana panik dan nekat meminta pulang malam ini juga. "Har, ibu kamu benar-benar sudah meninggal, kan? Maaf aku menanyakan ini. Soalnya tadi habis sholat isya, tetangga bilang ada ibu kamu di depan rumah. Berulang kali aku menghubungi nomor kalian, tapi baru ini yang nyambung," Cerocos Ayu dari seberang telepon. Pupil mata Harto melebar sempurna. "Ibu sudah dimakamkan baru saja Kak. Tidak mungkin ibu ada di sana," sahut Harto, membuat semua mata langsung tertuju padanya. "Apa? Ibu kamu ada di depan rumah, Har?" pekik Agung, tanpa sadar membuat Nana terbangun. "Siapa yang di depan rumah K
Baca selengkapnya
Bab 38
Waktu seakan berjalan begitu lamban. Sudah berjam-jam para saudaranya menunggu, namun Harto dan Nana belum kunjung bangun. Tak hanya itu, langit juga masih terlihat terang benderang, seakan sang surya enggan untuk beranjak. "Biasanya pukul segini sudah mulai gelap. Kenapa sekarang menunggu sore saja lama sekali?" gerutu Agung. Ia sudah tidak sabar menunggu malam tiba. Dua nyawa adiknya terancam karena ilmu sesat yang dianut almarhumah ibu Harto. "Sabar Gung! Bukan cuma kamu saja yang berharap cepat malam, kami juga. Tapi mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa mempercepat waktu, kita hanya bisa menunggunya saja," sahut Bani, menatap sendu wajah Harto yang kini mulai terlihat pucat. "Kenapa wajah Harto pucat, Tetua? Nana juga," ucap Marto-- saudara Harto, memperhatikan wajah adik dan iparnya. "Jiwa mereka terlalu lama di alam 'mereka' semoga saja adik kalian bernama Ahmad itu bisa dengan cepat menemukan keberadaan Harto dan istrinya. Kalau sampai lewat tengah malam nanti keduanya belu
Baca selengkapnya
Bab 39
Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu. "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!" "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan aku, apa yang harus aku katakan nanti pada saudara yang lain dan putri keci
Baca selengkapnya
Bab 40
 Di alam nyata, keenam saudara Harto dan Agung duduk bersila mengelilingi Harto dan Nana yang masih terbaring tidak sadarkan diri. Wajah mereka semakin terlihat pucat dan mulai dingin. Sedang tetua sepuh duduk bersila sedikit menjauh dengan kedua mata terpejam. Tangannya tidak henti-hentinya menggulirkan butiran tasbih kecil, serta mulut yang komat-kamit membaca sesuatu.  "Mas, kaki Harto semakin dingin," bisik Bani, matanya mulai berkaca-kaca. Kelima saudara yang lain mendekat, lalu ikut memegang kaki Harto. Tak jauh berbeda, ekspresi wajah yang lain juga sama seperti Bani. Kekhawatiran tergambar jelas, apalagi saat melihat cahaya bulan sedikit meredup. "Semoga Ahmad berhasil menemukan  dan membawa mereka kembali. Kita banyak-banyak berdoa saja!"  "Aamiin, semoga saja Ahmad berhasil. Kalau sampai gagal, aku sendiri yang akan pergi mencari mereka. Maa bodo dengan setan di luaran sana. Adik-adikku membutuhkan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12345
DMCA.com Protection Status