All Chapters of Rahim 200 Juta sang Tuan Muda: Chapter 21 - Chapter 30
37 Chapters
Bab 21
Melody menatap Andrean dengan lekat, pria di sampingnya itu masih sibuk dengan lengan kemejanya. "Tahu apa, Mas?" ulang Melody melempar tanya. "Aku dan Nadea itu menikah dengan sedikit terpaksa," jawabnya lirih. "M-maksudnya? Bukannya mas dan mbak Nadea itu saling cinta ya?" Melody memberikan beberapa pertanyaan sekaligus. Andrean menatap Melody lekat, raut wajahnya aneh. Tatapannya dingin seolah semua yang pernah ia katakan itu hanya ilusi. "Aku mencintainya, tapi dia tidak mencintaiku sedalam itu. Lebih tepatnya kami hanya terpaksa menikah karena sudah berpacaran lama," jelas Andrean dingin. Shock! Melody mendengar penjelasan Andrean dengan melongo, masih tidak percaya begitu saja. Dari banyaknya kenyataan mengejutkan, kenapa ia harus mendengar tentang ini. "Lupakan tentang ini, Melody. Ayo kita makan saja," ujar Andrean dengan menggandeng tangan Melody keluar. Melody mendongakkan kepalanya kaget, "Ayo, Mas." "Jum, masak apa hari ini?" tanya Andrean setibanya di dapur."Ke
Read more
Bab 22
Andrean melingkarkan tangannya untuk memeluk erat pinggang Melody. Untuk kali ini ia merasakan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Selamat tidur, Mel." Andrean memejamkan matanya erat, terlelap hingga samar suara jam dinding tidak lagi terdengar. Melody terbangun dengan penuh keterkejutan, ia merasa ada sesuatu yang menindih tubuhnya. Saat matanya menyipit, ia mendapati lengan Andrean ada di pinggangnya. "M- ...," Melody tidak melanjutkan ucapannya. Pelan tangan Melody menyingkirkan tangan Andrean, menatap nanar pria yang kini tertidur lelap di sampingnya. 'Sejak kapan?' tanya Melody lirih dalam batinnya. Matanya menatap ke jam dinding yang tergantung di tembok. "Masih jam 2 dini hari, tapi perutku sangat lapar. Hm, aku harus turun ke bawah," gumam Melody. Pelan ia mengangkat tangan Andrean, secara tiba-tiba ia seperti terganggu tidurnya. "Mel," panggilnya lirih. "Mau ke mana?" tanya Andrean. "Aku mau ke dapur, Mas. Aku ngerasa lapar ...," Melody beranjak dari
Read more
Bab 23
Melody dengan tangan gemetar beranjak meninggalkan kamar. Tanpa memedulikan pintu itu masih terbuka lebar. Ia berlari sekuat tenaga dengan membawa perutnya yang kian berisi. "Bu-bukan hakmu untuk cemburu, Mel! Kamu 'kan hanya istri pelengkap atas kurangnya mereka ...," isak tangis itu membasahi pipi Melody.Dari kejauhan, Andrean berdiri dengan penuh keraguan. Tangannya berdarah akibat pecahan gelas kaca yang jatuh di depan pintu. "Maafkan aku, Mel," lirih ucapannya. Andrean memanggil Juminah, meminta pembantunya itu menemani Melody. Setelahnya, ia memilih lelap di dalam kamar tamu. ***"Nona, diminum dulu jusnya," Juminah menyodorkan segelas jus apel pada Melody. Matanya menatap Juminah malas, Melody terlihat seperti orang lain. Berubah drastis menjadi wanita yang lebih dingin. "Nona, diminum dulu ya jusnya, saya letakkan di sini," ucap Juminah. Ia berjalan menjauh meninggalkan Melody sendirian di balkon. Lama ia duduk tanpa memiliki harapan. "Apa aku membatalkan perjanjian
Read more
Bab 24
Andrean mendongakkan kepalanya, matanya mengerjap berulang kali. Memastikan apa yang ia lihat benar-benar dan bukan ilusinya saja. Pelan tangannya membelai lembut pipi Melody, sudah siap jika ia akan mendapatkan umpatan atau pun ekspresi kebencian. "Kamu sudah siuman? Kamu baik-baik saja?" berondong tanya Andrean lekat. Belum sempat Melody merespon ucapan Andrean, ia bergegas pergi keluar. Langkahnya tercekat dengan tangan yang masih ditahan Melody. Tatapannya penuh kesenduan! "Aku panggil dokter atau perawat dulu, hanya sebentar, Mel," ucapnya. Melody menganggukkan kepalanya, semakin samar penglihatannya pada tubuh Andrean yang hilang dari radar. Dalam diam, Melody hanya bisa menatap langit-langit kamar. "Nak, apa kamu tahu kalau ibu sangat bahagia saat melihat ayahmu di sini? Ibu sangat senang," lirih ucap Melody dengan mengusap perutnya. Akan tetapi, ia merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya, kenapa perutnya tidak lagi membuncit? Kenapa perutnya menjadi datar dan kecil?
Read more
Bab 25
Sakit rasanya menjadi Melody, namun apa dayanya saat ini? Ia hanyalah gadis yang membutuhkan uang. Selebihnya ia hanyalah seorang madu yang menjadi pabrik anak. Kasar sekali bahasanya, namun itu benar bagi Andrean. Pria anak orang terpandang itu hanya menikah karena membutuhkan anak sebagai penerus. "Mel ..., Jangan seperti itu," peringat Andrean lirih. "Apa yang jangan seperti itu, Mas? Aku sudah muak ya, memangnya aku se-" Melody tidak lagi mampu mengucapkan kalimat terakhirnya. Isak tangisnya kembali pecah, membasahi pipi tembamnya. Tidak ada lagi senyum manis yang dari kemarin menghiasi wajahnya. "Mel ... Kita pulang saja ke kota ya," lagi, ajak Andrean dengan lembut. "Aku ingin tinggal di sini saja, pulanglah ... Aku tidak lagi peduli," ujar Melody tanpa ragu. Ia membelakangi tubuh Andrean, tidak lagi memedulikan apa yang pria itu katakan secara berulang-ulang. Jujur malas! Melody sudah cukup sakit hati dengan ucapan Nadea. Lalu ... Ia masih diminta kembali bertemu denga
Read more
Bab 26
"Mel ... Ada apa, Mel?" tanya Andrean dengan penuh rasa khawatir. "Sakit ...," rintihnya lirih. Andrean berlari ke luar ruang inap, langkahnya tertatih mencari keberadaan dokter. Sudah gila rasanya ia mencari. "Ada apa, Tuan?" tanya seorang perawat yang berjalan tidak jauh darinya. "Istriku!" teriaknya dengan ngos-ngosan. "Baik, saya akan menanggil dokter jaga," ucap perawat yang berjalan meninggalkan Andrean. Sayup-sayup langkahnya menuju ruang inap Melody, kembali menatap istrinya yang merintih kesakitan. Tidak membutuhkan waktu lama, ketukan pintu itu terdengar nyaring. Pintu ruang inap yang terbuka menampakkan dokter beserta perawat. "Malam, Tuan muda. Saya periksa dulu ya," ucap dokter yang menangani Melody. Hanya dengan satu anggukan kepala Andrean menyetujui tindakan dokter. Lama dokter itu fokus pada Melody, "Ini hanya gejala pasca keguguran, Tuan muda. Sekarang Nona sudah kembali terlelap," jelas dokter dengan menepuk pelan pundak Andrean. "Terima kasih banyak, Dok
Read more
Bab 27
Deg! "Ma-maksudnya?" tanya Melody dengan menatap Andrean lekat. Pria itu hanya mengulas senyum tanpa basa-basi, tidak memberi jawaban pada Melody. Ia kembali mendorong kursi roda, membawanya ke taman rumah sakit yang indah. "Aku bosan sekali, Mas," keluh Melody lirih. "Besok kita pulang ya, biar Juminah yang merawat di rumah," ujarnya. Melody menganggukkan kepalanya paham, tidak lama dari itu sebuah dering telepon terdengar. "Sebentar ya," ucap Andrean. Langkahnya menjauh meninggalkan Melody sendirian. Siapa penelepon itu? Dan mengapa Andrean sampai menjauh darinya yang tidak berdaya. Isi pikirannya melayang terlalu jauh nyaris kejauhan. "Halo ... Ada apa lagi, Nad?" tanya Andrean lirih setelah telepon itu tersambung. "Kamu kapan pulang, sayang? Apa kamu tidak rindu denganku? Sudah hampir 3 bulan loh ini bahkan lebih ...," lirih suara Nadea menggelayut. "Lusa aku akan pulang ke kota J, kamu bersabar saja ya," ucap Andrean sebagai akhir dari pertanyaan yang kian menghantuiny
Read more
Bab 28
"Tidak!" seru Melody keras. Tangannya mendorong tubuh Andrean untuk menjauh, tidak ada kalimat yang keluar selain itu. Tatapannya tajam menusuk siapa pun yang melihatnya. "Aku benci kamar ini!" hardiknya keras. Langkahnya tertatih keluar kamar, tangisnya membasahi pipi. Dengan mata merah yang terpancar jelas. "Aku lelah ...," keluh Melody dengan terduduk di ambang pintu. "Mel ...," lirih suara Andrean, sontak ia memeluk erat tubuh istrinya. Dekapan hangat agar istrinya tidak lagi marah, tangisnya semakin pecah. Andrean yang tidak paham apa yang dirasakan Melody hanya diam. "Aku benci kamar itu, Mas! Anakku kehilangan nyawanya di sana ...," rintihan Melody terdengar menyayat hati. "Mel ... Tenang ya, nanti kita pindah dari kamar itu," bisik Andrean lirih. "A-aku sangat membenci diriku sendiri, kenapa aku sangat ceroboh?" hardiknya dengan memukul tubuhnya dengan kuat. "Stop, jangan melukai dirimu sendiri, Melody! Ini salah kita berdua. Oke, sekarang kamu istirahat lagi, atau m
Read more
Bab 29
Melody terjaga dari tidur singkatnya, ia merasakan tubuhnya tertimpa sesuatu. "Aduh, i-ini tangan siapa?" tanya Melody lirih pada dirinya sendiri. Setelahnya, ia mengangkat perlahan tangan yang memeluknya. Dan ya, Andrean sudah tidur di sampingnya lelap. 'Sejak kapan ia di sini?' gumam Melody penuh tanya. "Jangan bergerak, temani aku tidur ya!" bisik Andrean lirih. "Hah, aku haus, Mas!" seru Melody keras. Kini ia dengan susah payah menggeser tubuh Andrean, tangan yang semula memeluk pinggang Melody juga ia singkirkan. "Mel ... Kamu masih marah sama mas?" tanya Andrean dengan menatap mata Melody nanar. "Memangnya aku marah sama mas? Aku hanya capek," Wanita yang kini sudah berjalan pergi meninggalkan kamar tamu. Meninggalkan Andrean sendirian di kamar. "Mau aku marah atau tidak, kamu pasti juga tidak peduli denganku, Mas," ucap Melody lirih.Dapur yang gelap membuat Melody sempat berpikir 2 kali, namun apalah daya ia sudah kepalang haus. "Mel," suara lirih yang terdengar asi
Read more
Bab 30
Sejak pagi, Melody sudah sibuk dengan persiapan kembali ke Kota J. Ingin rasanya menetap di rumah ini, namun apalah daya. "Aku mau ke rumah ibu ya, Mas," ucapnya lirih. "Aku sudah beli apartemen baru loh buat kamu, Dek," ujar Andrean. Melody menolehkan kepalanya seraya melipat baju. "Bukan begitu, Mas. Aku pengen ketemu ibu aja, nanti juga balik lagi ke apartemen," paparnya. "Tapi aku gak ikut ke rumah mas ya, aku takut ketemu Nona Nadea," tambah Melody lirih. Andrean menganggukkan kepalanya paham, setelah semua persiapan selesai. "Bu Jum, terima kasih ya," ucap Melody lembut. "Nona tidak perlu berterima kasih, ini sudah tugas saya. Senang bisa menemani nona dan merawat nona di sini," manik mata wanita paruh baya itu berkaca-kaca. Bulir bening yang tertahan di ujung pelupuk mata itu akhirnya pecah begitu saja. "Loh, Bu Jum. Jangan menangis," tanpa ragu Melody memeluk tubuh Juminah. Tidak membedakan kasta atau apa pun itu, ia hanya menyayangi orang-orang yang baik padanya. T
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status