All Chapters of HADIAH MUKENA DARI IBU: Chapter 41 - Chapter 50
66 Chapters
Part 34 B
Pertanyaan macam ini? Bukankah tidak seharusnya majikan mengeluarkan kalimat seperti itu? Aku jadi bingung hendak menjawab apa. Sampai detik ini, aku masih berpikir ingin menjadi pembantu di rumah itu. Ketika dokter menyangka aku istrinya, hal itu pun tak lantas membuat hati jadi percaya diri.“Bu-bukan seperti itu, Pak maksudnya, tapi ....”“Pak Harun ....” Belum sempat menyelesaikan bicara, suster sudah memanggil.Pak Harun sudah bisa berdiri sendiri dan mulai berjalan pelan. Aku rasa akibat dari kecelakaan itu tidak terlalu parah, keterpurukan Pak Harun ditinggal istrinyalah yang seolah membuatnya semakin sakit.Setelah ucapannya tadi, Pak Harun jadi diam. Bahkan di dalam mobil pun demikian. Biasanya ia akan mengajak mampir ke rumah makan, ini tidak. Aku duduk di tengah pun sama-sama diam sambil memangku Hasbi. Apalah aku ini yang hanya seorang pembantu.“Hasbi tahun ini sudah saatnya masuk TK. Kamu harus memikirkan itu. kalau memang mau pulang kampung dan kembali sama suami kamu,
Read more
Part 35 A
Aku membuka plastik yang diberi Pak Harun, isinya sebuah baju sepanjang lutut dengan lengan sebatas siku. Bahan yang lembut serta warna yang soft, membuat hati langsung jatuh hati. Tanpa sadar bibir tertarik membentuk seulas senyum. Andai yang memberikan adalah suamiku, tentu saja hati tambah berbunga-bunga. Senyumku redup, manakala sadar jika yang memberikan itu adalah majikan. Bukan tidak berterima kasih, tetapi aku tidak boleh terlalu bahagia. Itu sangat memalukan. "Kamu tidak suka?" Suara Pak Harun terdengar keras. "Em, saya suka, Pak. Tentu saja sangat suka. Ini terlalu bagus untuk saya yang seorang pembantu." "Kamu tidak mau menerimanya?" Sepertinya akhir-akhir ini Pak Harun senang sekali memfitnah. "Kalau tak suka, bawa saja berikan pada Sumi nanti saat kamu pulang," lanjutnya lagi. Lama-lama hati kesal juga dengan omongan dia. Jangan karena majikan, seenaknya saja bicara. "Pak Harun, maaf, dari tadi Bapak selalu men
Read more
Part 35 B
"Bu, jujur saja saya sedang berada di fase yang sangat nyaman. Saya tidak peduli dengan status saya. Ibarat kata, habis dikejar-kejar segerombolan binatang di hutan, kini saya sampai di sebuah desa yang sangat aman. Jika Ibu di posisi saya, apa yang akan Ibu lakukan? Kembali ke hutan itu bertemu dengan binatang yang siap memangsa, atau bertahan di sini sementara waktu?" Bu Normi menatapku sambil mengangguk kecil. "Ibu paham maksud saya?" Lagi, beliau mengangguk. "Bagi saya, saya tak peduli status yang penting saya jauh dari mereka." "Jika ada yang suka sama kamu, kamu bagaimana?" Aku tertawa kecil. "Ada banyak jawaban kalau itu, Bu. Aku tidak yakin akan ada yang mau dengan perempuan beranak dua. Dan alasan lain, jika pun ada yang mau, aku belum bisa mengenalkan Dinis dan Hasbi pada orang baru. Iya kalau mereka nyaman dengan orang tersebut. Kalau tidak?" Aku berhenti sebentar. "Maaf, Ibu, bukankah Ibu pernah ada di posisi saya dan memili
Read more
Part 36 A
Part 36Melupakan rasa sakit hati, tak semudah mencintai seseorang. Hati yang terlanjur sakit, hanya butuh rasa nyaman untuk menyembuhkan, bukan pelampiasan.*Resmi*Aku menutup kembali pintu kamar dan urung keluar. Berkali-kali menggelengkan kepala, menepis kenyataan yang telah terlanjur singgah di telinga ini.Tidak, mereka hanya menyatakan sebuah opini semata. Hati ini, biar saja seperti sekarang. Terlanjur nyaman dengan kesendirian. Lebih baik esok aku bersikap biasa saja, seperti tidak tahu apapun.***NA***“Resmi, hari ini aku sudah agak mendingan. Kamu antar Harun terapi, ya!” perintah Bu Normi yang tentu saja aku iyakan.Aku hanyalah pembantu dan tugasku melayani majikan.“Sepertinya kamu perlu belajar naik motor, Resmi. Supaya mudah jika mau bepergian,” kata Bu Normi lagi.“Jika itu memang dibutuhkan, saya mau, Bu. Tapi siapa yang mau mengajari?”“Roni. Dia yang akan mengajari kamu di sore hari.”Aku mengangguk pelan. Anggap saja aku mayang mereka yang akan menuruti segala ya
Read more
Part 36 B
“Naik jabatan jadi sopir ya, menggantikan kamu,” balasku dengan candaan.“Yah, kok jadi sopir, jadi nyonya dong, Mbak. Nyonya Harun,” teriaknya kencang.Refleks aku memukul tangannya keras. “Jangan sembarangan kalau bicara! Aku ini pembantu.”“Mbak, kenapa sih merendah terus? Gak pengen nasibnya berubah apa?”“Ya pengen, tapi candaanmu keterlaluan lho. Itu majikan kita.”“Ya ‘kan sudah didoakan siapa tahu jadi nyonya.”“Sudah, sudah, berhenti bercandanya. Kita harus pulang.”“Salut aku sama Mbak Resmi. Selalu merendah dan tahu diri. Jarang-jarang lho, Mbak wanita kayak gitu. Yang banyak itu matre, kalau lihat orang kaya ya penginnya deketin. Aku pengen punya satu cewek yang kayak Mbak resmi, tapi yang muda, kalau Mbak resmi ketuaan, hahahaha ....” Roni tergelak.Aku menoyor bahu pemuda itu dan meninggalkannya.“Sudah selesai tadi main pasirnya?” Aku bertanya pada Hasbi yang mulutnya penuh dengan kelapa.“Sudah. Mau mandi, Ibu, lengket.”Tak sengaja tatapan kami, aku dan Pak Harun bers
Read more
Part 37 A
Part 37“Te-terima kasih, Pak, sudah membantu saya. Maaf jika harus melibatkan Bapak dalam situasi ini,” ucapku sambil mengamati Pak Harun yang masih berdiri tegap. “Itu, Pak, Anda sudah bisa berjalan,” kataku lagi.“Mau sampai kapan kamu hidup dalam ketidak pastian? Lelaki itu akan mencarimu terus, selama kamu belum bercerai dari dia. Selama kalian masih punya ikatan, maka ia berhak atas diri kamu, apapun latar belakang masalahnya, memang benar, kalian saat ini masih bersama, jadi dia punya hak atas kamu,” jawab Pak Harun.Hatiku mengiyakan apa yang lelaki itu katakan. Diri ini terlalu pengecut untuk hanya sekedar pulang mengurus status.Pak Harun berjalan, masuk kamar lalu menutup pintu. Meninggalkan kursi rodanya begitu saja.***NA***Tanganku gemetar saat menerima gaji dari Bu Normi. Tidak percaya karena isi amplopnya cukup tebal. Aku membuka perlahan dan mengintipnya. “Bu, ini terlalu banyak,” ucapku tidak percaya.“Tidak, itu sepadan dengan pekerjaan kamu yang banyak. Lagi pula,
Read more
Part 37 B
“Pulanglah! Urus perceraian kamu, dan Roni akan datang ke kampung kamu untuk mengurus pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik, Resmi. bila sekarang kamu belum mencintai Harun, belajarlah mencintai dia. Tidak semua pernikahan yang didasari oleh perjodohan, akan menimbulkan penderitaan. Kamu menikah dengan suamimu atas dasar cinta bukan? Tapi buktinya apa, dia menyakitimu ‘kan? Harun orang yang setia. Ditinggalkan istrinya dulu, ia memilih terpuruk.”Aku menunduk bingung. Mereka adalah sumber uangku saat ini. Jika aku menolak, aku harus kemana lagi? Jika menerima, hati masih terasa sulit membuka.Ya Allah, aku harus bagaimana? Tunjukkan jalan apa yang harus ku pilih?Aku menjerit dalam hati.“Itu adalah sebuah tawaran, Resmi. Kamu bisa menerima, bisa juga menolak. Jika pun kamu menolak, kamu masih bisa kok bekerja di toko. Aku sudah merasa sangat cocok dengan kamu. Aku bukan orang yang bisa mudah menerima orang baru. Ini hanya unek-unek yang ada dalam hatiku. Maaf jika kamu merasa ter
Read more
Part 38 A
Part 38Pak Harun sudah tidak lagi menggunakan kursi roda. Ah, seperti sedang bersandiwara saja kemarin-kemarin saat masih duduk di atasnya. Kenapa terapi beberapa minggu saja, dia sudah bisa berjalan?“Kamu melihatku terus dari tadi, ada apa?” tanya Pak Harun membuat aku salah tingkah.“Ah, enggak, kenapa Bapak sudah bisa berjalan sekarang?”Aku berlalu dengan segera, menghindar dari rasa malu.Pagi ini, seperti biasa kami makan bersama. Dinis sudah rapi karena hendak mengikuti loma di tingkat kecamatan. Ia sudah tidak lagi canggung saat diajak makan satu meja dengan keluarga ini.“Harun, kamu mau kemana sudah rapi?” tanya Bu Normi.“Ada acara, Bu.”“Kamu naik apa nanti?”“Diantar Romi.”Aku tidak melirik mereka sama sekali, memilih menyuapi Hasbi sampai habis.Tinggal di rumah Bu Normi, rasanya sudah betah, tetapi sadar kalau aku wanita yang masih beristri dan ada Pak Harun yang menjadi duda. Aku sudah berpikir hendak mencari rumah kontrakan. Namun hal tersebut belum ku utarakan pad
Read more
Part 38 B
“Panggil bapak. Bapak saja, tanpa ada embel-embel Harun. Kalau kamu gak mau panggil itu, nanti pas menang dan maju tingkat kota, aku tidak mau mengajari,” Pak Harun berbisik di telinga Dinis sehingga posisi kepalanya condong pada pangkuan dimana Dinis berada.“Baik,” kata Dinis cepat.“Wah, ini orang tua kamu ya?” Tiba-tiba seseorang berpakaian guru menghampiri.“Em ....” Dinis hendak menjawab.“Iya, kami orang tuanya.” Pak Harun cepat menjawab sebelum Dinis selesai berbicara.Pria itu mengangguk-angguk dan berpamitan.“Siapa dia?” tanya Pak Harun pada Dinis.“Orang itu jadi pengawas tadi di dalam, sering menghampiri aku dan tanya-tanya. Kenapa Pak Harun bilang orang tuaku?”“Supaya kamu menang,” jawab Pak Harun asal.Kami kembali diam. Tak lama kemudian, Dinis tiba-tiba berbicara lagi.“Ibu, aku ingin pulang ke desa.”“Kamu ingin tinggal di sana lagi?” Pak Harun yang menjawab.“Enggak. Aku cuma pengin pulang dan ketemu sama Suci. Habis itu, kesini lagi.”“Kalau kamu menang lomba, Bap
Read more
Part 39 A
Part 39“Tapi beneran ya, aku diantar pulang setelah selesai tes?” ucap Dinis memasang wajah sedih.“Iya, nanti kamu pulang sama Mas Roni,” jawab Bu Normi. Atas pertimbangan banyak hal, Dinis yang hendak mengikuti tes catur wulan ditahan Bu Normi agar tidak ikut pulang. Ia akan menyusul satu minggu lagi diantar Romi.“Sabar ya, nanti kamu bisa di sana sebulan. Setelah selesai tes, kamu akan langsung menyusul,” ucapku pada Dinis.Aku akan pulang untuk mengurus banyak hal, oleh karenanya, Hasbi juga ditahan oleh Bu Normi untuk sementara waktu.“Gak papa, nanti ada Mbok Jum. Dia juga sudah biasa tidur dengan Harun sekarang,” kata Bu Normi.Akhir-akhir ini, Hasbi lebih dekat dengan Pak Harun dan sering tidur bersama. Aku harus mengambil keputusan ini agar tidak terganggu dengan Hasbi.“Bu, apa tidak merepotkan nanti kalau anak-anak aku tinggal?”“Apa selama ini aku kelihatan tidak ikhlas dengan anak-anak kamu?” Bu Normi balas bertanya.“Baik, Ibu, aku akan pergi sendiri.”***NA***“Hati-
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status