All Chapters of HADIAH MUKENA DARI IBU: Chapter 11 - Chapter 20
66 Chapters
Part 11
Part 11POV ResmiAku terdiam di sudut ruangan dengan pintu jeruji besi dalam keadaan baju yang terkoyak sobek. Rasanya sakit hati sekali diperlakukan sesadis itu. Meski beberapa saat lalu merasakan malu, tetapi sekarang yang kupikirkan adalah Dinis dan Hasbi.Mereka sedang apa?Tanpa aku, mereka hidup dengan siapa?Amarah yang memuncak pada keluarga Ratno seketika sirna, berganti sedih hati yang tak bertepi. Membayangkan dua buah hati harus hidup dengan berbagai cacian yang mendera. Keluargaku, sudah pasti akan semakin menyudutkan mereka.Beberapa hari harus tinggal di dalam penjara, aku selalu mendapatkan perlakuan yang buruk. Mereka tidak segan mencambuk hanya untuk mendapat pengakuan dariku. Sampai kapanpun, aku tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan.Tangan ini tidak pernah mengambil uang seperti yang dituduhkan oleh Juragan Ratno dan juga istrinya. Malam itu aku hanya masuk rumahnya karena Hasbi meminta buang air besar. Akan tetapi, sungguh tidak menyangka sam
Read more
Part 12
Part 12Memeluk dingin seorang diri. Meratapi nasib dalam sepi. Malam-malam yang ku lalui hanya berteman dengan air mata ....~~Resmi~~***Kutatap wajah polos yang tertidur dengan lelap. Mengusap pipinya pelan, merapikan anak rambut yang tak beraturan. Dinis, tak seharusnya kamu menanggung ini semua, Nak. Maaf telah menghadirkan kamu ke dunia ini hanya untuk ikut berkalung duka. Permintaan Dinis sebelum tidur membuatku dilanda bimbang. Menyusul mas Harno?Beberapa orang yang ada di Jakarta banyak yang memberikan informasi jika suami yang kucintai itu sudah berpindah tempat kerja. Sekarang, Dinis bilang jika ia melihat ayahnya di pasar dan di jalan?Mas Harno, sejak aku melahirkan Hasbi, perangainya berubah total. Jarang pulang dan jika pun pulang seringnya tidak membawa uang. Membuat mbak Darmi semakin mempunyai bahan untuk mengolok-olok dan menyalahkanku.“Hutang lagi? Bukankah suami kamu sudah pulang? Pergi kerja lama, masa tidak bawa uang?”Aku hanya bisa menunduk tatkala kakak p
Read more
Part 13
Part 13“Mbak, makan dulu, Mbak ....” Sebuah ketukan di depan pintu membuatku bangun. Jujur saja, perut memang minta diisi.“Dinis, Mbak, bangun, kita makan yuk!” ajakku pada Dinis yang baru saja terlelap. Aku menggoyang-goyangkan badannya pelan.Dinis membuka matanya perlahan. “Ibu, aku lapar,” ucapnya pelan.“Iya, makanya, ayo kita makan,” ajakku lagi.Entah bagaimanapun sikap dari keluarga ini yang tiba-tiba berubah, perutku punya hak untuk diisi. Setidaknya agar punya tenaga untuk menghadapi kenyataan yang entah seperti apa. Sejak kedatanganku di rumah ini, aku punya firasat yang tidak baik.Suasana dapur tidak ramai, tetapi tidak juga sepi. Beberapa orang masih memasak di sana. Namun, tak satupun yang mau bertanya padaku.“Makan dulu,” ucap Wati sambil menyodorkan dua piring nasi dan sepiring bihun berbumbu kecap.Mataku menangkap setumpuk ayam yang sudah dimasak yang terletak di nampan, tak jauh dari kami. Aku melirik Dinis. Ia melihat makanan yang terlihat lezat itu dengan urat
Read more
Part 14
Part 14 “Resmi, kenapa berdiri di balik tembok?” Sebuah suara membuatku kaget dan menghadap belakang. Ibu mertua sudah berdiri sambil menatap tajam wajahku. “Aduh, Mas, lupa kasih tahu. Tadi mbak Resmi kesini pas Maghrib.” Aku masih sempat mendengar suara Makmur. “Sudah, masuk kamar sana! Kamu besok pagi buta diantar suaminya Wati buat pulang. Soalnya mau banyak tamu dari Jakarta yang datang kesini. Butuh kamar banyak, daripada kamu tidak ada tempat mending pulang.” Sebuah kalimat pengusiran yang terdengar menyakitkan. Aku mendekap tubuh Dinis semakin erat. Mas Harno tiba-tiba sudah ada di sebelah kami. Mata ini menatapnya lekat. Pria tampan yang sudah hampir setahun tidak berjumpa, semakin terlihat gagah. Badannya sedikit berisi. Baju yang dipakai pun bagus. Rasa rindu dan marah bercampur menjadi satu. Aku tidak tahu, mana yang harus ku luapkan. Kami memang sering bertengkar. Mas Harno bukan orang yang romantis, dan juga tidak terlalu perhatian. Wataknya sedikit keras. Akan teta
Read more
Part 15
Part 15 Kokok ayam berbunyi saling sahut menyahut--membuatku terjaga dari tidur yang hanya sebentar. Setelah mas Harno keluar kamar, aku tidak dapat tidur. Sempat keluar tengah malam mencari keberadaannya, ternyata suami yang sudah lama meninggalkanku itu tidur di kamar Makmur. Aku keluar kamar untuk mengambil air wudhu dan langsung berpapasan dengan Wati. “Mbak, Kang Udin sudah siap mengantarkan mbak Resmi pulang,” katanya tanpa peduli aku yang belum sadar penuh. Ternyata ucapan ibu mertua yang mengatakan kalau aku akan diantar pulang oleh suami Wati, benar terjadi. Di sini cukup paham, kalau aku sudah tidak berarti lagi di keluarga ini. Tidak perlu memaksa untuk dianggap ada, karena akan menambah sakit hati ini. “Tapi anak-anakku masih tidur, Wati. Aku kasihan sama Dinis kalau disuruh jalan kaki.” “Gak papa, nanti Kang Udin akan bantu gendong Dinis.” “Wati, aku tidak tahu, atas alasan apa kalian memperlakukan kami seperti ini. Kamu pun sama-sama wanita. Jika di posisiku sek
Read more
Part 16
Part 16 Sepanjang hari setelah sampai rumah, aku masih memikirkan kalimat yang diucapkan Udin saat hendak berpisah tadi. Menimbang-nimbang keputusan yang hendak kuambil, apakah aku akan kesana atau tidak. Memperhitungkan dampak baik buruknya. Akan tetapi, rasa penasaran mendorong hati untuk mantap kembali ke rumah itu lagi. “Besok aku akan kesana, tetapi harus bersama dengan seseorang yang bisa kupercaya. Agar jika ada sesuatu yang menimpa, aku punya teman menghadapi,” ucapku seorang diri. Miyanti, sosok yang paling tepat kuajak ikut serta ke rumah keluarga mas Harno. Dia janda yang anaknya sudah besar dan sudah bekerja di Jakarta. Ia menikah sejak masih belia, beda denganku yang sampai bergelar perawan tua. Rumah Miyanti juga cukup jauh dari rumahku, jadi akan aman dari keingintahuan mbak Darmi. Pembenci memang seperti itu, selalu ingin tahu apa yang sedang dialami oleh orang yang dibencinya. Tadi siang saja, ia sudah datang ke rumah. Alih-alih ingin memberi perhatian, bahasa yang
Read more
Part 17
Part 17 Wajah yang menampakkan kemarahan itu langsung mencari kain di lemari dan menutupnya ke atas tubuh mas Harno. "Terlalu kamu, Resmi! Beraninya kamu masuk ke rumah orang tanpa permisi dan membuat onar." Ibu mertua mengatakan ini rumah orang? Semakin mempertegas statusku dirumah ini. "Lepaskan Marni!" perintah ibu mertua lagi. Ya Rabb, wanita di hadapanku ini, apa dia tidak memposisikan diri jika menjadi aku? "Jadi emak tahu tentang hubungan mereka?" tanyaku asih menjambak rambut perempuan bernama Marni. "Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi. Lepaskan Marni!" "Oh jadi emak kemarin melarangku menempati kamar ini, kemudian mengusir aku dan anak-anak, itu karena kamar ini akan dijadikan tempat zina?" tanyaku sinis. "Itu bukan urusan kamu. Ini rumahku. Aku tidak perlu menjawab pertanyaan kamu, Resmi." Pandangan ibu mertua beralih pada mas Harno. "Bangunlah, Harno! Pakai bajumu dan seret wanita ini keluar. Kita sepertinya harus memberi pelajaran sama dia agar tidak l
Read more
Part 18
Part 18 Sampai rumah, Dinis sudah menyiapkan mie instan rebus di atas meja. "Aku dapat upah karena bantu bu guru tadi. Aku buat beli mie biar ibu gak capek makan," katanya. Kupandang anak perempuan yang memakai celana pendek lusuh dengan perasaan tercabik-cabik. "Mbak mau hidup bahagia?" tanyaku pada dia. "Yang penting bisa hidup sama ibu," jawabnya polos. "Kalau ibu ajak pergi, apa Mbak mau?" "Asalkan sama ibu, aku akan mau kemana saja." Brak! Pintu dibuka paksa. Mbak Darmi berdiri dengan wajah yang menahan amarah. “Kamu habis dari mana lagi, Resmi? Kamu dari rumah Harno? Iya? Jawab!” hardiknya tanpa memperhatikan perasaan Dinis. “Kemana aku pergi, itu bukan urusan mbak Darmi. Dinis, pergi keluar, ajak adikmu! Mbak, jika mau bicara tunggu anakku keluar.” “Biar saja mereka tahu kelakuan kamu yang tidak tahu malu.” “Dinis, cepat ajak Hasbi keluar. Jangan dekat-dekat sama Fariha. Ibu takut kamu akan dianiaya.” “Resmi! Jaga bicara kamu!” “Mbak Darmi yang harus mendidik Fari
Read more
Part 19
Part 19 Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih, duduk di atas kursi roda memandang jendela yang ada di hadapan. “Pak, saya sudah membawa orang yang akan menggantikan saya,” ucap Sumi hati-hati. Lelaki itu tidak menoleh. Membuat jantungku berdebar kencang. Takut kalau reaksi yang tidak terduga ia berikan terhadapku. “Dia seperti kamu atau tidak?” “Insya Allah iya, Pak. Silakan kalau bapak mau kenalan,” jawab Sumi dengan tenang. Pria itu berbalik. Bukan seorang yang tampan, tidak juga jelek, sedang-sedang saja. Namun begitu, wajahnya cukup teduh dipandang. Lelaki dengan sorot mata tajam itu menatapku lekat. “Aku sedang mencari orang yang merawatku sampai aku sembuh. Hanya sampai sembuh saja. Setelah itu, kamu boleh pergi. Tetapi, aku tidak tahu kapan akan sembuh. Maka dari itu, aku berharap, Sumi adalah orang terakhir yang meninggalkanku. Jika kamu bersedia untuk merawatku sampai batas waktu yang tidak ditentukan, maka aku akan menerimamu. Tetapi jika tidak, sebelu
Read more
Part 20
Part 20Aku duduk termenung di dalam bus yang kami tumpangi. Menyaksikan pemandangan yang terlewati. Sawah seolah berlari melewatiku. Perasaan yang bercampur membaur menjadi satu. Antara lega akan mendapatkan tempat baru, sedih karena harus meninggalkan tanah kelahiran, risau dengan tanah warisan yang ku tinggalkan, dan juga sakit hati karena dikhianati.“Setelah ini, kamu berangkat pakai uang sendiri ya, resmi. Aku sudah tidak menanggung ongkos kamu lagi,” kata Sumi membuat lamunanku buyar.Aku menoleh dan tersenyum pada wanita di sampingku sambil mengangguk pelan.“Aku senang sebenarnya bekerja dengan pak Harun dan bu Normi. Tetapi anak-anakku sudah tidak mau ditinggal. Suamiku juga sudah mulai merintis jualan bubur ayam di Jakarta, jadi aku diminta untuk di rumah saja,” kata Sumi.Aku menanggapi tetap dengan senyuman. Dia orang yang beruntung menurutku. Masih memiliki orang tua dan punya suami yang setia.Kami sampai di terminal terakhir yang menyediakan angkutan ke desa pukul sepu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status