All Chapters of HADIAH MUKENA DARI IBU: Chapter 51 - Chapter 60
66 Chapters
Part 39 B
Kaki putih yang terselubung sandal berhak tinggi, mulai menapaki jalan berbatu yang tertata rapi. “Resmi?” “Resmi? “Resmi benarkah ini kamu?” Tetanggaku berteriak girang. Aku tersenyum dan menyalami mereka. “Kamu cantik sekali. Pangling aku.” “Resmi, ya Allah, kamu sudah lama pergi, kemana saja?” “Jadi babu ....” Aku tetap sama. “Aku pulang dulu ya?” Kembali berjalan lagi menyusuri jalan yang penuh kenangan. “Resmi ... itu kamu?” Mbak Darmi kaget saat melihatku datang. “Iya, Mbak. Apa kabar?” sapaku. Bagaimanapun, Mbak Darmi adalah saudaraku. Aku menyalami dia, tetapi langsung gegas pergi. Dengan langkah cepat segera memasuki pekarangan. Rumahku terlihat tidak terawat, dan yang membuat hatiku panas, pintu terbuka lebar dan banyak sekali sampah daun dan bunga bekas mainan anak kecil. Ya Allah, aku masih hidup, tetapi rumah itu sudah bak tempat umum saja yang bebas digunakan siapapun. beberapa jendela ada yang rusak terbuka, sepertinya ulah anak-anak nakal. Geram, aku masuk k
Read more
Part 40 A
Part 40Setiap sudut ruangan di rumah ini selalu mengingatkanku pada masa lalu. Sejenak aku duduk di atas kasur dingin yang sedikit keras mengurai perjalanan hidup yang telah terlewati. Suara lantunan anak-anak membaca kitab barzanji di masjid semakin membuat hati ini sedih. Seyogyanya orang pulang dari rantau disambut hangat oleh keluarga, tetapi tidak dengan aku. Sepi, sunyi dan tetap sendiri membuat rasa rindu pada keluarga Bu Normi semakin menjadi.Sayup ku dengar orang memanggil di depan pintu. Dengan cepat beranjak dan membukanya, ternyata Bapak berdiri di sana. Aku segera mengulurkan tangan dan mencium telapak tangan lelaki yang sudah berusia senja itu.“Apa benar Dinis dan Hasbi dijual?” Pertanyaan pertama yang terlontar dari mulut Bapak membuatku menganga.“Siapa yang bilang, Pak?”“Orang-orang. Tetangga bergosip demikian makanya aku kemari untuk memastikan.”“Bapak datang hanya ingin mengklarifikasi kabar itu? Bukan ingin tahu keadaanku?”Bapak masuk berjalan melewati tubuhk
Read more
Part 40 B
Mereka yang tadi berbisik kini diam. Terkadang kita tak perlu membela diri, menerima dan mengakui saja apa yang dituduhkan meski itu tidak benar.Namun begitu, tidak semua orang jahat, tetap saja ada yang baik. Seperti teman masa kecilku yang lain. Ia datang ke rumah dan menangis. Bahagia katanya bisa melihatku.“Tidak benar ‘kan gosip tentang kamu? Aku tidak percaya.”“Mau menjawab ya silakan, mau tidak ya silakan.” Aku menyahut sambil tertawa.“Tapi orang-orang bilang kamu sekarang cantik lho. Pakai baju bagus dan kelihatan beda. Kayaknya mereka iri deh. Tahu sendiri ‘kan, kalau iri pasti membuat gosip yang tidak-tidak?”Aku tertawa lagi.“Tahu tidak, adiknya Harno yang baru nikah?”“Kenapa?”“Dia babak belur dihajar suaminya karena ketahuan selingkuh.”“Kamu kenal Imah?”“Aku kenal dengan tetangga Harno. Kemarin ada yang ke rumah urusan pekerjaan sama suami, terus dia cerita.”Urusan pekerjaan suami yang dimaksud Ranti tentu saja tentang buruh bangunan, bukan bisnis seperti kalang
Read more
Part 41 A
Part 41Setiap episode kehidupan menciptakan warna tersendiri dalam hidup.***POVAUTHOR***“Kau mencintai Resmi, Harun? Apa sudah memastikan perasaanmu sendiri?” tanya Normi pada Harun yang berdiri melipat tangan di dekat jendela--mengamati daun-daun yang terbang diterpa angin.“Apa Ibu perlu tahu semua yang aku rasakan?” Harun balas bertanya.“Harus. Karena perasaan kamu adalah bakal dari keputusan masa depan yang kamu ambil. Aku ibumu, aku orang yang paling berhak tahu karena saat terpuruk, hanya aku yang menemanimu.”“Resmi acuh terhadapku, Bu ....”“Resmi menutup hatinya untuk siapapun yang ingin masuk. Dia juga terlalu berkubang pada perasaan tak pantas dicintai. Meski Ibu sudah berusaha keras untuk mengangkat derajatnya dari seorang pembantu, Resmi tetap saja merasa kalau ia terlalu rendah untuk kamu. Seperti itu kira-kira yang Ibu nilai darinya.”“Menurut Ibu, apa dia pantas untuk bersanding denganku?”Normi diam tak langsung menjawab. Memilih menjatuhkan bobot tubuh pada kursi
Read more
Part 41 B
Selama tidak ada Resmi, Harun semakin dekat dekat dengan keduanya. Setiap sore mengajak jalan-jalan naik motor, membelikan jajan yang enak dan menemani keduanya sampai tertidur. Tak jarang mereka bertiga terlelap di ruang televisi karena lelah bermain.“Pak, aku pamit pulang dulu, ya?” ucap Dinis sambil mencium tangan Harun.“Pak, aku juga ya ....” Hasbi tidak mau kalah.“Kalian jangan lama-lama ya! Nanti Bapak rindu ....”“Aku ingin bermain dengan Suci sepuasnya. Nanti aku kembali kesini lagi,” jawab Dinis.“Kamu gak pengen lihat nilai kamu?”“Pasti peringkat satu lagi,” jawab Dinis percaya diri.“Pak, gak ingin ikut?” tanya Roni pada Harun.“Aku akan mengurus toko sementara waktu. Ibu sudah ikut.”“Gak kangen sama Mbak Resmi?” bisik Roni.“Jangan ngaco kamu! Dah sana pergi! Hati-hati nyetirnya!”Dinis berlari memeluk Harun lama sekali. “Terima kasih ya, Pak, sudah menyayangi kami. Kami masih ingin tinggal di rumah Bapak. Aku senang di sini,” ucapnya sambil menangis.“Kamu gak usah pu
Read more
Part 42 A
Part 42Darmi yang tidak terima dengan keputusan Resmi menitipkan tanah pada orang lain, mulai melancarkan aksinya. Ia mengumpulkan seluruh keluarga besar dan memberi informasi tentang Dinis yang menurut warga kampung dijual.“Mustahil Si Resmi gak jadi pe-lacur karena sekarang dia terlihat berbeda. Tidak mungkin kalau dia bekerja hanya sebagai pembantu saja, bisa punya emas dan uang banyak,” ucap Darmi berapi-api.“Harus ditanyakan lagi alasan kenapa dia jual anaknya,” sahut Imin, adik laki-laki satu-satunya yang kebetulan juga sedang berkunjung.“Stress memang Si Resmi. Sudah, kita usir saja dia dari sini untuk selamanya. Nanti, uang yang dia minta sama Haji Abas biar bapaknya Fariha yang menebus.”“Lalu tanahnya?” tanya Imin.“Ya tanahnya buat aku dong. Aku yang menebus,” jawab Darmi. Ia berambisi menguasai harta Resmi.“Ayo kita geruduk saja rumahnya. Bila perlu bawa warga ramai-ramai buat usir. Aku mau panggil warga dan kamu, Imin, kamu panggil Bapak supaya jadi saksi. Aku tidak
Read more
Part 42 B
Beberapa pasang mata yang sedang berkerumun menggunjing Resmi, kaget melihat sosok yang datang.“Dinis, Hasbi ....” Mereka kompak menyebut nama kedua anak itu.Dinis tersenyum sambil menggandeng tangan Hasbi.“Lhah, kamu pulang? Katanya dijual?” tanya salah satu dari mereka.“Kata siapa? Siapa yang jual Dinis?” Tidak terima, Normi langsung ambil alih menjawab.“Kata, kata siapa ya? Kata Resmi.”“Bukan. Kata Mbak Darmi.”“Mbak Darmi kata, kata Muni, gosip itu dari ibunya Nazma.”“Tidak ada yang menjual aku. Ibu pulang lebih dulu karena aku sedang ikut tes catur wulan. Sekarang sudah selesai dan aku menyusul diantar Eyang dan Mas Roni,” jelas Dinis.“Dinis, itu siapa? Siapa mereka?” Dasar tetangga Resmi kurang sopan, tanpa basa-basi mereka langsung bertanya.“Aku eyang angkatnya Dinis. Ini sopirku,” jawab Normi cepat sebelum Dinis yang menjawab.“Walah, Dinis, jadi kamu tidak dijual? Katanya kamu dijual? Ibumu tidak jadi pe-lacur di sana, Dinis?”“Mbak, kamu tahu sopan santun tidak? Apa
Read more
Part 43 A
Part 43Resmi kembali menjadi buah bibir, tetapi kali ini bukan karena keburukannya. Melainkan nasib baik yang menghampiri.Dinis yang kebetulan keluar rumah, langsung diwawancarai oleh ibu-ibu komplek dengan beragam pertanyaan. Kebetulan ada Darmi di sana.“Jadi kamu tidak dijual Dinis?” Mulut-mulut kotor masih saja bertanya demikian.“Tidak. Aku di sana sama Ibu di rumah Eyang Nyonya.”“Eyang Nyonya itu wanita tua tadi ya? Siapa sih dia?”“Eyang Nyonya itu majikan kami. Ibu dulu jadi pembantu, tapi sekarang sudah tidak. Karena Ibu pintar, sekarang Ibu jadi, jadi apa ya? Jadi pengurus tokonya Eyang. Terus, Eyang cari pembantu lagi buat bersih-bersih rumah. Ibu juga gak pernah nyuci baju lagi sekarang. Semuanya dikerjakan Mbok Jum.”“Kamu di sana sekolah tidak, Dinis?” darmi yang sedari tadi diam, kali ini ikut bertanya.“Sekolah. Aku malah sekolah di sekolahan yang paling bagus. Kata Eyang karena aku pintar. Kemarin aku dapat piala, juara satu.”“Kamu betah? Gak pengin pindah lagi ke
Read more
Part 43 B
Dimana ada gula, maka disanalah semut akan berkerumun. Perumpamaan seperti itu pantas bagi kondisi Dinis saat ini. Ia yang sudah menjelma bak seorang putri di kalangan anak kampungnya, mendadak jadi idola. Idola anak seusianya.Satu per satu teman datang untuk mengajaknya bermain. Mengaku sebagai teman, mengingatkan pada kenangan-kenangan yang telah dilalui bersama, tetapi mereka lupa pernah memperlakukan Dinis dengan tidak baik.“Kamu dulu ingat gak, suka ambil mangga yang jatuh di pinggir jalan.”“Ramai ya, waktu itu? Seru. Kamu mau ambil mangga kesana lagi gak? Sekarang lagi musim mau matang lho ....”“Iya, Dinis, kita kesana lagi yuk ....”Dinis sampai bingung harus mendengarkan siapa, karena semua seakan berebut untuk berbicara.“Mau Dinis?”Dinis menggeleng. “Aku sudah bosan makan mangga. Eyang sering membelikan,” jawabnya.“Terus kamu pengen main apa?”“Main bola kasti?”Dinis menggeleng.“Main masak-masakan?”Dinis menggeleng lagi.“Kamu pengen main apa, Dinis? Bilang saja. Na
Read more
Part 44 A
Part 44“Resmi ....” Normi kembali memanggil sosok yang diam di hadapannya.“Bu, saya belum pernah merasakan kasih sayang sosok seorang ibu. Kenal dengan Bu Normi, saya memang sedikit merasakan bagaimana memiliki tempat untuk bersandar, sekalipun Bu Normi statusnya adalah majikan dan saya hanya seorang pembantu. Saya sebenarnya takut suatu ketika akan dicampakkan lagi jika memutuskan untuk menikah kembali. Tetapi seiring berjalannya waktu, saya sudah bisa merasakan bahwa kalian tulus menyayangi dan menampung kami. Saya tidak tahu bila harus berpisah dengan kalian. Permintaan Bu Normi membuat saya sangat terharu. Tetapi kenapa Bu Normi yang meminta ini padaku? Bukan Pak Harun langsung?” Dengan suara lirih, Resmi menjawab.“Harun yang memintaku untuk mengatakan ini. Harun tidak berani karena kondisinya dia bukan pria yang sempurna,” sahut Normi dengan binar bahagia karena merasa lamarannya disambut oleh Resmi. “Jadi, Resmi, kamu ‘kan intinya? Menerima permintaanku untuk menjadi menantu
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status