Semua Bab Menantu Miskin Itu Ternyata Sultan : Bab 121 - Bab 130
167 Bab
Bab 121. Merasa bersalah.
Dinda sudah cukup lama berada di Bandara Depati Amir, menunggu pesawat yang akan membawanya menuju kota tujuannya. Tepat pukul 11.00 siang, pesawat akhirnya lepas landas. Selama menunggu di bandara, Dinda sempat merasa waktu berjalan lambat. Namun, begitu pesawat terbang, hanya butuh waktu sekitar 30 menit untuk mendarat. Di rumah sakit, hanya ada ayah dan Silvia, sehingga tidak mungkin mereka yang menjemput Dinda di bandara. Pada akhirnya, Riko yang rela menjemput Dinda, setelah diberitahu oleh Silvia bahwa pak Riko akan menjemputnya, Dinda merasa sedikit sungkan.Dia hanya pernah bertemu Riko sekali saat pernikahannya dulu. Saat itu, mereka hanya saling melihat tanpa sempat bertegur sapa. Riko juga pernah menatap Dinda sekilas saat ia bersanding dengan Alex di pelaminan, namun tidak terlalu jelas wajah Dinda karena Riko tidak memperhatikannya dengan baik. Meski begitu, mereka tidak kesulitan bertemu di bandara karena masing-masing sudah saling menyimpan nomor WA."Dinda, kan?" teg
Baca selengkapnya
Bab 122. Kesempatan pertemuan.
Riko tertawa kecil, “Dia menyebut papa bukan ayah.” katanya. Dinda juga tertawa kecil, ini pertama kalinya Calia bisa menyebut papa. Usianya sudah lebih dari 10 bulan tetapi selama ini Calia baru bisa mengatakan Mama, meskipun Dinda mengajarkan untuk memanggil ibu tapi Calia tetap memanggilnya dengan sebutan mama. Mungkin mama lebih mudah untuk seorang bayi yang baru belajar bicara. “Tapi itu bukan papa Calia, itu om yang baik hati.” Ucap Dinda.Riko hanya tersenyum. Setelah memastikan Calia tidak menangis lagi, Riko kembali menjalankan mobilnya. Setelah beberapa saat lamanya, mereka sampai juga di rumah sakit.Riko turun terlebih dahulu untuk membukakan pintu dan membawa barang-barang Dinda.Mereka masuk ke dalam rumah sakit dan Riko langsung membawa Dinda ke ruangan dimana Alex dirawat. Begitu Dinda masuk langsung disambut oleh Silvia dan sang ayah.Silvia segera memeluk Dindam “Mbak..” Namun mata Dinda langsung tertuju pada seorang pria yang sedang duduk bersandar di ranjang sak
Baca selengkapnya
Bab 123. Suami anda telah meninggal.
Sementara di dalam ruangan Dokter yang menangani Alex,Nampak Riko, Wibowo dan Silvia sedang terlibat obrolan yang cukup serius.Riko meminta pihak rumah sakit untuk mencarikan donor hati untuk Alex. Riko berharap agar Alex masih bisa terselamatkan.Dokter mengangguk. "Akan kami usahakan. Jika sudah ada donor hati yang cocok, Kita bisa melakukan Transplantasi hati pada saudara Alex. Tetapi perlu diketahui, jika Kanker hati saudara Alex ini sudah mencapai stadium akhir. Kanker ini telah menyebar dan merusak organ tubuh lainnya bahkan sudah sampai ke jantung pasien. Resiko kegagalan dalam operasi juga akan semakin besar. Kami tidak bisa menjanjikan apa-apa."Mereka tidak bisa mengatakan apapun lagi kecuali hanya bisa pasrah.Silvia menoleh pada sang Ayah. "Apa yang harus kita lakukan, Ayah? Aku tidak tega memberitahu Dinda.""Apalagi ayah." Sahut Wibowo."Sebaiknya kita harus memberitahu saudari Dinda. Agar dia bersiap dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi kapanpun." Dokter menyara
Baca selengkapnya
Bab 124. Berpisah untuk selamanya.
"Maaf, Mbak Dinda. Suami anda sudah tidak ada. Maafkan kami." Sekali lagi ucapan Dokter membuat Dinda histeris bukan main. "Tidak mungkin! Mas Alex…!!" Tubuh Dinda oleng dan hampir rubuh. Beruntung Riko dengan cepat menopangnya, jika tidak, Dinda bisa terjatuh bersama putrinya. Silvia langsung mengambil Calia dari gendongan Dinda. Sementara Dinda langsung berlari memeluk tubuh Alex yang sudah terpejam untuk selamanya. "Mas.. bangun, Mas! Kamu tidak mungkin meninggalkan aku secepat ini kan? Mas Alex. Ku mohon bangunlah! Kita akan bersama-sama pulang ke kampungmu! Aku akan menunggumu dengan sabar, Mas…! Ayo bangun!" Dinda mengguncang-guncang tubuh Alex. "Mas Alex… Ya Allah… Aku mohon jangan pergi…! Enggak Mas.. Jangan tinggalin kami seperti ini…! Mas Alex… Bangun!" Dinda masih mengguncang guncang tubuh suaminya dengan tangisan pilu yang menyayat hati semua orang yang mendengarnya. "Mas.. kita sudah lama berpisah. Kita baru bertemu.. Aku bahkan masih sangat merindukanmu.. kena
Baca selengkapnya
Bab 125. Rahasia Alex
Mereka telah tiba di kediaman ibu. Jenazah Alex diturunkan, dan rencananya akan dikebumikan besok pagi.Malam hampir habis. Dinda sama sekali tidak ingin tidur, meskipun beberapa kali Silvia telah membujuknya untuk beristirahat sejenak saja, Dinda tetap menolak. Dinda masih berada di sisi jenazah Alex yang sudah ditutupi kain kafan. Dia masih saja sesenggukan dan terus sesenggukan. Entah sudah berapa jam dia berada disitu untuk menghabiskan air matanya.Riko jelas tidak dapat tidur, dia hanya bisa menemani Wibowo dan beberapa tetangga yang sedang melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an untuk menjaga jenazah yang yang belum dikebumikan.Wibowo bergerak untuk mendekati Dinda."Nak. Semua yang hidup pasti akan mengalami mati. Tidak peduli siapapun itu, ayah, kamu dan semua. Hanya Waktu saja yang membedakan. Jadi, jangan terlalu diratapi. Itu akan mempersulit jalan bagi yang sudah meninggal dunia. Kamu harus paham itu Dinda.""Pergilah ke kamar dulu, tenangkan pikiranmu sejenak. Setidaknya,
Baca selengkapnya
Bab 126. Suka di rumah Pak Wibowo
Pagi buta, Riko tersentak dari tidur sejenaknya. Ada mimpi yang kurang dia mengerti menyelinap dalam tidurnya yang hanya sebentar itu. Dia mengusap wajahnya kemudian menoleh saat mendengar langkah kaki. “Mas Riko, anda bisa mandi di sini. Ada kamar mandi di kamar tamu.” Pak Wibowo menunjuk sebuah kamar yang tidak jauh dari sofa tempat Riko menyandarkan kepalanya tadi. “Iya, Pak. Terima kasih.” Da berdiri kemudian melirik jam terlebih dahulu. Ini masih sangat pagi masih jam 06.00 kurang. Untuk menghubungi Gara setidaknya 1 jam lagi Dia kemudian melangkah ke kamar mandi setelah menerima handuk dari pak Wibowo. Riko menutup pintu setelah berada dalam, dia belum pergi ke kamar mandi tapi malah duduk di tepi tempat tidur tamu. Pikirannya menerawang, mengingat-ingat mimpi yang ia alami barusan. Dia tersenyum getir sambil memukul kepalanya sendiri. “Mimpi yang seperti tidak berakhlak!” Bisa-bisanya dia bermimpi mengenakan pakaian serba putih, celana, kemeja dan jas putih. Tapi y
Baca selengkapnya
Bab 127. Calia takut ditinggal Papa.
“Jangan seperti itu, Nak? Tidak baik berprasangka buruk. Cukup, Nak ya. Cukup. Kamu tidak sendiri, masih ada kami yang menyayangi kamu dan putrimu. Kamu harus kuat, demi Calia.”Dinda perlahan mengangguk dan melepaskan pelukannya. Bu Rita langsung menoleh pada Calia yang di gendongan Silvia. “Ya Allah, cucu nenek.” Dia langsung mengambil Calia dari gendongan Silvia dan memeluknya begitu erat. Bu Rita kembali menangis. “Jangan sedih ya, Calia. Ada nenek dan bibi juga. Calia tidak boleh bersedih.”Gara menghampiri pak Wibowo dan Riko, sedangkan Farhan menghampiri istrinya yang langsung memeluknya sambil kembali menangis.Pagi ini di kediaman Bu Rita ini penuh dengan duka yang mendalam. Semua yang hadir mengucapkan bela sungkawa dan tidak pernah menyangka jika suami Dinda telah meninggal dunia.Sebelum proses pemakaman dimulai, ada baiknya pak Wibowo menghubungi pihak keluarga almarhum di kampung. Tentu saja kabar dari pak Wibowo disambut jeritan histeris dari Bu Marni dan anak-anakny
Baca selengkapnya
Bab 128. Calia rewel
Riko tersenyum, “Oh boleh-boleh, misal sebagai papa angkatnya, tidak masalah. Aku suka sama anak kecil. Apalagi Calia sangat imut, pasti sangat menyenangkan bisa memiliki putri seperti dia.”“Tuh, kan, apa kataku? Kamu pasti sedang jatuh cinta.” Riko melotot, sebelum dia membuka suara Gara sudah berkata lagi, “Maksudnya jatuh cinta pada Calia, Riko. Bukan pada mamanya.”Mereka tertawa, “Tapi tidak masalah juga kalau sama mamanya,malah bagus. Kita bisa iparan.” “Tuan, ngomong apa sih?” “Ah, aku hanya bercanda. Jangan dimasukin hati. Bagaimanapun juga adik iparku itu janda anak satu, tidak mungkin juga kamu akan suka.” Riko meringis dalam hati. Untuk memikirkan menikah saja Riko belum ada niat sama sekali. Ini bukan masalah Dinda janda atau apa, tanah kuburan suaminya saja masih merah. Tega sekali jika Riko memikirkan sampai ke sana.Rasa bersalahnya saja masih menggantung kuat di hatinya.Mobil mereka berhenti di rumah sakit, Gara turun untuk kembali ke ruangan dimana Mia berada
Baca selengkapnya
Bab 129. Riko menemui Calia
Sore ini rumah Gara terlihat ramai, ada acara syukuran sederhana yang diadakan dalam rangka memberi nama pada putri dan putra Gara Mahendra. Mereka memang sepakat untuk tidak ada pesta. Bukannya tidak ingin meramaikan pesta pemberian nama anak-anak mereka, tetapi tidak mungkin mereka berpesta sementara keluarga mereka masih ada yang tengah bergabung. Itu sebabnya mereka hanya mengundang ustadz untuk mendoakan pemberian nama bayi kembar mereka.Gara lebih memilih untuk membagikan sedekah bagi panti asuhan dan beberapa pedagang kaki lima bentuk ucapan syukur atas anugerah yang telah diberikan Allah pada mereka.Acara berjalan dengan sedikit meriah saja Bu Rita, pak Wibowo, Silvia dan Farhan sudah datang dari tadi, tetapi Dinda tidak ada di antara mereka.Karena tidak melihat Dinda, akhirnya Mia pun bertanya. “Bu, apa Dinda tidak ikut?”“Tidak, Mia. Calia sedang demam . Jadi Ibu melarang, tadi waktu dia mau ikut. Kasihan Calia , semalaman menangis terus. Ibu bilang, nanti saja dia bisa
Baca selengkapnya
Bab 130. Seperti pasangan suami-istri.
Riko tersenyum tipis, “Kamu bilang Calia tidak rewel kan? Tapi aku dengar, ibu kamu bilang kalau semalaman Calia menangis terus. Apa kamu tidak kasihan padanya? Dia sampai demam begini karena kebanyakan menangis.”Dinda kembali menunduk, “Maaf, aku hanya tidak ingin merepotkan Mas Riko saja.”Riko bergerak untuk duduk di sofa, “Lain kali jangan seperti itu. Tidak ada yang direpotkan, kecuali kalau aku sudah beristri dan memiliki anak, mungkin itu bisa merepotkan. Kalau begini, tidak ada yang ku urus selain pekerjaan dan Tuan Gara, jadi waktuku banyak. Jika kalian tidak keberatan aku dekat dengan Calia, aku akan sangat senang.”Keberatan? Mana mungkin mereka akan keberatan, justru akan sangat senang dan berterima kasih sekali karena sudah bisa dilihat jika Calia memang ingin terus dekat dengan Riko. Dinda tidak berani menjawab lagi, dia hanya mengangguk. Riko duduk sambil mendekat Calia yang sudah tidak menangis lagi. Anak itu malah mengoceh sambil menundukkan kepalanya di dada Riko.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1112131415
...
17
DMCA.com Protection Status