Semua Bab Pengantin Pengganti: Dia Yang Diremehkan Ternyata Luar Biasa: Bab 21 - Bab 30
35 Bab
Bab 21 Mengantar Anisa
Ketika mereka sampai di Universitas A, David menurunkan kaca jendela mobil dan menyaksikan Anisa bersiap untuk bergegas pergi. Tanpa berpikir panjang, dia berkata dengan lantang, “Apakah aku mendapat ciuman selamat tinggal, Rahma, karena aku tidak bisa bertemu denganmu sepanjang hari?” Anisa mengerutkan bibirnya dan memunggungi dia tanpa menjawab. “Kamu tidak ingin menciumku? Baiklah aku mengerti... Aku memang tak berdaya dan berkebutuhan khusus. Jika ada teman sekelasmu yang melihat kami, pasti kamu tidak akan mendengarnya aku lagi,” ucap David sambil menundukkan pandangan dengan frustrasi. Anisa tidak tahan dengan celaan dirinya sendiri dengan nada menyedihkannya, jadi dia berbalik menatap David, memegang wajah pria itu dengan tangannya dan memberinya ciuman singkat di pipi. “Aku tidak pernah merasa terganggu olehmu, dan aku tidak terlalu peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain.” Anisa hanya malu untuk melakukan itu, karena statusnya sebagai istri David Hutapea belum
Baca selengkapnya
Bab 22 Menjadi Asisten Dosen
Setelah mata pelajaran kuliah selesai, Anisa pergi ke ruang dosen untuk bertugas. Untuk mendapatkan uang guna menutupi biaya hidupnya, dia bekerja dengan rajin sebagai asisten Profesor Jalaluddin Akbar. Meskipun Profesor Jalaluddin dikenal sebagai dosen yang sangat tegas dan selalu memberikan tugas yang berat, Anisa tetap ingin menjadi asistennya. “Baiklah aku akan bersungguh-sungguh untuk menjadi asisten Profesor Jalaluddin. Aku tidak akan mengecewakannya. Aku berharap bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah hasil menjadi asisten Profesor Jalaluddin,” kata Anisa dengan bersemangat sambil mengepalkan tangannya menuju ke ruangan dosen untuk bertemu Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin hampir berusia delapan puluh tahun, dan siapa pun yang berada di posisinya pasti ingin pensiun dan berkeliling dunia bersama istrinya, namun dia belum mau berhenti mengajar. Dia memiliki hobi belajar sesuatu yang baru, jadi dia sampai saat ini masih bersemangat untuk mengajar di kelas. Profesor J
Baca selengkapnya
Bab 23 Bertabrakan
“Tidak sama sekali, Profesor,” Anisa menggerutu sambil menggelengkan kepalanya. Anisa tidak boleh kehilangan kepercayaan Profesor Jalaluddin, jika dia sudah tidak dipercaya, maka Anisa akan kehilangan pekerjaannya sebagai asisten dosen. Dengan demikian dia harus berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan semua tugas yang diberikan Profesor Jalaluddin. Profesor Jalaluddin mendengus dingin lalu berkata, “Jika kamu tidak bisa melakukannya, katakan saja padaku. Saya memberikan tugas ini kepada Nabila Maharani, dia pasti akan memakan waktu kurang dari 2 minggu.” “Jangan, Profesor. Saya akan menyelesaikan semua tugas ini dengan benar dan cepat.” Anisa menggerakkan kedua tanggan seperti lambaian penolakan dengan cepat berharap Profesor Jalaluddin memberinya kesempatan. “Bagus. Sebaiknya kamu selesaikan tugas itu dengan baik.” Tangan Anisa mengepal dengan penuh semangat dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk menyesaikan semua tugas dengan cepat. Meskipun kata-kata Profesor Jalal
Baca selengkapnya
Bab 24 Sarkasme
Gelak tawa menggema di koridor, semakin dekat, ditambah dengan suara bola yang memantul ke atas dan ke bawah. Dua pria tinggi berjalan dari belakang ke arah Anisa. Mereka adalah Maulana Ibrahim dan Alexander Martin, mereka berdua melihat keributan dari jauh dan memutuskan untuk menjadi penengah. Alexander yang memegang bola basket melingkarkan lengannya yang bebas ke bahu Anisa. "Saya mendengar seseorang mengancam junior saya," kata seorang pria yang baru sampai sambil tertawa. "Tentang apa semua itu? Apa yang akan terjadi dengan kembang kampus kita? Tapi jangan takut. Aku ada di sini selalu melindungimu." Secara tidak sadar Anisa berdiri di sana tak berdaya sambil memeluk pria itu sejenak. Kejadian itu seperti yang bersikap begitu santai, begitu santai, tidak peduli dengan situasi yang ada. Dengan sedikit terkejut Alexander bertanya, “Apakah kamu takut dengan mereka berdua?” Anisa kembali sadar lalu menjauh darinya dan berkata, "Saya tidak takut, Senior." “Baiklah kalau beg
Baca selengkapnya
Bab 25 Bukti Rekaman CCTV
Alis Ibrahim masih terkatup rapat, namun nada suaranya tetap lembut saat menjawab, “Jangan berbicara begitu bebas tentang sesuatu tanpa bukti apa pun, Sumiati. Ditambah lagi, Amanda bilang kamu baru saja bersenang-senang tadi. Jangan membuat keadaan menjadi lebih buruk, ya.” “Itu tidak benar, Saudraku. Tadi Amanda hanya bergurau saja. Amanda! Katakan yang sebenarnya terjadi, aku tidak ingin Anisa lepas begitu saja!” desak Sumiati kepada Amanda agar menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Amanda dengan senang hati menceritakan kejadian itu. Namun, sepertinya dia melebih-lebihkan fakta yang ada dan memojokkan Anisa dengan segala upaya. Anisa mengepalkan tangannya dengan kuat dan siap menghajarnya kapan saja. “Awas ya kau! Aku akan membalaskan semua penghinaan ini dengan berkali-kali lipat!” gumam Anisa di dalam hatinya dengan geram. Sadar dengan sikap Anisa yang sedang marah, Alexander menyapu rambut dari matanya dan memberikan saran, “Karena sepertinya tidak ada yang bisa mengamb
Baca selengkapnya
Bab 26 Menjadi Bumerang
Bosan dengan Amanda dan dramanya, Anisa berkata dengan dingin, “Saya pikir kalian berdua berhutang maaf kepada saya. Dan berhentilah dengan air mata buaya itu!” Amanda merasa malu di hadapan Alexander, wajah memerah dan pandangannya tertunduk. Sekarang dia tidak bisa menyangkal setelah bukti rekaman CCTV yang sangat jelas. Alexander bersama Ibrahim memandang Amanda dan Sumiati dengan tatapan yang jijik, kedua pria tampan itu siap bersaksi bahwa Anisa berkata benar. “Setuju, sebaiknya kalian berdua meminta maaf kepada Anisa,” tambah Alexander. “Saya dan Ibrahim bisa bersaksi tentang hal itu.” Sumiati merasakan sakit yang menusuk hatinya saat melihat pria yang disayanginya membantu wanita lain mengancamnya. Ketika dia tidak bergerak, Ibrahim menyesuaikan kacamata berbingkai hitamnya dan berkata, “Sebaiknya kamu harus meminta maaf setelah melakukan kesalahan, Sumiati.” “Aku bisa dibilang adik perempuanmu, bukan?” Sumiati berteriak dengan ekspresinya yang sangat marah. “Bagai
Baca selengkapnya
Bab 27 Ada Apa Dengan Ibrahim?
“Apakah kamu tidak ingin mengucapkan terima kasih kepada kami, Anisa?” kata Alexander sambil mengerakkan kedua alisnya naik dan turun dengan tatapan menggoda. Saat mereka meninggalkan ruang kendali, Anisa berterima kasih kepada kedua senior tersebut atas bantuan mereka. “Untung saja kalian berdua datang. Kalau tidak, Sumiati dan Amanda pasti akan merundung aku habis-habisan. Terima kasih, Kak Senior,” kata Anisa dengan senyuman manis yang tersungging wajah cantiknya. “Kamu adalah junior kami, wajar saja kami berdua akan melindungi kamu,” balas Ibrahim dengan suaranya yang lembut, dan dia melihat mata Anisa melebar sambil memainkan rambutnya. “Jika kedua wanita itu mengganggu kamu lagi, kamu bisa memanggil kami,” tambah Alexander sambil melingkarkan tangannya di bahu Anisa. Anisa hanya menganggukkan kepalanya sebagai respons mengiyakan sambil menepis tangan Alexander. Amanda dan Sumiati memiliki temperamen yang sangat berapi-api, dia akan mendesak Anisa untuk meminta maaf, bert
Baca selengkapnya
Bab 28 Menjemput Anisa
"Kamu juga pria yang baik, Senior Ibrahim. Kamu baik dan lembut, dan kamu selalu memperhatikan aku. Kamu telah banyak membantu aku dalam pembelajaran yang belum aku mengerti," kata Anisa dengan tersenyum hangat sambil memuji Ibrahim. Pujian Anisa membuat Ibrahim bersemangat. Saat itu, telepon Anisa berdering. Saat dia melihat siapa identitas penelepon itu, sudut mulut Anisa terangkat seperti tersenyum. Ibrahim bertanya-tanya siapa yang membuatnya menyeringai seperti anak kecil. "Aku akan pergi, Senior. Sepertinya aku sudah dijemput oleh seseorang. Sudah dulu ya, Terima kasih lagi. Aku akan mentraktirmu dan Senior Alexander untuk minum teh tarik lain kali." Harga makanannya tidak terlalu mahal, Anisa masih harus menabung untuk pengobatan David. Anisa berniat mentraktir kedua pria itu sebagai balas budi dengan apa yang mereka perbuat. "Aku juga baru saja akan pergi. Kita bisa pergi bersama, bukan?" Diam-diam, Ibrahim ingin tahu siapa yang akan ditemui Anisa, dan telah membuatny
Baca selengkapnya
Bab 29 Ibrahim Terkejut
Paman Iskandar Muda merapikan pakaiannya, kemudian dia keluar dari mobil, meringis dalam hati saat dia melangkah menuju Anisa. Saat dia mendekat, dia mendengar Anisa berkata, “Terima kasih telah menangkap saya, Senior Ibrahim. Jika tidak, aku akan terjatuh tadi.” “Hati-hati Anisa, perhatikan setiap langkah kakimu.” Saat mereka berjalan ke arah gerbang sekolah, Anisa dan Ibrahim sedang memeriksa dokumen yang diminta Profesor Jalaluddin untuk diterjemahkan, untuk melihat apakah dia dapat membantunya. Anisa terlalu terpaku pada beberapa bagian yang tidak bisa dia pahami, lupa arah dan hampir tersandung, tetapi Ibrahim telah mengulurkan tangan dan memeluk Anisa lalu menenangkannya. Anisa dan Ibrahim saling bertatapan sejenak dengan wajah mereka yang memerah merona karena tersipu malu. Ibrahim hampir bisa merasakan telapak tangannya kesemutan karena aroma Anisa yang sangat menggoda. Menjaga wajahnya tetap netral, dia bertanya, “Apakah kamu baik-baik saja?” “Aku baik-baik saja, ko
Baca selengkapnya
Bab 30 Cemburu
"Aku serius, Kak Senior. Mengapa aku bercanda tentang sesuatu yang begitu penting? Aku benar-benar sudah menikah, Kak Senior. Paman Iskandar Muda adalah ajudan suamiku," kata Anisa dengan tatapan meyakinkan untuk meyakinkan Ibrahim jika dia sudah menjadi istri seseorang. Kata-kata Anisa seperti jarum yang menusuk telinga Ibrahim, tajam, menusuk ke dalam hatinya dengan rasa sakit yang berdenyut-denyut tak bisa dibayangkan. “Apa? Kamu sudah menjadi istri seseorang? Ha ha ha... Lucu sekali, Anisa.” Ibrahim tertawa terbahak-bahak seperti hilang akal karena belum bisa menerima kenyataan ini. “Kamu pasti bercanda, kan?” Ibrahim tidak percaya, jika gadis yang disukainya sudah menikah dan telah menjadi kekasih seseorang. Terlebih lagi, bagian yang paling lucu adalah dia masih menunggu Anisa menyadari perasaannya, seperti orang bodoh yang naif. Dia hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Jika Anisa tidak bercanda, maka pastilah hatinya sedang mempermainkan perasaannya. "Apakah kamu baik-
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234
DMCA.com Protection Status