Semua Bab Target Cinta sang Pewaris: Bab 11 - Bab 20
20 Bab
Bab 11
Ardila pulang ke rumah, ia tidak lagi singgah ke rumah sakit. Juga tidak mau lagi mendengar omongan memuakkan ibu mertuanya. Saat membuka pintu, Ardila di sambut oleh Firman yang tersenyum cerah. “Tadi ke mana? Kata bibi Afifah kamu keluar gara-gara perkataan ibu,” seru Firman seraya mengikuti langkah Ardila. “Aku bingung sama ibu kamu Mas, aku ada salah apa sampai dia nggak sesuka itu sama aku,” adu Ardila dengan cemberut. “Maafin ibu ya, Dil. Ibu itu dulu ke pengin banget kerja kantoran, tapi nggak pernah kecapaian. Mungkin karena itu ibu sedikit gak suka sama kamu,” jelas Firman dengan lembut. Ardila menghela napas panjang, “Kamu tegur ibu ya, Mas. Aku masih mau ngehargain dia sebagai ibu kamu.” Firman mengangguk, “Sana mandi, habis itu kita makan malam bareng.” Setelah Firman keluar kamar, Ardila berlalu ke kamar mandi. Ia perlu merilekskan pikirannya yang bercabang. Saat tiba di meja makan, Ardila melihat Firman dan Sinta dengan bercengkrama. Sesekali bersenda g
Baca selengkapnya
Bab 12
Ketukan di balik pintu menyadarkan Ardila dari dunia kerjanya. Ia menatap asisten Ryan masuk setelah di izinkan. “Ini sudah jam makan siang, Bu, apa Bu Ardila nggak makan siang atau mau saya bawakan ke sini?” Ardila melirik arlojinya, ia benar-benar lupa waktunya. Perutnya juga sudah keroncongan, Ardila bangkit dari duduknya. “Temani saya makan di luar Asisten Ryan.” Ryan mengangguk, mengikuti Ardila dari belakang. “Baik, Bu.” Ardila menghentikan langkahnya, begitu pun Ryan ikut menghentikan langkahnya. Tanpa berbalik, Ardila berucap, “Ke sisi saya Asisten Ryan, bukan di belakang. Ini perintah!” Mendengar suara tegas dari atasannya, Ryan melangkahkan kaki ke sisi Ardila. Ryan mengendarai mobil Ardila juga karena perintah, ia sangat tidak bisa menolak perintah atasannya. Apapun yang di ucapkan, harus ia lakukan. Karena dulu Ardila menyelamatkan nyawa Ryan, ia sempat hampir mati tenggelam jika tidak ada Ardila yang menyelamatkannya, tidak ada Ryan yang sekarang. Ja
Baca selengkapnya
Bab 13
“Sudah kubilang, aku nggak ingin mengurusi orang lain. Lagi pula, kamu masih terlalu muda untuk membahas tentang pacaran.” Ningsih menatap Ardila kesal, “Nggak seharusnya kamu bicara begitu pada Rosa, apa jangan-jangan kamu ada sesuatu sama pria itu sehingga nggak mau membantu adik iparmu sendiri.” Ardila menghela napas jengah, “Aku sudah selesai, aku akan istirahat.” “Ardila! Nggak punya sopan santun kamu, ya! Orang tua lagi bicara malah di tinggal pergi!” teriak Ningsih marah. “Jangan-jangan benar lagi apa yang Ibu katakan, Mas,” timpal Sinta. “Bisa masuk rumah sakit terus kalau Ibu punya menantu seperti dia,” ucap Ningsih dengan geram. “Sabar ya, Bu, mendidik istri yang pembangkang memang harus ekstra sabar,” sahut Sinta seraya mendekati Ningsih, mengusap bahu ibu mertuanya mencari simpati. “Cuma kamu Sinta yang menjadi menantu kesayangan Ibu,” Sinta tersenyum lebar mendengar perkataan ibu mertuanya. Perhatian Ningsih beralih pada Firman yang sedari tadi diam, “Kamu ini gim
Baca selengkapnya
Bab 14
Perusahaan Loka ternyata di bawah pimpinan Arman Satyaloka, pantas saja Ardila merasa seperti tidak asing dengan namanya. Di sinilah mereka sekarang, di sebuah restoran untuk membahas kerja sama kedua perusahaan tersebut. Usai dengan pembahasan bisnis, para asisten mengundurkan diri. Menyisakan Ardila dan Arman untuk menikmati makan siangnya. “Aku baru tahu, kamu pemimpin perusahaannya,” seru Arman. “Kamu nggak berpikiran suamiku yang memimpinnya kan,” kekeh Ardila.“Tadinya, iya. Kupikir kamu menikahinya karena uang. Tapi ternyata kamu lebih kaya,” balas Arman. Ardila diam, pasti Arman tahu tentang hubungan rumah tangganya, tidak mungkin Naya diam saja. “Naya nggak mungkin, nggak cerita kan.” Arman mengangguk paham, “Bahagianya anak, bahagianya orang tua juga. Jadi, nggak harus bertahan untuk sebuah tulisan.” Tiba di kantor pun, Ardila masih memikirkan perkataan Arman. Ada benarnya, tapi Ardila sudah terlanjur tercebur ke kubang lumpur, mau tidak mau ia harus bertahan.Ketukan
Baca selengkapnya
Bab 15
“Nggak perlu ke rumah sakit, aku akan panggil dokter keluarga yang di percaya saja.” Firman setuju saja, yang penting Sinta di periksa oleh ahlinya. Berbeda dengan Ningsih yang merenggut tak suka, ia jadi tidak dapat uang.“Kalau mereka nggak jadi, Ibu harus jadi. Karena Ibu sudah bilang sama Bu Tuti untuk ikut arisannya,” sungut Ningsih. “Ibu bisa minta sama anak Ibu,” sahut Ardila, ia sudah selesai dengan sarapannya. “Kamu tahu sendiri Firman lagi nggak pegang uang, lagi pula uang 20 juta tuh sedikit bagi kamu Ardila.”Ardila bersiap pergi, “Kalau tahu Mas Firman nggak pegang uang, Ibu nggak usah bertingkah macam-macam. Ibu pikir nyari uang gampang.” Ningsih meletakkan alat makannya kasar, ia menatap punggung Ardila yang semakin menjauh dengan sengit. Dadanya naik turun menahan amarah.“Pelit banget sama orang tua! Di mintai uang sedikit saja nggak mau!” ketus Ningsih. “Udahlah, Bu. Kenapa sih, nyari masalah terus sama Ardila. Lagian Ibu ngapain juga ikut-ikutan aris–”Perkataa
Baca selengkapnya
Bab 16
“Perhitungan banget kamu jadi orang! Tamu Ibu, tamu kamu juga. Jangan berlagak jadi nyonya di rumah ini!”“Nggak nyangka ya, Bu, ternyata kelakuan menantu kedua Bu Ningsih seperti ini,” timpal bu Tuti dengan wajah sinisnya, di angguki yang lain. “Ibu yang ngundang mereka, kenapa harus aku yang repot. Sebelum mereka datang, kan Ibu sama Rosa bisa masak dulu biar ada hidangan. Bahan di dapur juga banyak, pasti cukup untuk semuanya.” “Jangan seenaknya harus apa-apa pakai uangku, sejak awal nikah Mas Firman itu nggak pernah kasih uang nafkah. Aku diam saja karena tahu kondisi … Ibu malah tampil hedon nggak tahu keadaan sama sekali,” lanjut Ardila seraya berlalu pergi. Ningsih mengepalkan jemarinya kuat, tidak pernah ia di buat malu seperti ini. Sedangkan ibu-ibu yang lain menatap Ningsih dengan berbagai ekspresi.“Maaf ya, tante-tante, Ardila itu masih nggak terima jadi istri kedua Mas Firman. Makanya nggak pernah mau bagi uangnya walaupun sedikit, katanya kecuali … Mas Firman mau menc
Baca selengkapnya
Bab 17
Ardila kembali saat menjelang sore, ia tidak peduli ada beberapa pasang mata yang menatapnya masam. “Kamu dari mana saja, Dila? Mas telepon juga nggak aktif,” seru Firman setelah melihat Ardila pulang. “Ke mana saja Mas, yang penting nggak di rumah,” sahutnya. “Emang nggak punya sopan santun,” desis Ningsih. “Mas mau bicara, duduk dulu, Dila.” Mau tidak mau, Ardila menurut. Ia duduk dengan patuh, “Kenapa Mas?” Firman menghembuskan napasnya sebelum berbicara, “Katanya kamu mempermalukan Ibu waktu acara arisan di sini, ya?” Ardila mengernyitkan dahi dalam, “Mempermalukan gimana maksudnya?” “Ngatain Ibu miskin, nggak punya uang dan minta-minta sama menantu.” Ardila melirik Ningsih yang tersenyum sinis ke arahnya, kemudian melirik Firman dengan datar. “Kamu percaya, Mas?” Firman terdiam sesaat, “Mas nggak tahu Dil, karena kamu memang orang baru di hidup, Mas.” Sudut bibir Ardila berkedut samar, ia kesal dan marah. Kenapa harus memiliki keluarga yang seperti ini
Baca selengkapnya
Bab 18
Ardila sudah banyak memesan makanan, ia tata dengan rapi di atas meja. Menghiraukan tatapan keempat orang yang masih sibuk mengurusi rumah. “Dil, kita boleh makan dulu nggak, baru nanti lanjut beresin rumahnya,” bujuk Firman karena perutnya sudah terasa lapar. “Ibu juga lapar, dari tadi siang belum makan,” timpal Ningsih menatap lapar makanan yang terhidang di atas meja. “Aku lapar Mas,” rengek Sinta. Ardila terdiam sejenak, “Cuma Sinta yang boleh,” ucapnya. Walaupun ia merasa kesal dengan Sinta, tapi janin yang sedang di kandungnya tidak bersalah. Sinta bergegas mencuci tangan, lalu duduk di kursi untuk menyantap makanannya. Perutnya benar-benar terasa lapar. Karena tidak mendapat respon dari Ardila, Firman, Ningsih serta Rosa akhirnya kembali membersihkan rumah. Setengah jam berlalu, mereka duduk dengan napas ngos-ngosan. “Keterlaluan kamu Dila, Ibu udah tua masih juga di suruh beresin rumah,” sungut Ningsih. Ardila merotasi bola matanya malas, “Memangnya apa yan
Baca selengkapnya
Bab 19
“Zakki?” Pria itu mengangguk dengan senyum simpulnya yang menawan. Sorot matanya terlihat menghormati wanita yang sedang ia tatap penuh kagum.“Kamu ngapain ke sini, Zakki?” tanya Ardila seraya menyuruh Zakki duduk untuk ikut bergabung. “Aku bekerja di kota ini Kakak Besar, aku ke sini cuma mau menyapa dan meminta nomor telepon Kakak Besar boleh? Siapa tahu lain kali kita bisa bertemu lagi,” ucap Zakki menatap Ardila penuh harap. “Boleh,” sahutnya seraya memasukan nomor teleponnya di ponsel Zakki. “Ini, kenapa nggak gabung dulu?” tanya Ardil seraya menyerahkan ponsel milik Zakki. Zakki menggeleng pelan, “Aku harus bekerja lagi Kakak Besar, nanti aku hubungi, ya,” ucapnya seraya berlalu dari hadapan Ardila. Setelah melihat kepergian pria tadi, Naya langsung menatap Ardila dengan heran, “Kenapa dia memanggilmu Kakak Besar?” Ardila mengedikkan bahunya, “Aku memang lebih tua darinya setahun, dulu juga sudah kularang, tapi katanya panggilan itu menginpirasi. Jadi, kubiarkan saja.” “
Baca selengkapnya
Bab 20
“Kamu juga ikut andil dalam membiayainya nanti,” lanjutnya.Ardila menaikan satu alisnya, “Itu urusan Mas Firman, Bu. Mas Firman juga bukan lagi pengangguran.” “Mana cukup gaji Firman untuk menafkahi kita semua, kamu juga harus bantu Ardila,” sahut Ningsih berkecak pinggang.Melihat Ardila tidak menyahut, malah asik menikmati minuman dingin di tangannya membuat dada Ningsih kembali panas. “Kamu dengar nggak, sih?!” “Aku nggak ikut urusan, Bu, aku seorang istri yang perlu di nafkahi. Bukan tugasku ikut menafkahi,” ucap Ardila dengan tenang. Setelah berucap, Ardila segera berlalu menuju kamarnya. Semakin lama, Ardila merasa ia seperti di manfaatkan. Bukannya di nafkahi, malah minta di nafkahi semua. +628945677xxxx;[Save kontak.]Ardila mengernyit melihat ada pesan masuk dari nomor tak di kenal.Saya;[Siapa?]+628945677xxxx;[Arman.]Entah bagaimana sudut bibir Ardila terangkat, bibirnya berkedut menahan senyuman. Sedetik kemudian ia menggeleng ribut dengan tingkahnya. Ardila juga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status