Share

05. Teror Di Malam Hari

Sekitar tenda cukup terang dalam penerangan cahaya bulan. Sekali-sekali terdengar suara binatang yang membangkitkan perasaan seram, disusul lolongan panjang serigala.

Di dalam tenda, sebuah lampu badai tergantung di tengah-tengah dengan cahaya redup, membuat keadaan di dalam lebih gelap daripada di luar, sehingga kelihatan jika ada binatang buas datang mengancam melalui bayangannya.

Raka dan Jonan tidur terlentang di alas tenda tanpa melepas sepatu tactical. Mereka mengenakan celana loreng ala pasukan komando dan kaos crew neck yang elegan.

Oldi tidur meringkuk di atas karpet bulu berbantal carrier. Dia memakai penutup kepala, blazer, kaos lengan panjang, dan celana jeans dengan ujung dimasukkan ke dalam kaos kaki tebal. Kelihatan heboh sekali.

Kirei dan kawan-kawan berbaring beralas karpet bulu dengan bantal berisi udara. Kirei dan Maysha mengenakan jaket, Inara mengenakan sweat shirt. Tapi waktu itu tidak kelihatan karena sebuah selimut menutupi seluruh tubuh mereka. 

Tempat tidur laki-laki dan perempuan dibatasi dengan meja. Inara tidur dekat pintu depan dan Raka dekat pintu belakang.

Sekali lagi berkumandang lolongan panjang serigala....

Bagian atas selimut perlahan terbuka. Ketegangan membersit di wajah ketiga gadis itu. Mereka ternyata belum tidur.

Kirei memandang kedua temannya dengan wajah takut. “Kata orang lolongan serigala menandakan ada makhluk halus gentayangan.”

“Terus kata orang kita harus ngapain?” tanya Maysha.

Inara menghibur padahal nyalinya sendiri meleleh. “Tidak aneh ada suara serigala di hutan, memang markasnya.”

Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan. Mereka bertambah tegang. Suara itu makin lama makin jelas, datangnya dari depan tenda. Serempak mereka menoleh. Sesosok bayangan tinggi besar berdiri depan tenda!

Mereka menjerit ketakutan. Pemuda-pemuda itu bangun.

“Ada apa?” tanya Raka tenang seolah tidak terpengaruh oleh suasana yang mencekam.

Mereka tidak mampu berbicara. Tubuh Kirei menggigil saking takutnya.

Jonan bertanya dengan tak kalah santainya, “Mimpi buruk? Pacar tenggelam di selokan?”

“Ada...bayangan...di luar,” jawab Inara tergagap.

Jonan melihat ke luar tenda, tidak ada bayangan apa-apa. "Bercanda.”

“Masa bohong sih, Jo?’’ Maysha memandang pemuda itu dengan sinar mata ketakutan.

“Kingkong kali.”

“Tinggi gede kayak manusia.”

“Kingkong memang kayak manusia,” sambar Jonan enteng. “Samping aku contohnya.”

Oldi keki. “Sekalian saja ngomong sampel gagal."

Jonan dan Oldi berebahan lagi. Ketika Raka hendak berbaring, Inara memanggil.

“Raka...."

Pemuda itu tidak jadi berbaring. Dia menoleh dan bertanya, "Ada apa?"

“Takut,” lenguh Inara manja. "Jangan tidur."

Gadis itu memandang Raka dengan sinar mata minta dikasihani. Perasaan takut tidak mengurangi pesona matanya yang bening kebiruan bagai samudera itu. Maysha dan Kirei menambah sendu keadaan dengan tatap mata yang memelas.

"Please," pinta mereka.

Raka bangkit dan berjalan ke pintu tenda. “Bermimpilah tentang kekasih terindah kalian. Kujaga tidur dan mimpi kalian.”

Raka keluar tenda. Mereka memejamkan mata. Tidak menutup wajah dengan selimut. Merasa aman karena ada yang berjaga-jaga di luar.

Raka menyalakan api unggun sambil duduk di sebuah batu. Api mulai menjilat-jilat. Padang rumput diselimuti kabut tipis. Ada sekumpulan mega apabila diperhatikan secara imajinasi membentuk makhluk raksasa yang menakutkan. Pemuda itu tidak tertarik untuk melihat fenomena yang demikian.

Sekonyong-konyong berkumandang lolongan panjang serigala yang sangat menyeramkan. Mata Inara terbuka. Kini bayangan itu ada di belakang tenda!

Spontan gadis itu berteriak kaget. “Raka, di belakang!”

Raka yang sedang membetulkan letak kayu bakar pada api unggun refleks bangkit dari duduknya dan berlari ke belakang, tapi tidak menemukan makhluk apapun. Suasana sekitar sunyi. Hutan bagian dalam terlihat gelap. Cahaya bulan tak dapat menembus rimbunnya dedaunan. 

Raka kembali ke depan lewat jalan yang berbeda dan masuk ke dalam tenda.

Inara dan kawan-kawan duduk berkumpul dengan wajah ketakutan. Oldi terbangun. Dia duduk sambil makan coklat. Sementara Jonan tidur terlentang dengan tenangnya.

Raka memandang mereka. “Kalian tidak usah takut. Tidak ada apa-apa.”

Jonan bicara tanpa membuka mata seperti orang mengigau. "Makanya sebelum tidur ingat Tuhan, jangan ingat pacar, jadi halu.”

“Aku benar-benar melihatnya," tegas Inara. "Bukan halu."

Raka menoleh ke Oldi. “Kamu lihat, Ol?”

“Ya.”

“Lihat apa?”

“Ada tiga cewek gengges mengganggu tidurku.”

Maysha berusaha meyakinkan Raka. “Bayangan itu nyata, Raka, sangat nyata. Dia kabur ke arah hutan.”

“Pasti kingkong jantan,” sahut Jonan. “Dia ketakutan melihat macan betina.”

"Aku serius.”

“Memangnya aku main-main apa?” balik Jonan dengan gaya yang menyebalkan. "Aku saja takut melihat keganasan kamu, apalagi kingkong."

“Binatang apapun namanya tidak bisa kabur secepat itu,” kata Raka. "Aku pasti dapat melihatnya."

Inara memandang dengan takut-takut. “Kayaknya bukan binatang."

“Jangan-jangan....” Kirei tidak berani melanjutkan kata-katanya.

Raka memperhatikan mereka sekejap, lalu menarik nafas dengan halus. "Aku minta sekali lagi kalian jangan berpikiran yang tidak-tidak."

Halusinasi muncul karena pikiran terkungkung oleh hal-hal gaib. Daun kering jatuh saja bisa terlihat seperti hantu kalau di dalam pikiran sudah tercipta situasi yang menakutkan. Otak perlu dikembalikan ke alam nyata dengan memikirkan hal-hal nyata.

"Kalian akan sering mengalami kejadian aneh seperti ini," ujar Raka. "Kenapa aku katakan aneh? Telinga belum biasa mendengar, mata belum biasa melihat, hati belum biasa merasakan. Dari belum biasa itu muncul rasa takut. Kalau rasa takut itu tidak bisa dikendalikan, itu berarti ancaman bagi keselamatan kalian."

Perasaan takut mulai mencair di wajah mereka. Gadis-gadis metropolis itu kelihatan lebih tenang.

Raka melanjutkan motivasinya, "Berapa kali aku didatangi harimau, beruang, singa. Nyatanya aku masih bisa berbagi pengalaman sama kalian. Tahu kenapa? Aku coba mengendalikan rasa takut.”

“Tadi itu bukan harimau, beruang atau singa,” bantah Inara.

"Kamu tahu ada binatang saja di dunia ini dari internet, gaya-gayaan."

“Aku tidak bego-bego banget, Raka. Aku bisa membedakan mana bayangan binatang mana bukan. Tapi kalau bayangan manusia, apa ada manusia bisa lari secepat itu?”

“Nah, kamu sudah jawab sendiri.”

“Jangan-jangan....” Kirei tidak meneruskan kata-katanya karena tajamnya mata Raka menerbangkan isi kepalanya.

Maysha memandang Raka dengan harapan mempercayai mereka. "Aku tidak tahu itu apa. Entah binatang, entah manusia. Tapi percayalah, yang kulihat itu bukan halusinasi. Benar-benar nyata."

“Jangan-jangan....”

Raka mengambil sangkur yang tergeletak di meja dan memasangnya di pinggang. Di meja ada sangkur satu lagi dan empat buah senter kecil. Dia abaikan senter itu.

Raka memandang mereka dengan tajam. "Akan kubawa ke hadapan kalian siapa sebenarnya pemilik bayangan itu, manusia, binatang atau jangan-jangan.”

Pemuda itu pergi. Teman-temannya terperangah. Mereka berpandangan. Raka berani mencari makhluk itu sendirian? Bagaimana kalau benar-benar makhluk astral?

Oldi segera membangunkan Jonan. "Bangun, bangun.”

Jonan membuka mata sebelah lalu menutup lagi, malas-malasan bicara. "Ada apa?”

“Raka pergi.”

“Terus kenapa?”

“Bahaya, tahu gak?”

“Raka sudah biasa keluar masuk hutan malam-malam. Keluar masuk kamar perempuan malam-malam, naaah, baru deh bahaya.”

“Pilih mana, bangun apa...?” Oldi memonyongkan bibir hendak mencium temannya.

Jonan segera bangkit duduk. "Amit-amit.”

“Susul deh, Jo,” pinta Inara khawatir.

Maysha mendelik melihat Jonan tenang-tenang saja. "Segera."

“Gak pake lama,” timpal Kirei. “Aku tahu Raka orangnya beranian, tidak takut sama binatang apa juga. Tapi aku yakin makhluk itu bukan binatang bukan manusia.”

“Bukan juga manusia binatang seperti kamu,” sambung Maysha.

"Cepetan!" sentak Kirei tidak sabar.

Jonan memandang mereka dengan tenang. “Kalian ini kenapa sih? Tahu kenapa Raka pergi? Bukan gaya-gayaan ingin membuktikan omongan kalian. Bising. Aku sekarang ini justru kuatir sama kalian, terutama kamu Ol. Kamu gampang drop kena udara dingin, kalau sakit bagaimana? Dokter hewan saja di mari tidak ada.”

Inara memandang dengan tajam. “Sebenarnya kamu bersedia menyusul apa tidak?”

Jonan jadi kesal. Dia meraih sangkur di meja dan melangkah dengan tergesa-gesa ke pintu tenda. Maysha mengambil senter, bangkit menyusul.

Jonan mendelik. "Mau apa kamu?"

“Menemani kamu.”

"Aku justru dalam bahaya besar kalau main gelap-gelapan sama perempuan kayak kamu." Jonan membuka pintu tenda dan melangkah ke luar.

Maysha memandang kepergian pemuda itu dengan jengkel. “Kenapa sih tuh anak? Harusnya bersyukur diperhatikan sama aku."

“Perhatian kamu adalah ancaman bagi laki-laki," sahut Oldi sambil memasukkan potongan coklat ke mulutnya. "Jo tidak bego, kan buaya.”

Keluar dari tenda, Jonan berjalan melintasi padang rumput dan berhenti di bawah sebuah pohon di tepi hutan. Suasana di situ remang-remang. Cahaya bulan terhalang rimbunnya dedaunan. 

Jonan berebahan di atas rumput dengan bantal akar yang menonjol di permukaan tanah. Baru saja memejamkan mata sudah muncul gangguan. Seekor serigala melolong panjang dari dalam hutan. Suaranya terdengar cukup keras menandakan binatang itu tidak jauh posisinya.

Jonan bangkit dengan geram. "Bukan cuma gadis-gadis metropolis yang tidak suka aku tidur.”

Pemuda itu masuk ke dalam hutan, berjalan pelan-pelan sambil tengok kanan kiri. Matanya memicing mencoba menerobos kegelapan.

Sekali lagi berkumandang lolongan serigala. Suaranya tiba-tiba terputus seperti ada sesuatu yang menimpa binatang itu. 

Jonan melangkah lambat-lambat menuju ke sebuah rumpun semak yang dicurigai sebagai lokasi kejadian. Dia tertegun sejenak. Lamat-lamat terdengar suara tarikan nafas ganjil yang sangat menyeramkan....

Sementara itu suasana di dalam tenda semakin mencekam. Mereka menunggu dengan gelisah. Oldi tak henti-hentinya menyantap coklat. Habis satu potong masuk potongan baru. Kebiasaan kalau lagi gelisah.

“Kalau bayangan itu datang terus masuk tenda, bagaimana?” desis Kirei tercekat.

Mereka berpandangan. Perasaan takut menghiasi sinar mata mereka.

"Tenang ada aku," kata Oldi. "Serahkan semua sama aku."

Oldi bukan gagah-gagahan. Nyalinya sendiri lumer. Tapi cuma dia laki-laki yang tersisa di dalam tenda. Dia harus berani mengambil alih tanggung jawab melindungi mereka.

Gadis-gadis itu malah semakin gelisah. Ketegangan membayang kuat di wajah mereka.

Sekonyong-konyong berkumandang lolongan panjang serigala, kedengaran keras sekali, berasal dari depan tenda. Serempak mereka menoleh ke Oldi. Potongan coklat makin gencar masuk ke mulut pemuda itu sampai-sampai bungkusnya hampir ikut tertelan.

Sayup-sayup terdengar suara erangan yang menyeramkan, semakin lama semakin jelas, ditingkahi suara langkah kaki yang berat mendekati pintu tenda. 

Gadis-gadis metropolis itu pindah duduk ke belakang Oldi. Tangan pemuda itu berhenti memasukkan coklat ke mulut. Mereka semua tidak berani bergerak, apalagi bersuara.

Di saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba bangkai serigala melayang masuk lewat pintu tenda dan jatuh di hadapan mereka. Leher binatang itu hampir putus dengan luka yang mengerikan. Gadis-gadis itu menjerit ketakutan.

Kemudian Jonan muncul dengan wajah garang, mata mendelik, lewat sela-sela bibirnya yang belepotan darah keluar erangan-erangan yang menyeramkan. Mereka terkejut bukan main.

“Jo." Oldi memandang tak berkedip. “Kamu kenapa?”

Jonan tak henti mengerang. Kakinya melangkah lambat-lambat mendekati mereka sambil memandang dengan galak.

“Jo,” pekik Oldi tercekat. “Kenapa kamu jadi begini?”

Jonan duduk di dekat meja. Dari mulutnya keluar suara yang serak dan dalam, "Aku bukan Jo.”

Oldi terpana. Muncul rasa gentar di wajahnya. Sementara ketiga gadis itu mengkerut ketakutan di belakangnya.

Oldi memberanikan diri bertanya, “Terus siapa?” 

“Pangeran hutan larangan.”

Gadis-gadis itu semakin ketakutan. Kirei sampai tidak berani melihat Jonan, bersembunyi dalam-dalam di punggung Oldi.

Beberapa saat lamanya Oldi susah berkata-kata, tapi akhirnya keluar juga suaranya karena dorongan rasa tanggung jawabnya, "Kenapa pangeran ganggu teman aku? Salah apa teman aku?”

“Mau tahu salahnya teman kamu? Mau tahu salahnya kamu-kamu pada? Berani-beraninya menginjakkan kaki di daerah kekuasaan aku.”

Badan Oldi membungkuk dengan tangan merapat di depan wajah. “Ampun, pangeran. Kami terpaksa. Kami terdampar di hutan ini."

“Bohong.”

Oldi angkat dua jari bersumpah. "Swear, pangeran.”

“Dower.” Jonan ikut-ikutan angkat dua jari.

“Swear, pangeran, bukan dower. Tolong maafkan kami, pangeran. Kami mohon, please.”

“Ada syaratnya.”

“Sya...rat?” Inara tergagap, antara takut dan bingung. “Syarat apaan, pangeran?”

Jonan menggeram sambil menunjuk pipi kiri, maksudnya minta dicium. Inara terpana sesaat. Ragu-ragu dia bergerak maju dan mencium pipi kirinya.

Kemudian Jonan menggeram dan mendelik ke Kirei yang mengintip lewat punggung Oldi, menunjuk pipi kanan. Kirei melongo. Oldi dorong tubuh gadis itu agar bergerak maju. Kirei merangkak maju dengan takut-takut dan mengecup pipi kanannya.

Sekarang Jonan membelalak ke Oldi. Tanpa menunggu perintah, pemuda itu bergerak maju sambil memonyongkan bibir hendak mencium keningnya. 

Tiba-tiba Jonan menggebrak meja, Oldi terlonjak kaget, gerakannya berhenti seketika. Jonan menungging, lalu menggoyangkan pantat ke kiri dan ke kanan. Oldi bengong. Sekali lagi pangeran hutan larangan menggebrak meja. Terpaksa Oldi mencium pantatnya.

Terakhir Jonan mendelik ke Maysha dan menunjuk bibir. Gadis itu terpukau. Pangeran hutan larangan menggeram marah sambil mengangkat kedua tangan seolah hendak menerkam. Maysha sampai mengkerut ngeri.

"Tapi pangeran janji akan pergi?" tatap Maysha takut-takut.

Jonan angkat dua jari bersumpah. "Dower."

Maysha bergerak maju dan perlahan menyorongkan wajah mengecup bibirnya sedikit. Jonan tekan kepala gadis itu sehingga bibirnya merapat dan belepotan darah.

Raka masuk dan melihat kejadian itu. Sekejap dia terpukau, kemudian berkomentar, "Dapat banyak."

Kedatangan Raka bagaikan kemunculan pahlawan yang ditunggu-tunggu.

"Raka!" seru Oldi. "Jo kerasukan! Cepat tolong!"

Raka berjalan dengan santai ke bangkai serigala. “Setan mana berani masuk ke tubuh rajanya?”

Jonan bangkit berdiri. Ekspresi wajahnya kembali seperti biasa. "Aku cuma ingin tahu kebiasaan gadis metropolis."

Mereka terpukau, baru sadar kena tipu. Jonan ternyata cuma pura-pura kesurupan!

Dengan jengkel Oldi menimpukkan carrier ke arah kepala temannya. "Pangeran brengseeek!"

Jonan menangkap carrier itu dan balas menimpuk. Oldi gelagapan terhantam carrier dengan tali tersangkut di kepala.

“Kurang ajar.” Dengan gemas Maysha mengusap wajah Jonan menggunakan tissue bekas membersihkan bibirnya, sehingga wajah pemuda itu belepotan. "Ngaku-ngaku pangeran, tidak tahunya raja buaya."

Raka memeriksa luka pada leher bangkai serigala. Alisnya mengernyit. Jonan ambil bangkai itu, lalu membawanya keluar tenda dan pergi ke tepi lembah.

Raka menyusul. "Aku tahu bukan kamu yang membunuhnya. Luka itu aneh.”

“Ada yang ingin bermain-main dengan kita.” Jonan melemparkan bangkai itu ke lembah. “Dia menakut-nakuti orang yang salah.”

“Siapa?”

Jonan menggeleng. “Aku hanya menemukan bangkai itu.”

Mungkin gadis-gadis metropolis itu benar, pikir Raka. Yang datang ke tenda bukan binatang. Tapi apa?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anggra
menang bnyak si Jo......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status