Share

04. Hutan Larangan

Raka mempelajari peta Pulau Tak Bernama sambil makan apel. Oldi dan Jonan makan pir. Inara, Maysha, dan Kirei menyantap potongan buah menggunakan garpu. 

Mereka duduk mengelilingi meja beralas karpet bulu. Ada lima kaleng minuman dan beberapa butir anggur ruby yang belum tersentuh di meja. Di depan Raka ada botol air mineral.

“Ada di mana kita?” tanya Inara.

“Sektor empat.”

Gadis-gadis itu berpandangan. Ketegangan muncul di wajah mereka. Sektor empat adalah daerah yang harus mereka hindari karena sangat berbahaya. Banyak kejadian yang belum terpecahkan hingga saat ini.

“Hutan larangan,” desis Kirei ngeri.

“Hutan mana kenal undang-undang?” kicau Oldi. “Ada larangan segala.”

“Hutan ini tertutup untuk wisata alam,” kata Kirei ciut. Keganasan hutan ini melelehkan nyalinya. "Ada plank peringatan di sekitar sungai."

"Kamu lihat plank itu?" tanya Jonan.

Kirei tidak melihat di sepanjang sungai ada papan peringatan. Barangkali ada yang merusak plank itu agar wisatawan tidak mengetahui dan masuk jebakan.

"Mereka tutup hutan ini ya kita buka," ujar Jonan. "Apa susahnya?"

“Buat kamu sama Mey boleh buka plus-plus,” sambar Oldi. "Hitung-hitung ngasih pelatihan buat penghuni hutan."

“Jaga deh omongan,” tegur Maysha. "Setiap tanaman di hutan ini bertelinga."

“Susah. Mulut tidak ada pagarnya.”

Inara memandang mereka dengan kecut. "Orang posko sudah wanti-wanti. Jika kita terdampar di hutan ini, maka jalan keluar terbaik adalah tinggalkan tempat ini secepatnya."

"Kamu tanya bagaimana caranya?" tatap Raka dingin. "Terbang apa menunggang harimau?"

Inara diam. Dia hanya menerima apa-apa yang disampaikan instruktur dalam briefing. Semua informasi yang didapat adalah hal baru dan cukup membuat bingung. Bagaimana bisa bertanya?

"Menunggang harimau," sahut Oldi. "Menunggang Inara, kamu pasti tidak berminat."

"Jangan asal," sergah Kirei. "Orang posko memang ngomong begitu. Kita disuruh keluar dari hutan ini secepatnya."

"Ya terus caranya bagaimana? Menunggang kamu?"

"Otakmu bawaannya kotor saja."

"Otakku sulit berpikir bersih melihat cantiknya wajahmu."

"Aku malah pengen muntah melihat kamu."

Oldi bukan tersinggung, malah tersenyum. "Wajahku mirip pispot ya?" 

Kirei jadi lunak hatinya dan berkata, "Orang posko bilang kita harus segera meninggalkan hutan ini bagaimanapun caranya."

"Itu jawaban orang bego," dengus Oldi. "Cuma bikin pusing kita."

"Jawaban orang pintar bagaimana?" tanya Kirei berusaha sabar.

"Kamu berdandan yang cantik untuk menjadi pengantin dedemit, kayak di film horor yang sering kamu tonton."

“Kejadian tahu rasa," gerutu Kirei.

"Kejadian kamu jadi pengantin dedemit?"

"Kejadian kamu dicekik sama dedemit, terus dibikin kambing guling!" Kirei terpancing lagi emosinya melihat kekonyolan pemuda itu.

"Aku kira makhluk astral di hutan ini bukan gay," sahut Oldi tenang. "Jadi peristiwa itu cuma halu. Kemungkinan besar kamu jadi pengantin dedemit, mandinya jangan lupa pakai bunga kenanga."

Maysha pusing mendengar obrolan mereka, dan mulai bercerita dengan suara agak bergetar, “Tidak ada seorangpun wisatawan yang keluar hidup-hidup dari hutan ini. Kematian mereka sampai sekarang jadi misteri. Mereka banyak mendapat luka cabikan, tapi bukan cabikan binatang."

"Kejadian terakhir lima orang wisatawan asing hilang," tambah Inara. "Mayatnya tidak ditemukan.”

“Ada juga yang selamat,” kata Jonan.

“Perasaan orang posko tidak bilang begitu,” sanggah Maysha. "Hutan ini jadi kuburan massal bagi wisatawan."

“Kalau aku bilang ada yang selamat, itu berarti ada.”

“Siapa?”

“Kita," tandas Jonan. "Memangnya kamu sudah mati apa? Atau ingin segera mati?"

Tentu saja Maysha ingin hidup lebih lama lagi. Dia ingin keluar dari hutan ini dengan selamat. Tapi mendengar cerita orang posko, adakah kesempatan untuk bertahan hidup?

“Aku tidak mau mati muda," gumam Oldi. "Rugi banget.”

“Rugi kenapa?” pandang Kirei acuh tak acuh. "Dunia malah jadi luas kamu pergi."

“Aku belum kawin. Kamu enak sudah merasakan nikmatnya dunia.”

“Sembarangan.”

“Jadi belum pernah merasakan? Bagaimana kalau kita nikmati indahnya dunia sebelum ajal tiba?"

Kirei menatap Oldi dengan menyepelekan. "Kawin sama aku maksudnya?"

"Sama siapa lagi? Manusia diciptakan berpasang-pasangan. Raka pasangannya si Lola. Inara pasangannya si Jimy. Maysha si Firman. Jo si Ayumi. Nah, kamu siapa pasangannya? Si bule gembel tidak balik-balik dari negerinya.”

"Stop dulu bercandanya, bisa gak?" geram Maysha jengkel. “Ini bukan situasi main-main.”

Gadis itu paling tidak percaya hal-hal yang berbau mistik. Tapi dia yakin ada makhluk pembunuh di hutan ini karena banyaknya korban tewas secara misterius. Entah dedemit atau apa. Yang jelas, makhluk itu tidak membiarkan mereka keluar dari hutan ini dalam keadaan bernyawa.

“Raka,” panggil Inara tercekat. Perasaan khawatir tiba-tiba saja menyergap hatinya. “Apa kita bisa pulang dengan selamat?”

Raka memandang dengan santai. “Pertanyaan apa itu? Aku minta kalian jangan berpikiran yang aneh-aneh. Alam bisa jadi sahabat bisa jadi ancaman bagi kita. Bagaimana kita memperlakukan alam, itu kuncinya.”

“Ya terus?”

“Ada dua jalan untuk keluar dari sini; jalur selatan menuju ke basecamp, jalur utara menuju ke posko.”

“Mana yang lebih dekat?”

“Jalur selatan. Cuma medannya tidak mudah, melintasi perbukitan dan ngarai, bukan pilihan bagus buat kalian.”

“Berarti lewat jalur utara?”

“Butuh waktu lebih banyak. Keluar masuk hutan dan dua kali menyeberang sungai. Bahaya apa tidak sungai itu tak ada keterangan.”

“Jadi baiknya lewat mana?”

“Dua-duanya pilihan yang buruk buat kalian.”

“Jadi kita menunggu bantuan yang belum jelas?" sambar Kirei cemas.

“Besok aku coba cari sinyal.”

"Bagaimana kalau di mana-mana tidak ada sinyal?" tatap Inara gelisah.

“Cari bantuan ke basecamp.”

Situasi tidak perlu ribet begini kalau gadis-gadis metropolis itu sedikit punya bekal untuk menempuh perjalanan. Mereka biasa keluar-masuk diskotik. Tidur di kasur empuk. Tentu sangat berat menjelajah hutan berhari-hari dengan beristirahat di sembarang tempat.

“Liburan jadi rusak begini ya,” keluh Maysha. “Niatnya aku senang-senang.”

“Lebih banyak mengeluh lebih banyak kesempatan hidup terbuang,” ucap Raka.

“Aku datang ke pulau ini bukan untuk mati.”

"Motivasi seperti itu yang dibutuhkan. Semangat bertahan hidup membuat kamu tidak kehabisan akal untuk mengatasi bahaya."

"Tapi aku takut mati."

“Terus kenapa tidak pergi umrah sama si Firman? Buru-buru tobat?"

Maysha berani berpacaran secara kontroversial. Dia pernah berpacaran dengan pemabuk, pemadat, dosen beristri, bahkan mafia, sampai melibatkan Jonan agar bisa putus. Pemuda itu cukup berjasa jadi bodyguard untuk menghadapi ancaman mantan pacar dan komplotannya.

Nah, pacar terbarunya ini paling sensasional dan paling lama bertahan. Seorang ustadz, meski baru levelan masjid kampus. Maysha sendiri belum pernah menghadiri acara pengajian pacarnya.

“Makanya cari pacar itu yang sehaluan biar bisa traveling sama-sama,” sindir Jonan. “Clubber pacaran sama ustadz. Cari sensasi ya?”

“Cinta tak bermata.”

“Tapi bisa membedakan mana suara motor mana suara mobil.”

“Motor kamu kan seharga mobil. Jadi percuma mendengarkan suaranya."

“Pragmatis banget. Aku tidak susah dapat cewek biar jadi gembel."

"Jadi sugar baby tante-tante?"

“Ada yang tidak bisa membedakan mana Ferrari mana tukang lari,” potong Oldi. "Akhirnya ditinggal lari."

Kirei mendelik. “Aku maksudnya? Pemain bola dibilang tukang lari. Pelecehan itu namanya."

"Pemain bola kan tukang lari? Kalau tidak lari, namanya tukang bola.”

“Dan aku tukang gampar,” sambar Kirei sewot. “Pengen bukti?”

“Galaknya!"

Raka merapikan peta, lalu melihat jam di handphone. “Cukup waktu sebelum gelap. Siapa yang mau ikut berendam?”

“Di mana?” tanya Maysha antusias. "Aku gerah banget kepingin mandi."

"Bathtub alam, di sungai.”

Kirei menyentuh tangan Inara. “Ada tawaran mandi bareng tuh. Ikut tidak?”

“Jadi teman malah mengajari tidak benar,” sergah Oldi. "Malah menyesatkan."

“Alah, si Lola juga belum tentu setia. Bisa saja ngajak si Jimy berenang di Hawaii.”

Oldi jadi berubah pikiran. "Benar juga. Inara pergi sama Raka. Lola pergi sama Jimy. Bisa selingkuh balas-balasan.”

“Selingkuh kok balas-balasan?”

“Yang rugi Raka.”

“Kok rugi?" protes Maysha. "Memangnya teman aku kurang cakep apa?”

“Ibarat barang si Lola masih mulus, jarang dipakai.”

“Brengsek,” maki Inara. “Memangnya aku mobil apa?”

“Ada yang lebih rugi, tahu gak?” sambar Kirei.

“Siapa?”

“Si Firman. Ustadz dapat bekas buaya."

Oldi tertawa kecil. “Itu sih bukan rugi lagi, parah! Onderdilnya tidak rusak saja sudah bagus!"

“Ayumi liburan ke Lombok," sahut Jonan membela diri. "Bukan pergi umrah.”

“Dari Lombok kan bisa pergi umrah,” kilah Kirei. "Orang pulang dugem saja banyak yang mampir di tempat ibadah."

“Kamu bagaimana?" kerling Oldi. "Tidak rugi dong dari tukang lari dapat Ferrari?”

“Tunggu khilaf deh.”

“Kalian ini ngomong apaan sih?” potong Raka jemu. Kalau mereka sudah kumpul, berisiknya minta ampun. Ada saja yang dibahas. “Ada yang mau ikut mandi tidak?”

“Kalau aku sih gak deh,” sahut Maysha. "Tar gatal-gatal.”

“Kamu pikir mandi di Ciliwung?” sambar Inara. "Sungai di sini alami, girl."

“Kamu mandi di mana kalau tidak mandi di sungai?” tukas Jonan sinis. "Mandi kembang? Kayak kuburan ditaburi kembang?"

“Di basecamp ada shower alam, pancuran.”

Oldi meledek. “Hellow, kita ini lagi di mana? Tahu sampai tahu tidak ke basecamp!"

"Ngomongnya kok begitu?" sergah Kirei tidak senang. "Pengen banget mati apa?"

"Katanya tidak ada wisatawan yang bisa keluar hidup-hidup dari hutan ini."

"Tapi tidak pesimis juga!"

Raka memotong pembicaraan yang tidak menyenangkan itu. Kematian bisa terjadi di mana saja, ada ancaman atau tidak.  “Menurut keterangan di peta, sekitar sini ada air terjun. Hanya pulangnya bisa kemalaman.”

“Tidak usah ngomong,” gerutu Maysha. "Sekalian saja pulangnya ronda."

"Bukan sudah biasa pulang malam?" sindir Jonan. "Kamu itu clubber apa kupu-kupu malam?"

“Tidak apa-apa kali kemalaman." Inara tersenyum senang. “Kan ada senter.”

Oldi menjentikkan jari. “Betul juga. Siapa yang jaga tenda?”

“Buat apa dijaga?” bantah Kirei. “Pintunya bisa dikunci.”

“Kancing kamu saja gampang dibuka,” balik Oldi pedas. “Ini lagi kancing tenda.”

“Si Mey,” sela Inara.

“Kok aku?” protes Maysha.

“Kamu kan tidak mandi.”

“Kalau air terjun sih aku mau. Lagi takut sendirian.”

“Biar kutemani,” sahut Jonan. “Tapi jangan macam-macam.”

“Kamu kali macam-macam.”

“Ya sudah,” tukas Raka. “Kita berangkat.”

Oldi segera mengambil kotak peralatan mandi dan handuk di sudut tenda. Sementara Inara dan Kirei selain membawa peralatan itu, membawa baju salinan juga.

Kemudian mereka keluar tenda. Oldi kaget melihat celananya di tali jemuran hilang. Cuma ada celana loreng Raka dan Jonan.

“Siapa yang mencuri celanaku?” geram Oldi. Matanya beredar ke sekitar hutan, tidak ada siapa-siapa. “Brengsek.”

“Maling kok pilih-pilih ya?” cetus Inara heran. “Padahal ada celana yang lebih bagusan.”

“Celanaku lebih mahal, tahu! Impor juga.”

“Jangan-jangan...,” desis Kirei ciut. “Hutan ini benar-benar ada penunggunya.”

Inara meledek. “Yang makan sinyal juga?”

Mata elang Raka dapat menangkap sebuah keanehan di balik semak-semak di dalam hutan depan tenda. Dia segera menuju ke tempat itu.

“Ke mana?” tanya Inara.

“Tunggu bentar.”

Mereka memandang kepergian Raka dengan bertanya-tanya. Pemuda itu masuk ke dalam hutan. Tak berapa lama kemudian dia keluar lagi menggendong seekor gorila yang mengenakan celana Oldi. Binatang itu kelihatan lucu dan jinak. Mereka bengong.

“Ini penunggunya.” Raka menurunkan binatang itu di hadapan mereka. Kirei mundur ketakutan. “Kalau kamu takut lihat selingkuhanmu ini, lama-lama kena serangan jantung. Ini hanyalah satu dari sekian penunggu hutan ini.”

Inara tersenyum geli. “Benar kata Jo. Kamu pandai menaklukkan gorila.”

“Bukan hanya gorila.”

“Cewek Mapala juga? Pantesan si Lola jadi imut-imut, biasanya amit-amit.”

Raka mengelus-elus kepala gorila. “Jadi Satpam ya. Di dalam ada buaya dan macan betina.”

“Kalau ada suara-suara aneh, gerebek saja,” sambung Oldi.

Raka pergi.

“Ke mana lagi?” tegur Inara. “Celana yang hilang kan cuma satu?”

“Mandi. Memangnya kamu mau kubawakan selingkuhan yang lebih heboh?”

Inara berlari mengejar dan berjalan di sampingnya. “Kok main pergi saja? Sudah lupa pesan Papi?"

Tentu saja Raka ingat. Sekali lupa, seribu masalah mengancam hidupnya. Papi Inara seorang pengusaha besar yang mampu menggerakkan seluruh komponen untuk membuatnya susah, bahkan masuk penjara. Untung orangnya baik.

Di antara orang tua ketiga gadis itu, papi Inara yang paling sulit. Raka sampai perlu datang untuk minta izin. Maklum. Puteri semata wayang.

“Baik, aku izinkan.” Akhirnya papi Inara mengalah. “Tapi kamu tidak boleh jauh-jauh dari puteriku. Dan kamu Inara, jangan sekali-kali berpisah dengan Raka."

“Kok Papi begitu sih? Kalau aku lagi mandi, bagaimana?”

“Maka itu Papi akan kirim orang buat membangun fasilitas yang kamu butuhkan.”

“Bukan wisata alam itu namanya, Pi. Pindah rumah.”

“Lagi kamu bukan pergi saja sama pacar kamu ke Hawaii.”

“Sekali-sekali aku ingin cari suasana baru.”

“Pacaran model apa ini?”

“Ya pacaran model aku, Pi.”

“Butuh pengawal berapa orang?”

“Tidak usah."

“Tidak usah bagaimana? Liburan ke Hawaii yang aman saja pasti Papi kirim banyak pengawal. Ini lagi pergi ke pulau liar.”

“Pulau itu sudah mainstream, Pi.”

“Tapi tetap saja banyak binatang buas. Pokoknya Papi tidak mengizinkan kamu pergi kalau tidak bawa pengawal.”

“Sekarang begini saja, Pi. Papi keluarkan seluruh pengawal kebanggaan Papi untuk melawan Raka. Kalau menang, baru aku bawa pengawal.”

Raka hampir tersedak. Sebaliknya papi Inara tampak surprise.

“Papi kenal baik siapa bapaknya. Tapi apa benar anaknya sehebat itu?”

 “Ara memang lebay, Om,” sahut Raka tidak enak. “Kalau Om merasa perlu ada pengawal, ya tidak apa-apa.”

“Tidak, Pi. Aku tidak butuh pengawal. Cukup Raka saja.” Lalu Inara menoleh ke pemuda itu. “Nama besarmu di kampus dipertaruhkan, ingat itu.”

“Kalau begitu kenapa kamu tidak pacaran saja sama Raka?”

Inara gelagapan, tapi segera dapat menguasai diri. "Papi memangnya setuju?"

“Laki-laki itu harus dapat melindungi perempuan. Si Jimy itu apaan? Kamu kecopetan saja panggil pengawal.”

“Raka sudah punya pacar, Pi.” Inara memandang Raka sekilas. “Benar kan?”

“Cakepan mana sama kamu?”

“Cakepan anak Papilah.”

Banyakan kamu juga manjanya, gerutu Raka dalam hati. Jemu. Gadis ini benar-benar. Awalnya ngotot kepingin ikut ke Gunung Kilimanjaro. Dikiranya mendaki gunung itu mudah apa?

Inara dan Lola memang seteru abadi yang ingin saling mengalahkan di setiap kegiatan. Dan urusan panjat tebing Lola menang banyak. Inara tahu gunung saja dari internet, gaya-gayaan!

Hari mulai senja ketika mereka meninggalkan padang rumput dan memasuki kawasan pepohonan. Mata Raka yang jeli dapat menangkap keanehan di sekelompok daun pada dahan yang rimbun. Ada gerakan menutup pada daun itu seperti baru saja selesai mengintai. Tapi tidak kelihatan makhluk apapun di dahan itu. Kalau makhluk astral, buat apa mengintip dan membuntuti? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status