Share

03. Makhluk Misterius

Rumpun bunga matahari bergoyang tertiup angin. Kupu-kupu besar datang dan terbang berputar-putar mengibaskan sayap yang berwarna-warni, kemudian hinggap di kuntum bunga. 

Seekor kadal pemangsa tiba-tiba melompat ke luar dari dalam rumpun bunga mencaplok kupu-kupu itu, lalu menelannya sedikit demi sedikit. Inara dan kedua temannya sampai bergidik ngeri melihatnya. Mereka baru tiba dari lembah.

Rumpun bunga itu berada di pinggir dataran rumput hijau yang dikelilingi pohon rimbun dan rumpun semak. 

Raka mengamati situasi sejenak. Padang rumput itu cukup luas, aman dari genangan air bila hujan, dan jika ada ancaman binatang buas bisa diantisipasi lebih awal karena kedatangannya terlihat.

"Lokasi ini cukup strategis."

Raka berjalan ke tengah padang rumput dan menaruh barang bawaan di atas rumput diikuti teman-temannya.

Jonan dan Oldi segera menyiapkan peralatan untuk mendirikan tenda. Raka pergi mencari kayu ke tepi hutan untuk membuat beberapa pasak. Gadis-gadis metropolis itu berkumpul di bawah pohon berdaun rindang, bersebelahan dengan Raka yang mulai sibuk bekerja. Pemuda itu membuat pasak dari dahan kecil yang mati.

Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing, baik GSM maupun satelit. Aktifkan layar. Tidak ada sinyal. Mereka heran, padahal dataran ini cukup tinggi, dan mereka menggunakan kartu provider yang sudah memiliki jaringan di seluruh daerah. Pulau ini adalah wilayah terluar negeri ini, tapi masih dalam jangkauan satelit.

Inara tidak tahu persis kapan sinyal itu mulai hilang. Di kantor biro wisata alam sinyalnya kuat. Dia bisa berkomunikasi dengan sponsor yang meminta beberapa foto. Handphone-nya baru dibuka lagi setelah mereka terdampar di kaki bukit ini.

"Aneh," gumam Inara tak habis pikir. "Kok tidak ada sinyal? Padahal areal ini terjangkau oleh satelit."

Maysha tak kalah herannya. "Ada yang tidak beres. Bukit ini jangan-jangan magnet hill."

Inara pernah membaca sebuah literatur, di negeri ini magnet hill cuma ada satu dan letaknya bukan di pulau ini. Atau karena secara hukum belum terdaftar sebagai wilayah NKRI, bukit ini luput dari penelitian?

"Setahuku magnet hill tidak menyerap gelombang elektromagnetik," kata Inara.

"Jangan-jangan...." Kirei tidak meneruskan kata-katanya. Di wajahnya membersit perasaan takut.

Inara memandang jemu. "Ada penunggunya? Masa penunggu cemilannya sinyal?"

Kirei selalu menghubungkan fenomena alam dengan hal-hal yang berbau mistis. Padahal tidak setiap peristiwa yang terjadi di alam dapat diterima secara logika, maka itu ada istilah keajaiban dunia.

"Kalian pernah dengar cerita anak-anak Mapala?" Kirei memandang kedua temannya. "Pengalaman mereka selama bertualang?"

"Apa itu?" tanya Inara acuh tak acuh.

"Mereka sering mengalami kejadian aneh. Kejadian yang tidak masuk akal. Seperti apa yang dialami si Lola di Gunung Jayawijaya. Kalian tahu apa yang membuat si Lola terjebak di ngarai?"

"Keganjenan." Inara melirik Raka ingin tahu reaksinya. Pemuda itu sudah selesai membuat pasak, dan sepertinya tidak mendengarkan obrolan mereka. Dia pergi dengan tenangnya. "Cari perhatian sama gorila."

"Kamu kayaknya tidak kalah ganjen," sindir Maysha.

Inara tidak peduli. "Aku cuma tahu Raka dan Jo berani bertarung dengan alam untuk menyelamatkan si Lola, dalam kondisi cuaca yang sangat buruk dan medan yang sangat sulit, padahal tim SAR sudah angkat tangan. Kejadian anehnya tidak tahu."

"Ada penggenap ngajak jalan-jalan," sahut Kirei dengan bulu kuduk berdiri.

Penggenap adalah makhluk halus yang menyerupai seseorang dan biasanya mengganggu kelompok pencinta alam yang berjumlah ganjil. Cerita itu viral di tahun 90-an. Inara pernah baca di arsip Mapala. Takhayul. Tidak mungkin puluhan tahun menghilang tiba-tiba legenda itu muncul lagi. Selama rentang waktu tersebut, penggenap itu pensiun?

Inara tersenyum kecut. "Penggenapnya pasti mirip Raka."

"Penggenapnya mirip senior kita yang dinyatakan hilang tertimbun salju beberapa tahun yang lalu di Gunung Jayawijaya."

"Nah, betul kan?"

"Main betul saja," sambar Maysha. "Memangnya kamu pernah lihat?"

"Senior kita itu wajahnya persis Raka. Fotonya dipajang di sekretariat Mapala."

"Ya terus?" tatap Maysha acuh tak acuh. "Senior kita ngajak nge-date si Lola di ngarai?"

"Apa lagi? Si Lola tentunya enjoy saja diajak nge-date, sangkaannya itu Raka, padahal halu."

"Cupu banget si Lola. Masa diajak ke ngarai tidak curiga?"

"Lagi fall in love mana punya curiga sih?"

"Katanya tidak tahu," sindir Kirei. "Itu hapal betul."

"Pasti begitu ceritanya, apa lagi coba?"

"Kalau urusan si Lola, teman kita ini prediksinya tidak pernah meleset."

"Bullshit," bantah Maysha. "Mereka datang ke Jayawijaya bukan untuk maksiat, masa kena prank makhluk astral?"

"Belum tentu tidak maksiat," sahut Inara. "Mereka malah bebas untuk berbuat apa saja, tidak ada Satpol PP."

"Aku bilang nih sama Raka," ancam Maysha.

"Maksud aku bukan Raka. Mapala kan banyak."

"Gara-gara tidak percayaan kayak kamu si Lola kira makhluk astral itu benar-benar Raka."

"Terus apa hubungannya sama satelit?" tanya Inara. "Sama sinyal?"

"Sst...." Tiba-tiba Maysha memberi isyarat agar mereka diam, pandangannya terarah ke sebuah dahan di dalam hutan dengan mimik muka seperti melihat makhluk yang menakutkan. "Ada yang ngintip kita."

Spontan Kirei bergeser posisi berdirinya ke belakang Inara. Matanya memandang ke dahan itu dengan ketakutan.

Maysha tertawa. "Bercanda."

"Bikin kaget saja," omel Kirei. "Jangan main-main deh. Hutan ini angker."

"Tahu dari mana hutan ini angker?"

"Buktinya tidak ada sinyal, padahal di tempat lain ada."

"Kalau tidak ada sinyal, bukan berarti hutan ini angker. Bisa saja lagi ada gangguan satelit."

Kirei berpikir sejenak. "Benar juga. Aku nggak kepikiran sama sekali."

"Otakmu sudah dipenuhi cerita takhayul sehingga logika tidak jalan."

"Kamu sendiri baru kepikiran sekarang."

"Otakku jadi lemot gara-gara dengar cerita pepesan kosong."

"Gangguan satelit masa lama banget?" keluh Inara. "Mestinya aku bawa anak indigo. Jadi bisa tahu ada apa di hutan ini?"

Mereka tidak tahu kalau di dahan rimbun yang dimaksud Maysha benar-benar ada sosok misterius yang mengintai. Dua tangkai daun tampak bergerak merenggang seperti ada yang menyingkapkan. Sayup-sayup terdengar suara tarikan nafas ganjil dan menyeramkan. Tapi tidak terlihat sosok makhluk apapun.

Telinga Inara rupanya cukup tajam sehingga dapat menangkap suara itu. Dia memandang mereka dengan curiga. "Kalian tidak dengar sesuatu?"

"Sudah deh jangan lebay," sahut Kirei. "Kalau mau menakuti aku, pakai cara lain."

"Demi."

"Pokoknya aku tidak percaya."

"Ya sudah kalau tidak percaya."

Inara pergi meninggalkan mereka. Dia menghampiri Raka dan kawan-kawan yang masih sibuk bekerja. Tenda hampir selesai dibangun, tinggal finishing saja. Variasi bentuknya menarik, berjendela dan berpintu dengan model unik, dalam tenda beralas terpal, serta mempunyai teras.

Sosok misterius itu mengintip dengan berpindah tempat dari satu dahan ke dahan berikutnya mengitari padang rumput, menimbulkan gerakan unik pada daun yang dilewati, daun itu bergerak searah bergelombang.

Jonan sempat melihat kejadian itu. Dia berhenti mengikat tali pada pasak yang tertancap di tanah. Matanya mengamati dengan heran.

Raka datang menyentuh bahunya. "Dia mengintai kita sejak dari sungai, entah apa, aku cuma lihat tambang perahu putus, dus beterbangan, dan perahu hanyut dengan cepatnya ke hilir."

"Siapapun itu, berani bermain-main denganku berarti sudah cukup nyali dan akan menemukan hari sialnya."

Sikap Jonan yang suka menganggap remeh ini kadang menjerumuskannya ke dalam kesulitan. Beberapa peristiwa bahkan hampir membuatnya celaka.

Raka bangkit dari jongkoknya, berjalan ke depan tenda melewati Oldi yang sibuk menggali parit dengan pancong. Oldi tidak tahu kejadian itu. Hasil kerjanya sudah lebih dari separuh mengitari tenda.

Raka masuk ke dalam tenda dan membongkar dus berisi meja pasang ulang. Dia keluarkan unit meja satu per satu, lalu memasangnya dengan bantuan obeng. Meja itu berkaki rendah berbentuk lingkaran.

Ruangan tenda cukup besar. Atapnya tinggi sehingga tidak sumpek. Jadi leluasa untuk beraktivitas. Gadis-gadis metropolis itu masuk ke dalam tenda. Mereka duduk di karpet bulu.

"Kita semua tidur di mari?" tanya Inara dengan tatap mata sedikit resah.

"Keberatan?"

Tenda ini leluasa untuk tidur enam orang. Tidak berdesakan. Tapi tidur satu ruangan bersama laki-laki adalah sesuatu yang tak pernah terbayangkan. Di dalam tenda ternyata tidak ada partisi. Pemuda itu bebas menggerayangi di saat dirinya tertidur. Dia menyesal cuma membeli satu tenda.

"Tenda ini tidak ada sekatnya."

"Ada masalah?"

Inara memandang dengan sinar mata mencurigai. "Jadi kamu selama ini tidur satu tenda sama cewek Mapala?"

Tentu saja tidak. Pendaki pemula saja yang tidur di dalam tenda. Mapala senior memakai sleeping bag. Raka dan Jonan bahkan tidur tanpa pelindung, tergeletak begitu saja di alam terbuka.

"Aku naik turun gunung, di kita dan negeri orang, belum pernah ada perempuan menatap aku seperti itu," dengus Raka dingin. "Kamu pikir kamu itu siapa? Baru jadi puteri kampus sudah berani mencurigai aku. Boleh taruhan, kamu jauh lebih aman tidur satu tenda sama aku daripada tidur satu hotel sama si Jimy di Hawaii."

Inara merengut manja. "Baperan. Aku kan cuma tanya." 

"Ara cuma ingin memastikan kalau kita bertiga aman," bela Maysha. "Apa itu salah?"

Inara menghardik temannya dengan gaya seolah sangat percaya pada Raka, padahal maksudnya ingin menyindir. "Jelas aman dong, Mey. Maka itu dia cuma minta beli satu tenda. Aku ini siapa sih? Jadi puteri kampus cuma kebetulan, bisa juga jurinya kelilipan. Coba satu tenda sama si Lola, apa berani dia taruhan?"

Raka menaruh obeng di atas meja dengan agak kasar dan beranjak pergi. Di pintu tenda berpapasan dengan Jonan yang menjinjing dua buah dus. Pemuda itu memperhatikan wajah temannya sekilas. Kusut banget kayak cucian kotor.

Jonan menoleh ke mereka. "Kenapa tuh beruang salju?"

Mereka angkat bahu. Jonan berjalan ke pojok tenda dan menaruh dus.

"Kalian itu harusnya jaga baik-baik perasaan Raka," tegurnya. "Jadi wanita penghibur, bukan perusak suasana."

Maysha mendengus sinis. "Wanita penghibur.... Berani bayar berapa?"

"Kalau kamu gratis saja ogah."

"Sialan."

"Jo," panggil Inara. "Apa benar Raka tidak pernah berbuat apa-apa sama cewek Mapala?"

"Berbuat apa-apa bagaimana maksudnya?"

"Tidak paham apa pura-pura bego?" sergah Maysha.

"Tergantung siapa yang tanya."

"Kalau aku?"

"Bego gak bego tetap disikat."

"Sepatu kali disikat," celoteh Kirei.

"Liburan kemarin anak-anak Mapala berangkat ke Eropa," kata Inara. "Apa saja yang kalian lakukan di sana?"

"Ya begitu-begitu saja."

"Begitu-begitu saja itu apa?"

"Mendaki Mont Everest, pesta kecil-kecilan minum teh di kedai, terus pulang."

"Sudah begitu saja?"

"Ya apa lagi?"

"Raka juga?"

"Juga apa?"

"Jalan-jalan berdua sama si Lola misalnya?"

"Si Lola lagi, tidak ada gadis lain apa?"

"Cewek Mapala yang paling cantik kan si Lola, paling cantik di fakultasnya malah. Masa aku tanya jalan-jalan berdua sama gorila?"

"Jangan salah. Raka sering jalan-jalan berdua sama gorila. Satu yang Raka suka dari gorila, tidak pernah mencurigai."

"Aku tidak mencurigai."

"Berarti gorila," celetuk Kirei pelan.

"Raka pencinta alam sejati. Aku tidak tahu perempuan itu seperti apa di matanya. Gadis Mapala menjulukinya beruang salju."

"Kalau kamu beruang madu?" sambar Maysha. "Kerjanya menghisap madu perempuan."

"Aku pencinta keindahan, dan perempuan adalah yang terindah."

"Jadi cewek Mapala habisnya sama kamu?"

"Kanibal kali," kicau Kirei.

"Aku tidak suka pagar makan tanaman biar tanamannya suka dimakan."

"Lagi jajal-jajal," ancam Maysha.

Jonan tersenyum sinis. "Ancaman kamu sampah."

Jonan keluar. Oldi sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia membantu temannya mengangkut barang.

Sementara itu Raka mengumpulkan kayu kering di tepi hutan. Kayu itu diambil dari ranting pohon yang mati. Kemudian dia memotong kayu itu dengan sangkur menjadi potongan-potongan pendek.

Inara datang dan berdiri di dekatnya. Raka tidak peduli. Asyik bekerja. 

Gadis itu berkata pada diri sendiri, "Kasihan si Inara dicuekin."

"Kalau datang untuk minta maaf, sudah aku maafkan," kata Raka tanpa menoleh. "Sudah kusiapkan stok maaf yang banyak. Kesalahan hari ini adalah awal dari kesalahan esok hari."

"Aku janji tidak akan melakukan kesalahan lagi."

"Hutan akan membuatmu ingkar janji."

"Berarti aku perlu minta maaf setiap hari."

"Dan aku perlu memaafkan setiap hari. Maka itu aku pergi bersama kalian."

"Kamu menyesal pergi sama aku?"

"Saat ini ada di Kilimanjaro kalau menyesal."

Inara memandang Raka dengan selidik. Laki-laki lain pasti grogi diperhatikan begitu oleh gadis secantik Inara. Tapi Raka kelihatan tenang-tenang saja.

"Aku lihat seperti ada beban di pikiranmu," komentar Inara.

"Sejak kapan kamu jadi paranormal?" tanya Raka sambil memotong ranting kering yang terakhir. Kayu bakar sudah cukup untuk api unggun malam ini. "Kamu sudah terpengaruh hutan ini, banyak ilusi."

"Cuma satu yang bisa membuat kamu kuatir."

"Apa itu?"

"Si Lola."

Raka menyimpan sangkur pada sarung yang tergantung di pinggang. Pekerjaannya selesai.

"Aku tahu si Lola kecewa tidak jadi pergi ke Kilimanjaro," kata Inara. "Teman-teman tentu banyak yang bersedia menghibur kecewanya di Hawaii. Kamu kuatir cintanya bergeser."

"Kamu sepertinya sengaja sebut-sebut nama itu," sahut Raka acuh tak acuh. "Ada persaingan apa lagi? Bukankah si Jimy sudah jadi milik kamu?"

Memperebutkan cover boy kampus itu adalah perseteruan mereka yang paling sengit. Menjadikan Jimy sebagai pacar merupakan jaminan untuk mendongkrak popularitas. Dia lagi naik daun berkat kontrak sinetronnya. Dan itu terbukti dengan terpilihnya Inara dan Jimy sebagai pasangan terfavorit tahun ini.

"Atau kamu ingin terpilih jadi gadis terdahsyat tahun ini? Yang memiliki segala kemampuan? Terlambat. Lola sudah menguasai persyaratan terakhir, jadi climber meski pas-pasan."

Raka mengumpulkan potongan kayu kering dan membawa pergi. Tapi langkahnya mendadak berhenti. Matanya menangkap sebuah gerakan pada rumpun semak di belakang Inara. Kemudian semak itu diam kembali. 

Penasaran Raka mendatangi dan kelihatan seolah ingin menghampiri Inara. Dia melihat seperti ada kelebatan bergerak menjauh, menyisir semak sehingga menimbulkan gerakan searah bergelombang. 

Inara mengira Raka memperhatikan dirinya. "Ada yang salah dengan aku?"

"Tidak."

"Lalu?"

"Lalu apanya?"

"Ada apa sebenarnya?" pandang Inara curiga, sekilas menengok ke belakang, tidak ada apa-apa. "Kamu bukan lihat aku kan?"

"Aku lihat kamu, ternyata benar ada si Jimy di matamu," sahut Raka tenang. "Aku cuma ingin memastikan."

Inara gemas. "Aku lagi membayangkan si Lola berduaan sama cowok di Hawaii! Maka itu ada yang badmood! Masa yang kelihatan di mataku si Jimy?"

Pemuda yang berkelakuan aneh, pikir Inara dongkol. Atau memang begitu kebiasaan cover boy hutan? Matanya lebih tertarik melihat sebatang semak daripada sebatang tubuh bidadari!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status