Share

02. Perahu Hanyut

Seekor ular berbisa bergerak melingkar menaiki batang bakung emas yang tumbuh subur dengan sulur bunga panjang melengkung, lalu berdiri tegak dengan ekor melilit pada sulur bunga. Ular itu berada di jalan yang hendak mereka lewati.

Raka bergerak mendekat dari arah belakang. Kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara. Setelah cukup dekat, tangannya secepat kilat menangkap leher ular dan membuang jauh-jauh. Lalu balik lagi ke mereka yang menunggu di bawah lereng dan mengambil barang bawaan yang teronggok di tanah.

Di wajah ketiga gadis itu masih tersimpan perasaan ngeri. Mereka tidak tahu ular jenis apa, tapi pernah melihat keganasan binatang itu di internet.

Mereka memasuki hutan baru beberapa meter nyawa sudah terancam. Masuk lebih dalam lagi pasti banyak binatang berbahaya. Inara dan kedua temannya tidak melihat ular itu bertengger di bunga bakung emas karena terselubung kabut. Mereka benar-benar mengandalkan Raka dan Jonan.

Mereka tidak ada persiapan untuk mengatasi ancaman, hanya melatih kekuatan fisik, belajar masak, dan menonton dunia flora dan fauna supaya tidak kaget jika melihat di alam nyata. Tapi baru bertemu dengan satu binatang buas saja, nyali mereka sudah hilang separuh.

Lagi pula, basecamp suasananya tidak seram begini. Pemandangannya sangat indah, dekat pantai karang, tidak ada binatang buas. Destinasi terbaik hasil pilihan mereka di internet.

"Tidak dibunuh saja sekalian," kata Maysha. "Bagaimana kalau kembali?"

Gadis ini kadang berpikir ambil gampangnya saja, sesuai dengan gaya hidupnya yang tidak ingin ribet. Jika setiap hewan buas yang mengancam dibunuh, berapa banyak lagi yang mesti dilenyapkan?

"Jangan memancing perang dengan alam," kata Raka. "Kita tidak pernah tahu siapa yang jadi pecundang."

"Hutan ini masih perawan," timpal Oldi seolah ingin menakut-nakuti. "Jangankan ular, dedemit saja suka sama perawan. Berani bantai dedemit?"

"Jangan asal deh," tegur Kirei kecut. "Entar muncul lagi."

Kirei percaya hal-hal yang berbau mistis. Hutan perawan adalah hutan yang belum tersentuh manusia, banyak dihuni makhluk astral, itu yang membekas di otaknya.

Dia banyak menonton film dunia lain, tujuannya ingin mengurangi rasa takut supaya terbiasa melihat makhluk gaib. Nyatanya malah semakin menghantui pikiran.

"Kalau muncul, kenapa?" tatap Oldi separuh meledek. "Memangnya kamu masih perawan?"

"Dasar gajah bengkak."

Tidak hanya Oldi yang berpandangan kalau pacaran dengan orang bule menganut hidup bebas. Banyak perempuan memilih pasangan orang bule karena tidak peduli dengan keperawanan. Nick tidak termasuk golongan itu. Penganut Katolik yang fanatik.

Mereka melanjutkan perjalanan. Lereng pada bagian ini cukup landai, ditumbuhi pohon tinggi dan sedikit semak belukar. Permukaan tanah tertutup daun mati dan lembab. Tanaman bakung emas terdapat di mana-mana. Udara cukup menggigit karena hutan diselimuti kabut yang semakin menebal.

Ketiga gadis itu melangkah lambat-lambat seperti jijik menginjak dedaunan. Raka kadang berhenti menunggu agar tidak ketinggalan jauh sambil mengamati sekitar. Oldi dan Jonan yang berjalan di belakang mesti bersabar mengikuti mereka.

"Anggap saja lantai diskotik," kata Oldi. "Butuh musik apa? Nah, itu musiknya."

Waktu itu terdengar suara tonggeret, jangkrik, kukila, dan caplak bersahutan membentuk harmoni irama natural, terdengar syahdu. Tapi di telinga Kirei mirip irama kematian, menyeramkan.

"Aku ingin menikmati sentuhan daun busuk," sahut Kirei ketus. "Biar tidak ilfeel lihat pemandangan busuk di belakang."

Sebuah penghinaan berat sebenarnya. Wajah Oldi disamakan dengan barang busuk. Tapi pemuda itu sudah biasa mendapat bullying dari gadis cantik. Padahal wajahnya terbilang lumayan. Cuma perutnya terlalu maju.

Seingat Oldi, hanya Inara yang belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar. Gadis itu memiliki kepribadian mengagumkan. Tidak heran jika terpilih jadi puteri kampus. Banyak tawaran main sinetron dan model iklan. Inara memilih jadi model iklan karena jadwalnya tidak padat. Profesi itu cuma selingan. Dia adalah penerus dinasti perusahaan besar, jadi studi diutamakan.

Perjalanan Inara ini disponsori sebuah iklan. Ada beberapa merek tertentu yang dikenakan. Kadang minta difoto bersama Raka dengan berbagai gaya. Tampang pemuda itu bisa menaikkan nilai jual.

"Gantengan aku kali dibanding bangkai busuk," sahut Oldi tanpa merasa tersinggung. "Aku sebenarnya ingin operasi plastik biar setampan Song Joong Ki. Takut jadi play boy dan kamu pasti tersakiti."

Kebesaran hati Oldi ini kadang membuat Kirei menyesal dengan kata-katanya. Song Joong Ki adalah aktor Korea yang lagi naik daun. Gadis itu tergila-gila padanya.

Seekor cacing besar merayap keluar dari bawah daun basah. Kirei menjerit kaget seraya melompat mundur hampir menubruk Oldi. Maysha segera menjauh. Jijik.

Oldi ambil cacing itu dan dilemparkan ke semak-semak. "Sekali-sekali tanya ke mami kamu, sosis apa yang dibawa dari tanah leluhur."

Mami Kirei sering bolak-balik ke Tokyo untuk urusan bisnis. Cinta manis pada dosen pribumi membuat dia rela tinggal di tanah air dan melahirkan anak-anaknya. Sosis takoyaki adalah oleh-oleh favorit.

"Jelas bukan sosis cacing," bantah Kirei keki. "Enak saja."

"Memang lihat saat bikinnya?"

Mereka mulai mendaki lereng yang agak curam. Gadis-gadis itu tampak kepayahan. Nafas naik-turun. Wajah berkeringat. Sekali waktu mereka berhenti, mengatur nafas dan melap keringat dengan tissue.

"Biasa mangkal di lampu merah begini," sindir Oldi. "Banyak merapikan wajah."

"Bisa diam gak sih?" bentak Kirei geram. "Mulut apa comberan ngocor terus?"

"Comberan." Oldi cengengesan. "Tempat pembuangan cintamu."

"Berisik! Aku cape, tahu gak?"

"Aku gendong ya?"

Kirei kehabisan kata-kata untuk meladeni kekonyolan pemuda itu. Dia menyusul dua temannya yang sudah meneruskan perjalanan. Tapi beberapa menit kemudian mereka sudah beristirahat lagi.

Begini risikonya kalau pergi sama gadis manja, batin Jonan muak. Mesti banyak sabar. Anehnya mereka sanggup joget semalam suntuk. Tidak banyak istirahat. Padahal sama-sama menguras energi. Barangkali karena faktor hobi.

Untuk ukuran gadis metropolis, fisik mereka sebenarnya termasuk kuat. Mereka belum pernah berjalan kaki sejauh ini. Biasa naik-turun mobil. Keluar-masuk diskotik. Entah kerasukan apa, mereka tiba-tiba saja ingin pergi ke hutan.

Jonan tidak sudi menemani gadis-gadis cengeng ini kalau tidak memandang Raka. Mendingan ikut Ayumi ke Lombok, berselancar di Senggigi lebih banyak tantangan.

"Mereka sahabat kita," kata Raka. "Kita sudah pernah merasakan bagaimana kerasnya musik disko. Nah, sekarang mereka ingin merasakan bagaimana lembutnya musik alam."

"Pasti nanti menyusahkan kita."

"Kalau menyenangkan kita, aku tidak minta kamu. Muka kamu kan muka susah."

"Kita sudah ada agenda ke Kilimanjaro."

"Aku reschedule. Jadi minggu berikutnya."

"Gila."

"Nyaris."

Raka sudah mempertimbangkan masak-masak keputusan itu. Tentu saja anak Mapala protes. Tapi Inara adalah potensi besar yang tidak boleh disia-siakan. Jika gadis itu tertarik pada dunia petualangan, mereka tidak perlu susah-susah cari sponsor.

"Si Lola pasti ngamuk," ujar Jonan.

Gadis itu paling berani menentang. Raka melihat hal itu dipengaruhi perseteruan dengan Inara. Untung perjalanan ke Afrika ini bukan disponsori perusahaan papinya. Modal masing-masing. Kerja sama dengan sponsor lain tidak mencapai titik temu. Jadi Raka bebas mengambil keputusan.

Raka sebenarnya tidak ingin ada sponsor dalam setiap petualangan mereka. Agenda sponsor kadang bikin ribet. Tapi tidak semua anggota Mapala mampu mengumpulkan dana. Pada petualangan ke Kilimanjaro itu ada beberapa orang tidak berangkat, padahal anggota paling potensial. Kemudian datang Inara membantu mereka.

"Buat apa mengurusi si Lola?" sahut Raka tak ambil pusing. "Kamu bagaimana?"

"Malas ikut acara begituan. Tidak ada tantangan."

"Justru mereka itulah tantangannya."

"Sejak kapan perempuan jadi tantangan aku? Lagi mereka sudah punya pacar. Aku tidak suka jadi orang ketiga."

"Jadi ke mana-mana ya."

"Bukan itu maksudnya?"

"Kamu harus membuat mereka nyaman, terutama Inara."

Temannya itu sudah biasa menghadapi perempuan dengan bermacam karakter. Jadi tidak ada masalah seharusnya. Dia banyak akal untuk menarik simpati mereka.

"Di hutan tidak ada tempat yang nyaman buat mereka," elak Jonan.

"Maka itu kamu bikin nyaman."

"Bagaimana caranya?"

"Kamu ahlinya."

"Aku menyerah untuk urusan yang satu ini, kecuali di hutan ada tempat dugem."

Raka angkat bahu sedikit. "Ya sudah. Kamu urus anak-anak Mapala ke Afrika. Aku pergi bersama mereka."

Tentu saja itu tidak mungkin. Semua berada di bawah komando Raka. Mereka tidak berani pergi kalau sudah ada keputusan ditunda. Apalagi pada pendakian itu banyak melibatkan pemula. Risikonya besar. Raka sudah teruji dalam mengatasi berbagai masalah.

Lagi pula, Jonan tidak biasa pergi bertualang tanpa Raka, ibarat pizza tanpa keju. Sesekali tak ada salahnya ikut kegiatan Pramuka, berkemah di pulau tak bernama.

Jonan tidak tahu bagaimana membuat gadis-gadis metropolis itu merasa nyaman. Mereka sendiri tidak menikmati perjalanan ini. Seingatnya, kalau mereka sudah kumpul, yang timbul kekacauan.

Mereka sampai di tebing rendah. Raka menaruh barang bawaan di atas tebing lalu bergerak naik. Satu per satu dia bantu temannya naik. Dari atas tebing ini, mereka dapat melihat daerah rawa-rawa di kejauhan.

Pemandangan tersaput kabut tipis, menciptakan suasana mistis.

Oldi dan ketiga gadis itu melongo. Perahu mereka hanyut menuju sungai berair deras dan dus di atasnya lenyap!

"Aku bilang apa," seru Oldi. "Maling ada di mana-mana."

"Ya tapi siapa?" Inara tak habis pikir. "Di hutan ini tidak ada yang patut dicurigai."

Jangankan manusia, binatang mamalia saja tidak terlihat. Sangat mengherankan di hutan liar begini hanya dihuni binatang melata, seperti ada sesuatu yang membuat binatang besar menyingkir.

"Siapa tahu ada suku terasing," kilah Oldi.

Maysha menoleh sekejap. "Kamu lihat tidak? Jangan halu deh."

"Biasanya mereka bersembunyi, malu ketemu orang modern."

"Bukan malu, takut ketularan binatang modern. Kamu tidak sadar punya teman generasi terkontaminasi?" Sekilas Maysha melirik Jonan yang kelihatan tenang-tenang saja. 

"Jangan menghujat diri sendiri," balik Jonan. "Tidak dihujat juga orang sudah tahu siapa kamu."

Kirei mengamati sekitar dengan kecut. "Jangan-jangan hutan ini ada penunggunya. Kamu sih, Jo, suka sembarangan."

"Namanya hutan pasti ada penunggunya," sahut Jonan tenang. "Beruang, macan, serigala."

"Satu lagi," tambah Inara. "Kita. Satu-satunya harapan bisa ditemukan, bisa pulang, hilang sudah."

Tim pencari tentu kesulitan menolong mereka. Semua jejak hilang sehingga tidak dapat ditelusuri. Ada yang sengaja menciptakan situasi agar mereka tidak ditemukan. Entah siapa.

"Kalau nyatanya demikian, ya kita jalani saja," sahut Oldi santai. "Kebetulan kita pasang-pasangan. Kita babat hutan dan bangun kampung. Kita ramaikan dengan anak cucu sebanyak-banyaknya. Terus nama kita tercatat dalam sejarah sebagai pelopor pemerataan penduduk."

"Sempat-sempatnya halu," sergah Kirei. "Kita dalam bahaya besar, tahu gak? Perahu itu tidak mungkin hanyut sendiri. Dus-dus itu tidak mungkin jalan sendiri. Tahu siapa yang melakukan semua ini? Yang pertama-tama mencabut nyawa kamu!"

"Bullshit."

"Sudah kejadian tahu rasa."

"Ada binatang yang ingin bercanda sama kita," gumam Jonan. "Dia tidak tahu bermain dengan siapa."

Maysha menatap tak percaya. "Binatang apaan bisa menghanyutkan perahu sebesar itu? Doyan makanan sama minuman kaleng juga?"

"Kalau aku bilang ikan teri bisa menenggelamkan kapal laut, percaya tidak?"

"Percaya, percaya," sambar Oldi. "Kamu bisa menenggelamkan Mey dalam pelukanmu juga, aku percaya."

"Tapi makanan kaleng?" Kirei menatap sangsi. "Binatang masa doyan black beans?"

"Ada larangan apa binatang satu selera sama kamu?"

"Perlu alat untuk buka tutup kaleng," sanggah Maysha. "Aku saja susah bukanya."

"Biasa buka yang lain sih," sindir Jonan pedas. Begini kalau kebanyakan nongkrong di kafe. Hal sepele saja aneh. "Binatang lebih cerdas dari kamu."

"Pohon saja bisa tumbang tanpa gergaji," timpal Oldi. "Maka itu kita terdampar."

"Nah, pintar kamu."

"Terdampar kok pintar?" ejek Kirei.

"Tapi kamu bisa tumbang gak ya tanpa cinta?" goda Oldi.

"Tunggu khilaf deh."

Gajah bengkak ini benar-benar, gerutu Kirei dongkol. Situasi lagi genting begini bisa-bisanya bergurau.

Dia yakin ada sesuatu yang mengerikan di hutan ini, bahkan mengancam keselamatan mereka. Belum apa-apa perbekalan sudah berkurang. Lama-lama mereka bisa mati kelaparan.

Kirei tidak percaya ada binatang sekuat itu. Perlu beberapa orang untuk mendorong perahu ke tengah sungai agar bisa hanyut. Bahkan pohon itu butuh buldozer untuk merobohkan. Tapi kalau bukan binatang, lalu apa? Teringat cerita di film thriller, Kirei jadi takut.

"Sekarang yang jadi persoalan bukan di mana kita bermalam," kata Inara. "Tapi bagaimana kita bisa keluar dari hutan ini."

"Betul," sahut Maysha. "Cari lokasi buat mendirikan tenda cuma buang-buang waktu."

"Keluar dari sini tidak segampang kamu keluar dari pelukan laki-laki," dengus Jonan sinis.

Maysha memandang muak. "Situ-situ sih? Suka ngintip apa?"

"Buka mata lebar-lebar," sahut Jonan tak kalah muaknya. "Lihat sekeliling. Sanggup kamu keluar masuk hutan? Semua perlu dipikirkan matang-matang. Kalau aku sama Raka, gampang saja."

"Segampang membuang pacarmu?" balik Maysha melecehkan.

Inara memperhatikan Raka dan bertanya, "Kamu lihat apaan sih?"

Ada cowok kayak begini, pikir Inara sewot. Orang-orang ribut, ini malah anteng-anteng saja mengamati sekitar. Apa batang pohon itu lebih menarik dari bidadari di dekatnya?

"Kamu lagi cari si Lola di balik pohon?"

"Cari kembarannya kali," sambar Maysha. "Yang suka lompat-lompat."

"Pelecehan," tukas Oldi. "Bidadari kampus disamakan dengan kodok."

"Yang merasa langsung saja ngegas," sindir Kirei.

"Mending irit-irit energi kalian," kata Raka dingin. "Banyak omong banyak keluar energi. Orang posko kayaknya tidak cepat-cepat sampai, bahkan mungkin tidak menemukan kita."

Lenyapnya perahu mengaburkan pencarian. Tim penolong tentu tidak mengira mereka terdampar di hutan ini. Disangkanya mereka putar haluan karena ada pohon tumbang.

"Jadi nakut-nakutin sih?" desis Kirei ciut. "Memangnya kamu mau tinggal di sini selamanya?"

Raka mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Aku hanya menceritakan gambaran yang ada. Kita cari tempat bermalam yang aman."

Jonan dan Oldi mengangkat barang bawaan melanjutkan perjalanan. Gadis-gadis itu terpaksa melangkahkan kakinya meskipun tidak setuju.

Raka melihat rumpun bakung di lembah meliuk searah seperti ada angin kencang menerobos. Kemudian bunga itu diam secara mendadak. Jadi bukan angin puting beliung karena angin tidak mungkin berhenti mendadak. Alis Raka meninggi sebelah.

Inara berhenti melangkah dan menoleh dengan heran. "Ada apa? Kamu lihat apa?"

"Hanya memastikan, kalau-kalau si Jimy datang menjemput."

Inara keki. "Kirain si Lola kecemplung sungai!"

"Dia jago renang."

"Alah, lihat air aquarium saja takut!"

"Sembarangan."

Tentu saja Lola tidak ada bagusnya di mata Inara, seperti halnya Inara selalu jelek di mata Lola. Mereka adalah dua bidadari kampus dengan kehidupan luar biasa yang tak pernah saling mengagumi!

Dalam setiap kesempatan mereka selalu bersaing dan saling mengalahkan. Bertualang ke pulau tak bernama ini pun tak luput dari persaingan. Lola sudah lebih dulu masuk Mapala.

"Aku sering berharap kalian bisa berdamai," kata Raka sebelum berangkat. "Alangkah meriah semua kegiatan yang ada."

"Aku sih oke-oke saja. Nah, angsa betinanya mau tidak?"

"Katanya kamu yang sulit berdamai?"

"Kata siapa? Fitnah itu."

"Lola ingin pergi bersama kita."

"Tidak masalah."

"Ngomongnya kayak tidak ikhlas."

"Ngomong yang ikhlas itu yang kayak bagaimana sih? Teriak-teriak pakai mikrofon? Kamu ingin aku seperti itu?"

"Tidak apa-apa kalau Lola ikut?"

"Kok tanya aku? Tanya sama diri sendiri. Dia kan pacar kamu."

"Jadi aku juga harus tanya Jimy kalau begitu."

"Cowok itu mana sudi pergi ke hutan."

"Lalu kamu kenapa tiba-tiba ingin pergi ke hutan? Kangen sama Tarzan?"

"Aku ingin cari suasana baru."

Raka diam.

"Kamu kayak tidak percaya? Alam adalah hal baru bagiku. Angsa betina tiba-tiba blusukan ke hutan kamu tidak banyak tanya. Kok aku jadi masalah?"

"Yang mempermasalahkan itu siapa?"

"Diamnya itu tidak enak dilihat. Apa kamu juga menginterogasi angsa betina saat pertama kali masuk hutan?"

Raka jadi serba salah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status