Share

BERUANG GUNUNG ALTAY
BERUANG GUNUNG ALTAY
Author: Namira

01. Terdampar

Seekor burung pemakan daging melayang-layang di udara yang tidak begitu cerah, sesekali terdengar suaranya yang menyeramkan. 

Tiba-tiba burung itu menukik dengan sayap menguncup ke permukaan sungai, cakar-cakar berkuku tajam mencebur ke air menimbulkan percikan hebat di sekitar, lalu terbang lagi membawa tangkapan ikan.

Sungai itu tidak begitu lebar, berair tenang, dan berkelok-kelok membelah hutan belantara. Kanan kiri ditumbuhi pohon-pohon besar dan tua dengan sebagian akar terendam air, berongga-rongga membentuk pemandangan yang menyeramkan. 

Dahan malang-melintang menutupi angkasa sungai. Tanaman perdu yang hampir mati tumbuh rebah menambah sempit permukaan air. Sepanjang tepian sungai bertanah landai lalu menanjak membentuk lereng hutan. Kabut tipis menyelubungi hutan itu menciptakan aroma mistis.

Sebuah perahu bermotor melaju pelan-pelan menuju ke hilir. Perahu model houseboat tanpa dinding, berlantai datar, atap melengkung dengan empat tiang penyangga, tidak berkursi, berwarna agak usang.

Raka mengemudikan perahu dengan santai. Di dekatnya, Inara sibuk memfoto obyek pemandangan dengan kamera digital.

Oldi duduk bersila di belakang sambil makan coklat. Tangannya kadang menggelitiki kaki Kirei yang berdiri di sampingnya, mengganggu gadis itu mengambil gambar pemandangan dengan kamera gadget. Kirei balas dengan memukul kepala Oldi menggunakan gulungan peta yang dipegangnya.

Di seberang mereka, Jonan berdiri bersandar ke tiang perahu. Maysha sibuk foto-foto tak jauh di sebelahnya, banyaknya selfie.

Penampilan mereka tidak berlebihan, tapi cukup menggambarkan kalau mereka berasal dari kalangan menengah ke atas. Semua barang yang dikenakan bermerek dan produk impor.

Laki-laki memakai sepatu tactical, perempuan memakai sepatu hiking. Tas laki-laki model carrier, tas perempuan model daypack.

Semua tas ditaruh di lantai bersama barang muatan, seperti dus makanan dan minuman, kantong belanjaan, boks alat masak, tiga gulung karpet bulu, satu tas lonjong berisi tenda, dan perlengkapan lainnya.

Perbekalan itu terlihat berlebihan untuk kebutuhan berkemah selama satu minggu, seperti takut kelaparan.

Raka dan Jonan membawa veldples mungil dan sangkur di pinggang.

Oldi dan ketiga gadis metropolis itu kelihatan senang berperahu. Mereka mengabadikan setiap momen menarik yang terdapat di sepanjang aliran sungai. Oldi cukup dengan memanjakan mata. Wisata alam ini adalah pengalaman pertama buat mereka.

Raka dan Jonan tampak jemu, seakan pemandangan yang tersuguh tidak menarik perhatian mereka.

Suara binatang kecil sekali-sekali terdengar dari dalam hutan. Suaranya kadang menyayat, menambah kental suasana mistis. Kirei, anak yang paling penakut di antara mereka, kadang merinding bulu kuduknya.

Seekor siamang duduk santai sambil makan buah-buahan di sebuah dahan.

"Itu tidak difoto, Rei?" canda Oldi. "Lumayan buat oleh-oleh orang rumah."

"Lihat kamu saja cukup," balik Kirei.

Berkumandang suara binatang dari dalam hutan, bunyinya melengking dan menyeramkan. Nyali Kirei lumer separuh.

"Apaan itu?" tanya Maysha ke Jonan. Gadis ini cukup berani. 

"Jeritan korban PHP kamu," sahut Jonan asal.

Kemudian terdengar bunyi cukup keras dan lumayan panjang seperti suara terompet rusak. 

Kirei tersentak kaget. "Binatang apaan lagi?"

"Jeritan pantat aku," jawab Oldi santai.

Serentak Kirei menutup hidung. "Jorok."

"Telat!"

Perahu memasuki daerah sungai dengan padang rumput hijau kanan kiri. Beberapa ekor rusa berkeliaran makan rumput. Gadis-gadis metropolis itu memfotonya. 

Kirei zoom seekor rusa lalu sentuh ikon foto di layar ponsel tepat pada saat Oldi menciprati kakinya dengan air sungai. Gadis itu berjingkrak dan menggebuk Oldi dengan gulungan peta.

"Memangnya aku kompor meleduk apa diciprati air?"

Kirei lihat hasil fotonya di layar ponsel, terpampang close up bokong rusa. Matanya melotot. Oldi tersenyum lebar. Kirei bandingkan bokong rusa dengan senyum pemuda itu.

"Persis."

Padang rumput berakhir di bagian sungai yang sangat lebar menyerupai rawa-rawa. Raka menghentikan perahu. Matanya mengamati sekitar. Teratai, kiambang, dan tanaman air lainnya tumbuh rapat alami menutupi permukaan rawa, seolah tidak pernah dilewati.

Inara memandang heran. "Jadi curiga. Jangan-jangan salah rute."

Pengetahuan gadis itu tentang alam cukup lumayan sekalipun cuma tahu dari internet. Penampilannya paling feminim di antara dua temannya. Mengenakan busana simple dan prilly sehingga memancarkan pesona yang sangat anggun dengan rambut panjangnya.

"Banyakan curiga," sindir Oldi. "Pacar ke toilet saja curiga ketemuan sama selingkuhan."

Inara tidak menanggapi. Pemuda itu tidak pandang tempat dan situasi, bercanda adalah kebutuhannya.

"Depan kita pas berangkat ada perahu bangca, mana tidak ada bekas-bekasnya?" Lalu Inara menoleh ke jalur sungai yang sudah dilewati. "Belakang juga perahu coble tidak kelihatan."

"Itu bagaimana ceritanya sampai salah rute?"

"Jadi menyalahkan begitu sih?" dengus Kirei ketus. "Kenapa bukan kamu saja tadi yang ikut briefing?"

"Aku sama Raka sibuk mengurus barang-barang. Jo cari perahu bateau sesuai keinginan Inara, dapatnya perahu butut kayak begini. Nah, kamu bertiga lama di posko, briefing apa cukur jenggot orang posko?"

"Sunat gajah bengkak." Kirei menjulurkan lidah mengejek.

Maysha melirik Jonan. "Buaya bisa juga kesasar di habitatnya."

"Kesasar ...," decak Jonan acuh tak acuh. "Aku baru dengar kata itu."

Jonan tidak peduli dengan apa yang terjadi. Berkemah di hutan ini atau di basecamp sama saja. Tidak menarik. Maka itu dia suruh mereka ikut briefing dan hasilnya apa tidak ingin tahu.

Jonan sebenarnya ingin pergi bertualang ke Tanzania, mendaki Gunung Kilimanjaro. Dia terpaksa menemani mereka karena permintaan Raka.

"Kok bisa ya?" cetus Inara. "Kamu baca petanya benar kan, Rei?"

"Pasti benarlah! Memangnya aku buta huruf?"

Oldi meledek. "Katanya cari suasana baru, ya begini pengalaman pertamanya."

"Coba sini petanya." Raka yang sejak tadi diam saja angkat bicara.

Kirei menyerahkan peta yang dipegangnya. Raka buka gulungan itu. Sebuah peta berwarna. Pada bagian atas tertera judul: Rute Wisata Alam Pulau Tak Bernama.

"Kamu bacanya bagaimana?" Raka menoleh sekilas. "Ini jalur merah, depan ada jeram deras, bahaya. Belakang tadi mestinya belok."

"Baca peta saja gak becus," semprot Oldi. "Bagaimana baca perasaan aku?"

"Perasaan kamu tidak usah dibaca. Sudah ketahuan ... menjijikkan."

Raka menggulung peta, menyerahkan kembali ke Kirei.

"Jadi pengen tahu yang namanya jeram itu kayak apa sih?" kicau Maysha.

"Jeram itu aliran air yang sangat deras, mau tahu derasnya kayak apa?" pandang Jonan. "Derasnya kayak sumpah serapah korban petualangan cinta kamu, bisa mati kelelep sekedipan."

Maysha tersenyum sinis. "Kirain derasnya kayak makian cewek yang kena ghosting kamu."

"Bagaimana kita sekarang?" Inara memandang Raka ingin tahu pendapatnya.

"Lanjut," sambar Kirei. "Kalau tenggelam, kan ada Raka sama Jo."

Oldi mendelik. "Memangnya kamu saja yang perlu ditolong? Aku dianggap buntalan kasur apa?"

"Itu merasa."

"Sesuai tujuan semula kita mau berkemah," kata Raka. "Bukan wisata arung jeram. Kita balik lagi."

Oldi memarahi Kirei. "Kebanyakan memikirkan si bule gembel. Semua jadi kacau."

Oldi tahu beberapa bulan ini Nick susah dihubungi. Dia pulang ke negerinya, habis kontrak di klub sepak bola tanah air, entah kembali lagi entah tidak. Kirei gelisah menunggu kabar.

"Jangan marah-marah deh," sergah Maysha. "Wajahmu makin sepet dilihatnya."

Dua ekor buaya yang meringkuk di antara rumpun semak mulai bergerak meninggalkan daratan, berenang di rawa-rawa mendekati perahu. Ketiga gadis metropolis itu menjerit kaget.

Raka memutar haluan perahu dan melaju meninggalkan rawa-rawa menuju ke arah semula. Buaya mengejar. Gadis-gadis itu menjerit ketakutan. 

Maysha yang berada di belakang berteriak dengan paniknya, "Cepat, Raka! Cepat! Cepat!"

Raka menambah kecepatan. Perahu melaju kencang. Tapi buaya-buaya itu cepat sekali mengejar. Jarak mereka semakin dekat. Oldi bangkit dari duduknya dan menjauh dari sisi perahu, merasa ngeri juga. 

Maysha bertambah panik. "Raka! Cepat! Cepat! Cepat!"

Sementara Jonan tenang-tenang saja bersandar ke tiang perahu.

"Kamu sepertinya menikmati sekali jeritan perempuan," gerutu Raka.

Baru Jonan bergerak mengambil sepotong daging segar dari kantong belanjaan dan dilemparkan ke depan buaya. Potongan daging yang jatuh ke dalam air berhasil mengalihkan perhatian, buaya berebut untuk mendapatkannya.

Ketiga gadis itu bernafas lega. Perahu meluncur kencang melewati kawasan padang rumput.

"Buaya darat ternyata lebih cerdik dari buaya rawa," kata Maysha separuh mengejek. "Kayaknya yang kena ghosting itu buaya betina."

Perahu tiba di daerah sungai yang ditumbuhi pohon-pohon besar menggidikkan.

Raka melambatkan laju perahu secara tiba-tiba. Perahu berhenti. Ada pohon besar tumbang menutupi jalur sungai sehingga perahu tidak bisa lewat.

"Bagaimana pohon itu bisa roboh mendadak?" cetus Maysha heran. "Padahal pohon itu tidak tua-tua banget."

"Pohon roboh mendadak heran," sindir Jonan sinis. "Giliran cowok roboh mendadak kamu sergap."

"Tidak masuk akal," desis Kirei tak percaya.

"Akalnya pas-pasan sih," sambar Oldi mengejek.

Raka menenangkan mereka. "Di hutan pohon roboh biasa. Jadi tidak ada yang tidak masuk akal."

"Cinta roboh juga biasa." Oldi mengerling ke Kirei. "Betul tidak?"

"Biar pakai gergaji mesin, cintaku tidak bakalan roboh."

"Pakai buldozer berarti."

Maysha belum dapat menerima kejadian itu dengan logikanya. "Tidak mungkin roboh sendiri. Pasti ada yang mempercepat robohnya. Masa gajah iseng?"

"Jangan berburuk sangka pada binatang," dengus Jonan. "Kamu tidak lebih mulia."

"Kayak yang ngomong manusia saja."

"Bukan binatang kayaknya," tukas Kirei.

"Terus apaan?" potong Maysha. "Dinamit?"

"Dedemit," ralat Inara. "Takhayul itu."

Raka menghubungi posko lewat radio komunikasi perahu, "Contact posko."

Tidak ada jawaban. Raka besarkan volume radio, terdengar bunyi "zzzz'" berisik sekali.

Raka ganti menghubungi basecamp, "Basecamp contact."

Tidak ada jawaban juga, terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali.

Raka hubungi mereka sekali lagi. "Break, break. Ada yang monitor, ganti?"

Sekali lagi terdengar bunyi "zzzz" berisik sekali. Raka kecilkan volume radio mengurangi kebisingan, lalu mengeluarkan ponsel satelit dari kantong celana.

"Tidak ada sinyal," kata Inara. "GSM juga."

Sekilas Raka melihat layar ponsel dan menyimpannya kembali.

"Ada rencana lain?" tanya Inara penasaran. "Tidak mungkin kita gotong ramai-ramai pohon itu."

"Kita sudah telat check in. Orang basecamp pasti lagi mencari. Telat-telatnya besok pagi datang."

"Berarti tidur di mari?" gumam Kirei ciut.

"Sana hutan sini hutan," sahut Oldi. "Apa bedanya?"

"Di basecamp banyak orang."

"Banyak orang apa cari orang bule? Tidak cukup satu?"

Raka menggerakkan perahu ke pinggir sungai yang landai dan berhenti di air dangkal dekat pohon tumbang, putar kunci matikan mesin.

"Aku cari tempat bermalam." Jonan siap-siap turun.

Maysha buru-buru mencegah. "Tidak, tidak. Kamu tidak boleh pergi. Kalau ada apa-apa, bagaimana?"

"Punya hati juga."

"Jangan GR. Aku cuma tidak ingin cewek sastra Jepang itu baper lihat kamu kenapa-napa, baru jadian kan?"

"Buat apa susah-susah cari tempat bermalam?" cetus Kirei. "Di mari saja, tinggal geser barang-barang. Kalau orang basecamp datang, langsung pergi."

"Kalau yang datang buaya rawa, bagaimana?" sambar Oldi. "Yang selamat cuma handphone kamu, buaya tidak doyan karena ada foto si bule gembel."

"Sungai ini mengalir dari Samudera Hindia dan menuju ke Samudera Hindia," kata Raka. "Aku tidak tahu bahaya apa yang ada dalam air kalau kita bermalam di sini."

"Tahu begini...." Inara tidak jadi meneruskan kata-katanya karena mata Raka sudah bergeser ke arahnya.

Raka memandang bolak-balik. "Menyesal? Kamu yang ingin berlibur di pulau ini. Aku sudah katakan segala sesuatu bisa terjadi. Rencana tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beda dengan kamu pergi ke Paris sama mami-papi kamu, atau liburan ke Hawaii sama teman-teman, sama si Jimy pacar kamu."

Inara hendak membantah, tapi Raka sudah melanjutkan kata-katanya:

"Pulau ini adalah satu dari sekian ribu pulau yang belum mempunyai nama dan belum terdaftar di PBB sebagai wilayah Indonesia. Tahu apa artinya itu? Rencana tinggal rencana, penyesalan tinggal penyesalan."

"Yang menyesal itu siapa?" balik Inara enteng. "Aku cuma mau bilang tahu begini pakai guide, kok jadi ke mana-mana?"

"Bisa apa guide?" dengus Jonan dengan gaya yang meremehkan. "Paling-paling cuma bisa berdoa agar diberi kesabaran."

"Setidaknya mereka tahu yang mesti dilakukan."

"Aku bisa panggil guide," ujar Raka dingin. "Sekalian pulang."

Maysha menatap tidak senang. "Kok begitu sih? Tidak menghargai bangat. Aku, Ara, Rei, dapat izin mami-papi itu tidak gampang, tahu gak?"

"Teman kamu butuh guide."

"Ilfeel? Sensi banget kamu ya?"

"Ada guide terus aku buat apa? Cuma buat menemani kalian aku tidak punya waktu."

"Begitu saja jadi persoalan," semprot Kirei. "Tidak baik gampang ilfeel, cepat tua."

"Lagi tidak boleh ya sudah," timpal Inara. "Sampai segitunya."

"Kayaknya gara-gara si Lola tidak jadi pergi deh," gerutu Maysha. "Kamu jadi bantalan."

Inara memandang Maysha pura-pura tidak mengerti, padahal maksudnya ingin menyindir Raka. "Masa sih? Kan sudah aku tawari boleh bawa siapa saja, mami-papinya si Lola bila perlu. Salahnya aku di mana?"

"Jadi ribet begini ya?" Oldi usap-usap kepala. "Buat apa ribut-ribut soal si Lola, si Jimy, si sastra Jepang? Orangnya saja di mana tahu."

Mereka diam. Raka ambil dua tas karpet. Satu tas lagi berikut tas tenda diambil Jonan. Mereka ikat di atas dan bawah carrier. Oldi kebagian lampu badai, boks alat masak, dan kompor parafin.

Kemudian Jonan menggantungkan beberapa kantong belanjaan besar dan dua makanan kaleng pada batang frame, dibantu Oldi. Mereka gotong menuruni sungai menuju ke daratan sambil masing-masing menenteng sebuah dus minuman kaleng. Sementara Raka menjinjing dus meja pasang ulang dan dus minuman botol.

Di perahu tersisa empat buah dus; dua dus makanan dan dua dus minuman. Kantong belanjaan yang ringan-ringan dibawa oleh ketiga gadis itu. Mereka masih berdiri di sisi perahu, tidak berani turun ke sungai.

Raka datang menghampiri Inara. "Maaf."

Pemuda itu meraih tubuhnya dan membopong ke daratan. Jonan memanggul tubuh Maysha tanpa basa-basi. Gadis itu menjerit-jerit sambil memukul punggungnya.

Oldi lebih romantis. Tangannya membentang lebar depan Kirei sambil berharap dengan mata terpejam. Gadis itu pergi ke sisi lain, melepas sepatu dan kaos kaki, lalu melilitkan celana. Kakinya turun dengan hati-hati dari perahu, berjalan di air. Saat pemuda itu membuka mata, dia sudah hampir sampai di daratan.

"Nasib nasib." Oldi mengambil tambang perahu, diikatnya pada dahan pohon tumbang. Selesai itu menoleh ke mereka. "Dus-dus ini sudah begini saja? Tidak ditutupi atau bagaimana begitu biar tidak ada yang mencuri?"

"Di hutan belantara begini mana ada maling?" sergah Maysha. "Minumnya kemarin maboknya sekarang."

Oldi berjalan menuju daratan sambil bicara, "Maling di mana-mana ada. Binatang bisa saja jadi maling. Memangnya dia tahu amal soleh apa?"

"Mau ada juga kanibal," tukas Kirei. "Siap-siap saja kamu jadi santapan pertama."

Oldi naik ke daratan. Kemudian mereka berjalan beriringan mendaki lereng landai.

Di seberang sungai, tampak butiran tanah di sela-sela akar pohon tumbang berjatuhan ke permukaan air menimbulkan riak-riak kecil, seperti ada yang membuangnya. Tapi di sekitar akar tidak terlihat makhluk apapun.

Raka sempat melihat kejadian aneh itu, tapi cuma angkat bahu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nina Milanova
Seru banget!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status