Share

Bab 6

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 6

🍀🍀🍀

"Ya serius dong Yun, kamu nih."

Kutegakan kedua bahunya, "Abang coba Abang tatap Yuni," titahku serius. Aku ingin lihat dia itu sedang bercanda apa enggak sih sebenarnya.

"Apa?"

"Abang bercanda ya? Ini sama sekali gak lucu Abang, malah Yuni tuh kesel kalau Abang bercanda kek begini."

Suami mengembuskan napas lelah.

"Kamu nih kok gak percayaan banget sama Abang Yun? Abang harus bilang apa biar kamu ini percaya? Abang gak bohong ini."

Waduh, kalau dilihat dari ucapan dan raut wajahnya suamiku emang lagi gak bohong sih, dia ngomongnya serius banget, tapi masa iya dia punya rumah kontrakan?

Jujur aku gak kenal banyak soal suamiku ini. Kenal sebulan pedekate, udah gitu langsung nikah.

Tapi yang kutahu sih dia orang baik karena dia pernah nolongin aku dari para pemuda iseng saat aku pulang kerja.

Katanya Bang Wija itu dari Kuningan Jawa Barat, kedua orang tuanya sudah meninggal, hidup di kota sebatang kara karena merantau sejak dulu, aku kenal dia saat aku masih kerja di pabrik Garmen beberapa bulan lalu.

Setiap aku mau masuk dan pulang kerja dia selalu nongkrong di warung depan pabrik makanya aku bilang suamiku itu pengangguran alias belom punya kerjaan tetap, karena emang  kerjaannya cuma nongkrong doang di warung kopi.

"Jadi Abang serius? Kok Yuni baru tahu sih."

"Ya kamu gak pernah nanya Yun, kamu kenalin Abang ke orang tuamu katanya Abang yatim piyatu, gak punya kerjaan apalagi harta, ya udah, Abang sih terserah kamu aja."

Mulutku refleks terbuka.

"Hah kok terserah sih, ya mestinya Abang bilang dong kalau Abang punya duit banyak meski itu cuma duit warisan, punya kontrakan juga, biar Yuni gak bilang ke keluarga Yuni kalau Abang itu orang kaya."

Suami menggeleng sambil mengibas tangan, "gak kaya raya juga lah Yun, cuma cukuplah kalau buat kita membangun rumah tangga," katanya sambil cengengesan.

Aku menjebik dan menggerutku kesal.

"Eh Bang, katanya mau bawa Yuni lihat kontrakan, ayo sekarang aja yok, Yuni penasaran banget, pengen lihat wujudnya gimana," pintaku tak sabar.

Akhirnya suami pun membawaku ke tempat yang dimaksud. Cukup satu jam saja naik motor bebek suami, kami pun sampai depan bangunan kontrakan dua lantai.

"Ini semua kontrakan punya Abang?" tanyaku cepat bahkan sebelum aku turun dari motor.

"Iya."

Mataku spontan melotot. Kutengok lagi kontrakan yang berjejer sekitar 20 pintu itu. Rasanya aku bener-bener belum percaya walau suamiku mengatakannya sampai mulut berbusa.

Pasalnya kok bisa? Apa jangan-jangan kontrakan ini warisan orang tuanya juga?

"Ayo masuk Yun," ajaknya.

"Abang tunggu, Yuni mau nanya dulu, ini kontrakan warisan juga apa?"  

"Bukan, ini hasil Abang kerja keras," jawabnya ringan.

"Abang serius?" tanyaku lagi dengan tatapan mengintimidasi.

"Ya seriuslah Yun, ayo masuk, ada 3 pintu yang kosong, kamu pilih aja yang mana yang akan yang bakal kita tempati nanti."

Tanpa bicara lagi, suami mengajakku naik ke lantai dua. Kemudian membuka pintu kontrakan yang kosong itu satu persatu.

"Jadi kamu lebih cocok yang mana Yun?" tanyanya kemudian setelah ketiga kontrakan itu kami lihat.

"Hah? Itu anu-Bang, sebetulnya Yuni-masih belum percaya ini Abang lagi ngeprank apa enggak sih?"

"Haih ngeprank gimana sih Yun?"

"Ya soalnya Yuni masih belum percaya aja, suami Yuni yang Yuni pikir kere, pengangguran dan pemalas ternyata sekaya ini?"

Bang Wija terbahak.

"Hahaha Abang 'kan udah bilang Abang bukan orang kaya Yun, wong cuma segini-gininya kok."

"Ah Abang mah suka gitu, ya tetep aja Abang lebih kaya dibandingkan sama kami. Kami gak ada tuh punya kontrakan, sedangkan Abang? Kontrakan sampe berjejer 20 pintu, mana Yuni gak dikasih tahu pula," dengusku di akhir kalimat.

Suami menempelkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Husstt jangan kasih tahu siapa-siapa soal ini ya Yun, cukup kita berdua aja yang tahu."

Keningku mengerut.

"Aih kenapa? Bukannya seru tuh kita pamer ke ibu dan sodara-sodara tiri  Yuni? Mereka itu 'kan sombong banget, sok paling berada, dan suka hina-hina Abang pemalas pula, sekali-sekali kita tunjukanlah kekayaan kita Bang, biar mereka bungkam," ujarku panjang lebar.

Suami mengibaskan tangan, "haih jangan atuh Yun, pamer itu gak baik, sombong itu namanya."

"Ih Abang emang gak tahu? Sombong sama orang sombong itu katanya sedekah loh."

"Tapi kalau kita masih bisa diam kenapa kita harus sombong? Bukannya diam juga emas ya? Biarlah mereka seperti itu kita jangan ikut-ikutan akhlak buruk mereka Yun."

Bibirku menjebik, kulipat kedua tangan di dada. Kesel juga rasanya suami gak dukung rencanaku, kalau aku gak boleh pamer, ya terus ini kontrakan sebanyak ini mo dianggap gak ada aja gitu? Hih sebel.

"Udah ah kok jadi ngomongin pamer, sekarang kamu mau pilih yang mana Yun buat tempat tinggal kita?" tanya Bang Wija lagi.

Aku diam sebentar.

"Sebenernya Yuni gak betah tinggal seatap sama ibu tiri Bang, tapi ... kalau Yuni pergi si ibu tiri itu akan makin keenakan aja, Abang tahu gak? Si ibu tiri itu ternyata punya rencana mau balik nama rumah peninggalan ibu kandung Yuni satu-satunya itu."

"Eh masa sih Yun?"

"Huum, makanya Yuni maksain diri aja sebisanya supaya Yuni jangan sampe pergi apapun yang terjadi, biarlah si Mala aja nanti yang pindah rumah setelah dia nikah, ibu itu gak takut sama si Mala Bang, dia cuma takut sama Yuni karena Yuni mungkin lebih tua dari si Mala."

Bang Wija mengangguk-anggukan kepalanya sambil terus menyimak pembicaraanku.

"Kasihan istri Abang, kalau gitu terserah kamu sajalah Yun, mau pindah hayu, mau tetap di rumah bapak juga hayu," kata suami sambil mengelus jilbabku.

Aku mengembuskan napas kasar.

"Ya udah yuk pulang, Bang."

"Ayo, tapi Abang mau mampir sebentar ke tempat kerja ya Yun, tadi kata si Wildan mau ada yang ditanda tangan katanya."

Hah? Lagi-lagi aku melongo. Nih laki lama-lama bikin aku puyeng perasaan. Setelah kontrakan 20 pintu yang baru aku tahu ini, sekarang tempat kerja katanya? 

Masalahnya tempat kerja siape? Dia keluar rumah aja cuma pakek kolor dan nongkrong doang di pos, lah ini? Haha lucu emang laki gue mah, banyakan halunya.

"Ayok naik." Ucapan Bang Wija mengejutkanku.

Segera aku naik dan motorpun melaju kencang.

"Nah kita sampai Yun," katanya setelah kami jalan sekitar 15 menit, suamipun memarkirkan motornya di depan sebuah bangunan kantor mewah.

Aku turun dan melongo sendiri, kuteliti dari bawah hingga atas bangunan yang menjulang di depanku itu dengan raut kebingungan.

"Ayo masuk," ajaknya.

"Tunggu Abang, ini kita mau apa ke sini? Emang serius Abang kerja di sini?"

"Ya seriuslah Yuniii, kamu pikir Abang bercanda?" katanya balik bertanyan

Ini suamiku keknya gak lagi main-main dah, tapi apa iya suamiku kerja di kantor mewah ini? Kerja di bagian apa? Gimana caranya juga? Suamiku 'kan sehari-harinya cuma kelayaban gak jelas.

Tapi kalau dia gak kerja di sini, mana mungkin suami berani bawa aku ke sini, wah kalau sampe bener suamiku kerja di kantor ini berarti suamiku itu sebenernya sultan dong, cuma selama ini dia nyamar aja jadi jamet. Haih bisa jadi.

Kami pun akhirnya masuk. Bang Wija membawaku pada sebuah ruangan.

"Abang ini ruangan siapa? Abang jangan sembarangan masuk ih."

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Uex Salman
simple privacy
goodnovel comment avatar
Antii Kareng Anth
ceritanya sangat menarik, bisa di jadikan motivasi .........
goodnovel comment avatar
Herlinda Putri
bagus,seru ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status