Share

Bab 5

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 5

🍀🍀🍀

Aku pun balik ke kamar. Di sana suami sedang sibuk mengotak-ngatik ponselnya sambil tiduran.

"Abang!"

Ia diam, masih saja sibuk.

"Abang!" panggilku agak kencang.

"Iya Yun, kenapa? Kamu tuh kalau ngomong ya pelan-pelan aja kenapa sih?" protesnya.

"Lagian Abang tuh dipanggil-panggil diem aja. Lagi apa sih? Gak lihat apa istrinya lagi kesel begini," balasku.

Suami bangkit.

"Kesel kenapa lagi sih Yun? Kan Abang ada di rumah, gak kemana-mana."

"Hiiih geer bener, Yuni bukan kesel karena masalah itu, tapi Yuni kesel karena si ibu tiri itu ternyata jahat banget."

Suami menggeleng kepala.

"Kamu itu Yun, hidup itu yang rukun kenapa sih? Sama ibu sendiri kok begitu."

"Bukan, enak aja, dia bukan ibu Yuni," sanggahku kesal.

"Ya terus ibunya siapa? Lah wong bapakmu yang nikah sama dia."

"Iiiih Abang, Yuni tuh kesel sama ibu, Abang tahu gak? Tadi Yuni denger mereka lagi ngobrol panjang lebar, Abang tahu gak apa yang mereka bahas?"

Suami menggelengkan kepalanya sambil menatapku serius.

"Ternyata yang maling semua modal warung itu bukan si Asep, Bang."

"Lah terus siapa?"

"Ibu sendiri, Ibu sengaja maling modal warung dan membuat cerita palsu supaya Ibu bisa kuasai semua usaha bapak."

"Hah yang bener kamu, Yun? Kamu salah denger mungkin, gak baik loh kamu nuduh-nuduh orang tua begitu."

"Yuni serius Abang, malah tadi Yuni juga denger selama ini ternyata ibu sengaja jual semua usaha bapak, alesannya buat biaya sekolah kami padahal duitnya dibagi-bagikan ke anak-anaknya."

Mata suami menyipit, dia mulai terlihat serius menyimak pembicaraanku.

"Keterlaluan banget kalau sampe itu bener Yun."

"Iya makanya itu Bang, Yuni kesel banget, awas aja Yuni pasti bakal balas semua kelakuan mereka."

"Sabar Yun ... sabar." Suami mengelus punggungku.

"Abang tahu gak-"

"Assalamualaikum," potong seseorang di luar.

Haih, baru saja aku akan cerita selanjutnya.

"Sebentar Yun, ada tamu, Abang buka pintu dulu."

Suami pun keluar, aku cepat mengekor.

"Eh Wil, ayo duduk, untung kamu gak nyasar," kata suami.

Tamu itu rupanya pria berkemeja yang tadi sedang haha hihi sama suamiku di pondok pinggir jalan.

Mau ngapain dia ke sini? Apa segitu pentingnya ya obrolan mereka itu?

"Yun, malah bengong, tolong bikinin minum ya buat temen Abang," titah suami.

Aku mengangguk dan gegas pergi ke dapur.

Di dapur dua orang itu masih saja asik mengobrol sambil mengemas kue-kue kering ke dalam plastik kecil.

"Ada siapa kamu bikin teh?" tanya Ibu ketus.

"Tamulah, emang pernah kami diizinkan minum teh?" tanyaku balik. Wajah ibu mendadak tak enak dilihat.

Biarin aja, udah terlanjur kesel rasanya aku sama mereka. Biasanya walau ibu tiriku itu pilih kasih dan gak pernah ngomong baik sama aku, aku dan Mala selalu bersikap baik sama dia, gak pernah tuh kami ngomong kecut apalagi berani bantah, tapi sekarang setelah tahu gimana sifat asli ibu tiriku, aku jadi gak respect.

"Heh ngomong sama ibu pake adab dong," sengit Mbak Viona.

"Emang tamu siapa sih? Kek tamu agung aja yang dateng," tanyanya lagi.

"Tamu Bang Wija," jawabku tak kalah ketus.

"Dih orang pengangguran aja dikasih minum, palingan itu temennya mau ngajak main kartu," balas Mbak Viona lagi.

"Ya terus emang kenapa? Suka-suka aja main kartu, rumah bapak ini."

"Heh kamu tuh makin berani aja ya Yuni, inget ya, kamu tuh cuma numpang di rumah ini," sengit Ibu kemudian, ia mulai terpancing emosi.

"Gak salah Ibu ngomong gitu? Yang cuma numpang itu siapa? Yuni atau Ibu?" 

"Yuni!" teriak Mbak Viona, mereka lalu berdiri memelototiku.

"Apa?! Kalian pikir Yuni takut, hah?" Aku menantang, menaruh kedua tanganku di pinggang sambil balas melotot.

"Ada apa sih ini ribut-ribut?" tanya suami yang tiba-tiba sudah ada di belakangku.

"Heh Wijakupra, istri kamu tuh ajarin, gimana caranya ngomong sama yang lebih tua," pekik Mbak Viona.

"Yuniii-" 

"Au ah." Aku gegas pergi dari hadapannya.

Blak!

Kubanting pintu kamar, lalu menelungkupkan tubuh di atas kasur.

Entah kenapa tapi sesak sekali rasanya dadaku sekarang, kayak mau nangis kencang tapi gak tahu apa alasannya. 

"Yuuun ...."

Suami datang menyusul. Cepat aku duduk di sisi ranjang.

"Diem! Abang gak usah banyak omong, Abang pasti mau ceramahin Yuni 'kan? Mau bilang kalau sikap Yuni ini salah 'kan?" potongku emosi.

"Enggak Yun, siapa yang mau ceramahin kamu, Abang cuma mau tanya sebetulnya ada apa ribut-ribut? Temen Abang sampe pulang itu karena ngerasa gak enak."

"Temen temen temen mulu, makan tuh temen," sengitku.

Suami menggeleng kepala, lalu memegang kedua bahuku.

"Yun ... kalau kamu udah merasa gak betah tinggal seatap sama ibu, ya sudah kita pindah rumah aja, gimana?"

Mataku menyipit menatapnya. Sok banget nih laki pake ngajak pindah rumah, mau pindah kemana coba? Lagian kalau aku pindah keenakan si ibu tiri dong, bisa-bisa entar dia berhasil rayu bapak tanda tangan surat balik nama rumah ini.

Enak aja, ini rumah peninggalan ibuku, satu-satunya harta yang tersisa, kalau rumah ini pindah nama juga, habis sudah hidupku, Mala dan bapak, bisa-bisa kami bakal ditendang sama mereka.

"Yun, kamu malah diem sih." Suami mengguncang kedua bahuku.

"Abang ngajak Yuni pindah? Pindah kemana emangnya? Abang denger ya, Yuni gak bakal mau pindah selain pindah ke rumah kita sendiri," tegasku.

"Iya iya kamu tenang aja Yun nanti Abang bawa kamu pindah ke rumah kita ya, tapi kamu jangan marah-marah terus begini dong, takut kamu kena serangan jantung gimana?"

Aku mendesah kesal, "Abang ngomong apa? Masa iya marah-marah sampe kena serangan jantung, ngaco."

"Eh Abang serius Yun, majikan Abang dulu begitu loh, dia lagi marah-marah eh malah kena serangan jantung."

"Ya mungkin dia udah tuir, Bang."

"Iya juga, tapi 'kan bisa aja kamu juga begitu, nanti Abang sama siapa Yun kalau kamu kena serangan jantung terus mati?"

"Heh malah ngedo'ain." Kucubit perutnya kencang, ia balas memeluk erat.

Saat itu perasaanku kembali tenang.

"Eh Yun, mau kemana lagi sekarang?" tanya Bang Wija setelah beberapa menit kami diam dalam pelukan.

"Gak kemana-mana, mau di kamar ajalah males sama mereka bikin kepala mendidih aja," jawabku seraya melepaskan diri.

"Meningan kita tengok-tengok rumah yuk, kamu pilih sendirilah yang mana yang cocok mau kita tempati nanti, mumpung ada yang kosong," usulnya.

"Hilliih rumah siapa? Kontrakan palingan."

Suami nyengir. 

"Ya iya kontrakan."

"Ogah ah males, Yuni gak mau pindah dulu sebelum kita punya rumah sendiri," tolakku sambil membaringkan badan di sisi ranjang.

"Loh Yun, walau kontrakan tapi 'kan itu milik kita," katanya lagi.

Aku spontan bangkit lagi.

"Milik kita?"

"Iya milik kita," jawabnya serius.

"Eh Abang ini kok Yuni perhatiin banyak halu sih?" aku menempelkan punggung tangan di keningnya.

"Haiih, Abang nih halu gimana sih Yun?"

Bola mataku mengerling.

"Ya itu, katanya kontrakan itu milik kita, gimana ceritanye? Merasa beli aja kagak."

Mendengarku suami tertawa.

"Kamu nih, ya 'kan Abang yang beli dulu Yun, sebelum Abang nikah sama kamu," ucapnya serius.

Aku kembali menoleh dengan mata menyipit.

"Heh serius? Abang nih sebenernya halu gak sih?"

"Halu apa sih Yun? Kamu nya aja yang gak percayaaan sama Abang."

"Eh jadi maksudnya ini Abang serius?"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
ud gtu si yuni omongnya ksar sma suaminya untung aj suami sabar
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
knp si yuni bodoh ya mestinya direkam itu omongan ibu tiri dan kkak tirinya biar bpknya yuni tau tuh knp kau buat bodoh author si yuni tuh...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status