Share

Bab 4

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 4

🍀🍀🍀

Hah? Aku melongo sendiri. Kuteliti suamiku yang hanya pakai kolor, kaos putih dan sandal jepit itu. Dia punya kartu debit? Kok bisa? Selama ini kupikir dia buta pengetahuan, secara katanya suamiku dari desa pedalaman.

"Bisa bisa, Mas," jawab si Mbak itu sambil senyum sumringah.

Suamipun memberikan kartu debitnya. Setelah selesai membayar tagihan baju segera kutarik dia keluar.

"Itu kartunya punya siapa, Bang?"

"Punya Abanglah, kau pikir kartu beginian bisa pakai rame-rame?" kekehnya.

Lagi-lagi aku bengong. 

"Abang gak pernah bilang Abang punya kartu begituan."

"Kamu gak pernah nanya Yun, udah ah lagian buat apa juga? Kan yang penting Abang kasih duit sama kamu."

"Eh tapi itu isinya hanyak enggak, Bang?" tanyaku lagi.

"Dikit Yun, tapi untungnya cukup buat bayarin bajumu tadi," jawabnya sambil cengengesan. Aku menjebik.

"Kirain banyak, huh."

Tak lama angkot yang kami tunggu pun datang.

"Abang turun sebentar di tempat yang tadi ya Yun, kasihan mereka masih di sana pasti," pintanya kemudian.

"Kagak usah, apaan sih, gak gelas banget."

Akhirnya suami hanya bisa pasrah sampai kami tiba di rumah.

"Diem di rumah, jangan balik lagi ke tempat gak jelas itu, Abang paham?" tegasku.

"Iya iya," jawabnya pasrah.

Suami lalu masuk ke dalam kamar, sementara aku membawa kue kering ke dapur.

Di dapur rupanya sedang ada Mbak Viona, tak sengaja aku juga dengar dia lagi ngobrol sama ibu.

"Mayan Bu, sisanya beliin emas atau baju aja buat kita, entar 'kan mau ada organ tunggal tuh, otomatis kita butuh baju ganti."

"Iya kamu tenang aja kenapa sih? Nih Ibu lagi hitung budgetnya biar lebihnya banyak," kata Ibu.

Mataku menyipit penuh selidik, mereka lagi ngobrolin apaan sih? Kok kedengerannya serius banget. Iseng, akhirnya kudengarkan obrolan mereka di balik tembok.

"Ngomong-ngomong Bu, warung kelontong Ibu akhirnya dipindah kemana?" tanya Mbak Viona lagi.

Aku terbelalak, mendadak dadaku juga bergemuruh. Warung kelontong ibu? Maksudnya warung yang mana ya? Apa selama ini ibu punya warung dan kami gak tahu?

"Dipindah ke Jakarta pusat, di sana 'kan rame 24 jam, gak kayak di Bekasi, sepi."

Aku makin penasaran, kutempelkan punggungku pada tembok pembatas antara dapur dan ruang keluarga itu. 

"Tapi Ibu pinter loh, Viona pikir rencananya bakal gagal mengingat si Yuni udah kawin, Viona pikir dia bakal lebih teliti saat Ibu bilang semua modal warung itu dipaling si Asep, tapi ternyata enggak, dia masih aja bodoh dan gak tahu apa-apa, haha." Mbak Viona tertawa puas. 

Ooh, jadi begitu ya? Selama ini rupanya ibu tiriku adalah dalangnya. Warung kelontong itu ternyata gak dicuri si Asep tapi dicuri ibu tiriku sendiri.

Dasar bedebah, gila, beraninya ibu tiriku lakuin ini sama aku, Mala dan bapak. Dia buat seolah-olah kami gak berdaya lagi, supaya kami merasa gak enak hati dan gak banyak nuntut. Kurang ajar!

"Iya, tapi Ibu heran, niat Ibu 'kan bilang warung itu gak ada supaya kita gak usah ada hajatan lagi, buang-buang duit aja, eeh malah suaminya si Yuni ngasih duit banyak banget, Ibu heran, penasaran juga dia dapat duit sebanyak itu dari mana ya Na?" Ibu bicara lagi.

Aku kembali menajamkan telinga.

"Gak tahu juga sih, bukannya si Wija itu pengangguran ya?"

"Iya pengangguran, males banget pula."

"Mungkin dia punya warisan, Bu."

"Bisa jadi, tapi apa sebanyak itu? Kemaren waktu dia nikah sama si Yuni 'kan dia juga yang bayarin semuanya, masa iya duit warisan gak habis-habis, sebanyak apa emang ya warisannya?"

Aku terbelalak mendengar ucapan ibu, mataku melotot dengan tangan yang refleks mengepal.

Bener-bener kurang ajar, gak tahu malu, jadi kemarin yang bayarin acara hajatan kami itu Bang Wijakupra? Terus kenapa kemarin saat kumpulan sodara-sodara tiriku bilang mereka nyumbang gede? Sampe mereka gak bersedia nyumbang acaranya si Mala.

Kenapa sih mereka itu sok banget jadi orang? Tingkahnya kayak orang yang peduli sama aku dan Mala, tapi rupanya mereka masa bodoh. Mereka sengaja gak mau adain hajatan supaya duit mereka gak boncos. Dasar keluarga tiri, gak ada yang tulus satupun. 

Hiiih gedeg banget aku. Awas aja kalian, kalian belum tahu siapa Yuni sebetulnya. Terus itu lagi Bang Wija, kenapa dia gak cerita kalau dia yang bayarin hajatan nikahan kami? Wah bener-bener ya itu orang mesti banget aku kasih pelajaran.

"Palingan ini yang terakhir Bu, si Wija itu udah gak bakal punya duit lagi, lihat aja."

"Iya kali."

"Untung kemaren kita main sandiwara Bu, kalau enggak, mungkin duit si Wija itu bakal dibeliin tanah dan si Yuni akhirnya bakal bangun rumah," kata Mbak Viona lagi.

Keningku kembali mengerut. Apalagi ini? Mereka mau bahas apa lagi? Seneng banget mereka ngegosip rupanya.

"Iya untung aja, sebenernya Ibu juga udah jengah dia ada di rumah ini, apalagi si Yuni itu udah nikah, tapi kalau sampe dia pindah dan akhirnya mampu bikin rumah, Ibu juga gak rela sih, soalnya kamu, mbakmu dan abangmu pasti bakal kalah saing."

Hah? Bener-bener keterlaluan. Aku pikir ibu gak pernah permasalahkan aku dan suami yang masih numpang di sini karena ibu tulus sayang sama kami, tapi rupanya dia ada maksud tersendiri.

Ibu tiriku itu gak mau kalau sampai aku terlihat lebih wah dibanding anak-anaknya.

"Eh tapi Ibu juga gemes sih sebetulnya,  gak sabar pengen cepet-cepet pindah alihkan surat-surat rumah ini atas nama Ibu," ujar Ibu lagi. Aku kembali menyimak walau rahangku sudah mengerat hebat.

"Ya pindahin aja Bu, kenapa emangnya? Kalau udah pindah nama 'kan enak, sewaktu-waktu ada apa-apa kita gampang ambil."

"Kamu ini gimana sih Viona? Kalau Ibu suruh tanda tangan itu bapakmu sekarang ya pasti dia bakal ngomonglah sama anaknya, makanya Ibu belum berani kalau kedua anaknya masih di rumah ini, apalagi si Yuni, dia bakal banyak tanya," jawab Ibu lagi.

"Ya suruh aja si Yuni ngontrak Bu, apa susahnya?"

"Gak bisa Viona, Ibu gak punya alesannya, makanya Ibu nunggu si Mala nikah dulu, biar nanti Ibu bisa kasih alesan kenapa si Yuni harus ngontrak, ya karena di rumah ini sekarang udah ada 3 kepala keluarga, gak bagus hidup dalam satu atap, begitu."

"Oh gitu ya, Bu."

"Iya makanya kamu doain dong, biar semuanya lancar, itu si Mala cepet kawin dan Yuni ngontak rumah, akhirnya Ibu gampang deh nyuruh bapak tanda tangan surat balik namanya."

"Iye Viona doain tapi Viona minta bagian yak, Bu, haha."

"Dasar rakus, udah Ibu kasih modal warung juga dulu kamu tuh."

Lagi-lagi aku terbelalak, bener 'kan apa kataku? Mereka itu busuk, semua usaha bapak enggak dijual untuk biaya pendidikan kami, tapi dijual untuk hidup hedon mereka. Keterlaluan, awas saja kalian. 

Kudengar mereka masih tertawa sambil melanjutkan obrolan mereka yang makin seru itu.

Sementara aku yang geram karena sudah mengetahui akal busuk mereka, cepat menampakan diri.

"Ini Bu kue nya."

Brrukk!

Kutaruh plastik kue itu sembarangan.

"Heh kamu tuh, udah gak ucap salam, kue main dilempar aja, udah tahu itu kue kering, kalau ancur gimana?" Ibu emosi, matanya melotot seperti biasa.

Ibu tiriku memang begitu, kalau lagi ngomong sama aku dan Mala, gak ada lembut-lembutnya secuilpun.

"Ancur? Ya tinggal beli lagilah, gitu aja repot, dana hajatan 'kan gede," tandasku seraya pergi dari hadapan mereka.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Siti Aminah
yah sibpk dan anak2nya dibodohin sma istrinya jahatnya author buat si yuni pinter donk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status