Share

Bab 3

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 3

🍀🍀🍀

Ibu dan sodara-sodara tiriku akhirnya diam dan balik ke tempat masing-masing.

"Wija tolong maafin sodara-sodaramu ya," kata Bapak pada suamiku.

Walau selama ini suamiku masih pengangguran, memang hanya bapak yang paling ikhlas menerima suamiku di rumah ini, beliau sabar sekali, bapak sering mengingatkanku juga agar aku banyak sabar dan terus mendo'akan suamiku supaya suamiku cepat punya pekerjaan.

"Kalau suamimu itu bermasalah solusinya dido'akan Yun, bukan ditinggalkan. Kalau suamimu sedang ada di bawah ya disemangati bukan diusir dan dikasari, Insya Allah kalau kamu ikhlas melakukan dan menerimanya nanti rejeki akan datang berlimpah, bahkan dari arah yang tak pernah kamu sangka-sangka," kata Bapak waktu itu, saat aku baru saja bertengkar dengan suami karena dia kerjaannya kelayapan gak jelas terus tiap hari.

"Iya Pak, tapi Yuni kesel Pak, masa iya rumah tangga mau begini terus? Belum lagi anak-anak ibu, suka nyindir-nyindir terus hidup kami."

"Makanya kamu harus banyak berdo'a Yun, doain begini suamimu itu, ya Allah ya Tuhanku, bukakanlah pintu rejeki-Mu yang seluas-luasnya untuk suamiku, bahkan dari arah yang tak pernah hamba sangka-sangka sebelumnya, berikanlah dia kesempatan agar dia bisa membahagiakan istri dan keluarganya, gitu."

Aku hanya diam saja saat itu, kalau bukan karena wejangan bapak, mana mungkin aku bisa tahan rumah tangga sama Bang Wija yang malesnya kebangetan.

"Gak apa-apa, Pak." Ucapan Bang Wija menarikku dalam kesadaran. 

Kutengok semua sodara tiriku masih bermuka masam setelah diomeli bapak.

"Tapi kamu yakin 'kan uang itu adalah uang halal?" tanya Bapak lagi memastikan.

"Iya Pak, demi Allah itu uang halal," jawabnya yakin.

"Nah denger 'kan kalian? Sudah, sekarang kalian semua pulang aja, sudah malem juga," perintah Bapak.

Akhirnya semua orang pun bubar meski wajah sodara-sodaraku itu tampak masih penasaran ingin menggali informasi asal muasal duit yang diberikan Bang Wija.

Tak kecuali denganku, di kamar aku tak mau melewatkan kesempatan, cepat kuajak suami bicara.

"Abang coba Abang jujur, itu duit dari mana sebetulnya? Kok bisa-bisanya Abang punya duit segitu banyak dan Yuni gak tahu."

"Malulah Yun, duit cuma dikit kok dibilang banyak," jawabnya santai.

Suami lalu berdiri dan mulai mematut diri di depan cermin.

"Hah dikit kata Abang? 80 juta itu loh Bang, 80 juta itu banyak, Bang."

"Dikit itu Yun, apalagi buat bantu sodara, kurang malah."

"Ya tapi masalahnya, itu duit dari mana sebenernya?"

"Sisa warisan, Yun."

"Haih tadi katanya bisnis."

"Abang malulah Yun kalau bilang itu duit warisan."

"Terus kenapa Abang punya warisan gak bilang-bilang? Tahu gitu duitnya biar dipegang sama Yuni aja," dengusku kesal.

Pantas saja suamiku punya duit banyak, tahunya dia dapat warisan. Kukira dia beneran bisnis, pantes aku gak percaya, masalahnya dia itu mau bisnis apaan? Bisnis nernak tuyul baru aku percaya. 

"Haih kamu tuh duit 80 juta buat apa? Meningan disumbangin buat acaranya  Mala 'kan lebih berguna," katanya ringan.

Mulutku menganga. Duit 80 juta katanya buat apa? Dia gila apa gimana sih? 

"Ya sudah Abang pamit mau ronda ya Yun," katanya lagi sambil berlalu keluar.

Hih kesel banget belum juga aku selesai ngomong sama dia, dasar pemalas, alesan aja mau ronda padahal mau main hape di pos biar kagak digangguin.

Awas aja kau Bang, udah mah duit dikasih gitu aja sama ibu sekarang mau ongkang-ongkang kaki di pos, hiiih gedeg banget rasanya.

***

Esok hari.

Pukul 9 pagi Bang Wija belum juga pulang.

"Kelayaban di mana itu orang? Udah tahu duit warisan habis semua, jam segini malah belum balik dari semalam, bukannya kerja kek nyari duit," gerutuku di kamar.

"Yuniii!" teriak Ibu dari dapur.

Gegas aku menghampiri, bahaya kalau sampe ibu teriak-teriak dan aku gak segera datang, bisa-bisa ibu ngomel 7 hari 7 malam.

"Ya, Bu? Kenapa?"

"Hari ini kamu ke pasar, beliin kue-kue kering, sisanya biar nanti sama Ibu."

"Iya," jawabku pendek. Masih kesal rasanya aku karena duit Bang Wija semua dikasih ke ibu.

"Ya udah sana pergi, nih duitnya."

Kuambil duit belanja dari ibu dan gegas jalan ke depan gang. Untunglah angkotnya cepet datang, kalau enggak mungkin aku udah makin kesel aja dibuatnya.

"Bang, stop, Bang," titahku pada sopir angkot saat aku baru setengah jalan.

Aku turun di depan sebuah pondok yang ada di pinggir jalan sebab melihat ada Bang Wija di sana.

"Hmm 'kan 'kan ape kata gue? Tuh laki emang malesnya kebangetan, semalam bilang mau ronda ternyata kelayaban jauh bener sampe ke jalan raya," kesalku sambil melangkah lebar-lebar ke arahnya.

"Abang!"

Bang Wija terkejut dan langsung berhenti haha hihi saat melihatku datang.

"Eh Yun, kamu di sini?" 

"Iya Yuni di sini, kenapa? Kaget? Abang lagi apa di sini? Maen judi ya?" cecarku dengan mata melotot.

"Hah judi? Mana ada Yun, lihat Abang, Abang lagi ngobrol ini," jawabnya sambil mengulurkan kedua tangannya yang kosong dan melirik ke arah beberapa orang laki-laki yang juga ada di sana.

Kutengok mereka satu-satu dengan wajah sinis. Kesal aku, pasti gara-gara mereka suamiku jadi seneng nongkrong gak jelas begini.

"Pada ngapain sih di sini? Pada gak ada kerjaan amat," ketusku pada mereka.

Mereka saling melirik dan nyengir kuda.

"Ini kita lagi kerja, Bu," ucap salah seorang di antaranya.

Bibirku terangkat sebelah. Kuamati mereka lagi. Baru kusadari ternyata penampilan mereka kok pada aneh semua. Mereka pakai sepatu dan kemeja rapih-rapih, mana ada yang sampe bawa tas dan laptop segala.

Ini sebenarnya mereka siapa sih? Pakean mereka kok pada rapih banget? Terus kenapa juga mereka malah ngumpul-ngumpul di sini? Lagi pada ngapain ya mereka?

Eh apa jangan-jangaaan ..? Mereka lagi pada main judi? Haih keterlaluan kalau sampe itu bener.

"Abang! Ayo buru ikut Yuni balik." Cepat kutarik tangan suami sebelum dia ngelak lagi.

"Eh tunggu dulu Yun, Abang masih ada urusan."

"Halah urusan apa? Gak penting banget."

Terus kutarik tangan suami sampai ada angkot yang lewat dan kami gegas naik.

"Duh Yuun, Abang masih ada urusan itu, kok kamu malah tarik-tarik Abang gini sih?" protesnya saat di dalam angkot. Wajahnya kelihatan resah tak karuan.

"Apaan sih? Enggak! Urusan Yuni jauh lebih penting," kecutku.

Akhirnya Bang Wija diam.

-

Sampai di toko kue, suami masih kelihatan resah.

"Abang ini kenapa sih? Antar istri kok kayak gak tenang gitu."

"Aduh mereka pasti masih nungguin Abang di sana Yun, gimana kalau Abang ke sana sebentar dulu? Nanti Abang balik lagi kalau kamu udah selesai belanja, nanti kamu telepon Abang aja," katanya sambil terus melirik ke arah luar toko.

"Gak ada, apaan ngobrol-ngobrol gak jelas begitu dipeduliin."

"Loh Yun tapi 'kan Abang lagi meeting itu."

"Hah? Hahaha dasar halu, makanya jadi suami tuh jangan males banget, begini 'kan akhirnya? Banyak halu," omelku sambil terus memilih kue-kue kering pesanan ibu yang ada di talase.

-

Sekitar setengah jam urusanku di toko kue selesai. Sebelum pulang sengaja kuajak  suami masuk ke toko baju.

"Beliin Yuni baju, Bang."

"Ya beli aja yang mana yang kamu suka Yun," katanya sambil terus sibuk melirik ke arah luar dengan wajah frustasi.

Aku makin kesel. Sengaja saja kuambil 5 potong baju gamis yang terjejer di toko itu. Biarin, biar tahu rasa tuh suamiku, orang bener mah udah jadi laki ya kerja kek buat nafkahin bini, eh ini malah ngobrol-ngobrol gak jelas pinggir jalan.

"Abang, bayar." Aku menepuk pundak Bang Wija yang masih saja telihat resah.

"Eh kok cepet beli bajunya Yun?"

"Ya cepetlah, ngapain buang-buang waktu? Emangnya Yuni kayak Abang? Buang-buang waktu gak jelas," sindirku.

Suami mengibaskan tangan, "haih kamu nih kalau ngomong makin ngaco aja ah," katanya sambil bangkit menuju kasir.

"Berapa semuanya, Mbak?"

"720 ribu, Mas," jawab si Mbak penjaga toko.

Aku terbelalak, 720 rebu? Haha rasain kau Bang Wija, kau pikir biaya hidupku murah? Mau apa kau sekarang? Mentang-mentang kemarin kau punya duit warisan jadi kau gak mau kerja, rasain kau rasaiiin. Mau gimana kau sekarang?

Aku tertawa puas dalam hati, tapi kemudian berhenti saat melihat suamiku mengeluarkan sebuah kartu dari dalam dompetnya.

"Bisa bayar pakai ini 'kan, Mbak?" tanyanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status