Share

Bab 2

DIKIRA SUAMI PENGANGGURAN

Bab 2

🍀🍀🍀

"Bapak kok jadi ngomelin Jessica sama Viona sih?" protes Ibu.

"Anak kamu sih, makanya tolong itu diajarin yang bener."

"Oh jadi sekarang Bapak gitu sama mereka? Inget loh Pak, yang selama ini bantu pengobatan bapak dan nyukupin kebutuhan kita paling banyak itu siapa? Mereka, anak-anakku," sungut Ibu dengan mata melotot.

Bapak terpaksa diam, tampak wajahnya menahan amarah sebisa mungkin. Kasihan Bapak, beliau jadi tak bisa berkutik lagi kalau ibu tiriku mengungkit semua kebaikan anaknya.

Harga diri kami terutama bapak seperti sengaja dijatuhkan sama ibu. Bapak dianggap sudah tak berguna dan tak lagi mampu memberi nafkah yang baik. Lebih-lebih sekarang toko kelontong satu-satunya penghasilan bapak malah hilang juga.

Padahal dulu sebelum nikah sama ibu tiri, bapak punya banyak usaha. Warung kelontong, toko baju, toko sendal sampai kontrakan pun beliau punya. 

Tapi dengan alasan untuk biaya pendidikan kami, ibu menjual semuanya satu persatu hingga yang tersisa hanya toko baju dan warung kelontong saja.

Toko baju kemarin kebakaran saat aku akan menikah, dan sekarang warung kelontong pun ikut ludes digondol sama orang kepercayaan bapak sendiri.

Aku yakin hal ini pasti akan terus dipakai ibu untuk menyudutkan bapak sampai bapak gak bisa bela aku dan Mala lagi. Heuh kejam emang ibu tiriku itu.

"Viona! Jessica! Terus gimana sekarang kalau kalian gak mau nyumbang? Siapa yang mau bayarin tenda dan prasmanan? Belum lagi make-up, jamuan tamu dan lainnya, yang punya uang 'kan cuma kalain," ujar Ibu lagi seraya menelengkan mata ke arahku.

Aku paham betul ibu sedang menyindirku dan bapak.

"Mas Yusril aja, Mas Yusril 'kan anak laki-laki," jawab Mbak Jessica.

"Eh gak bisa gitu dong, jangan mentang-mentang Mas mu ini laki-laki jadi dibebankan dua kali lipat, kalian juga 'kan tahu kemarin Mas mu ikut sumbang gak main-main saat nikahan Yuni," respon Mbak Wiwit-istrinya Mas Yusril.

Tampak sekali kakak iparku itu juga keberatan saat tahu biaya akan dilimpahkan pada suaminya. Padahal apa salahnya? Mas Yusril 'kan orang kaya, jabatan di kantornya aja manager, denger-denger gajinya sampe 25 juta sebulan.

"Ya terus gimana dong? Kok semua pada mundur begini?" tanya Ibu makin kesal.

"Pelan-pelan aja ngomongnya, Bu," kata Bapak lagi.

"Ya habisnya Ibu kesel, kalau kayak gini gimana dong? Udahlah Mala kamu gak usah nikah tahun ini aja, entar aja kamu kumpulin dulu aja duitnya," ketus Ibu.

Mala menarik napas berat, kulihat anak itu juga mulai terisak di tempatnya. Aku jadi ikut sedih, tapi mau bagaimana? Mau bantupun aku gak punya apa-apa, apalagi setelah nikah aku juga udah gak kerja lagi, hidup aja masih numpang di rumah bapak.

"Sabar Mal, semoga secepatnya kita dapat rejeki yang besar," ucapku sambil mengelus pundak Mala.

"Kenapa gak kamu aja yang sumbang Yuni? Kemarin 'kan uang kami udah habis pake acara kawinan kamu, sekarang giliranmu lah bantu si Mala," usul Mas Yusril.

Aku menoleh dan menghela napas berat.

"Yuni bukannya gak mau bantu Mas, tapi Mas juga 'kan tahu gimana kondisi Yuni? Baru berapa bulan Yuni nikah, Bang Wija juga belum ada kerjaan, duit dari mana?"   reseponku panjang lebar.

Mas Yusril itu walau dia yang paling kaya di antara kami, tapi pelitnya minta ampun. Jangankan rugi buat nikahan Mala yang hanya adik tirinya, dia ngasih buat ibunya sendiri aja jarang. Heran.

"Ya dari mana kek, minjem kek ke bank," ketus Mbak Wiwit.

"Iya bener, lagian makanya kamu tuh kerja dong Wijakupra, kamu 'kan udah jadi suami sekarang, tanggung jawab dikit dong kamu, minimalnya kamu bisalah bantu dikit-dikit kalau ada hal gak terduga kek begini, jadi biar gak kamiii terus, kamiii terus." Mbak Jessica menimbrung lagi.

"Tahu heran banget jadi laki kok males banget, kerja kamu tuh Wija jangan cuma enak numpang hidup di rumah ibu, bikin hidup kami makin keteteran aja gara-gara kehadiran kamu," sahut Mbak Viona.

Hatiku mencelos, bisa-bisanya mereka bicara kasar begitu pada suamiku.

Ya walau kenyataannya memang begitu, tapi apa gak bisa mereka ngomong lebih halus? Seenggaknya janganlah ngomong kasar begitu pada suamiku. Pake melotot sampe ngotot gitu.

"Emang kira-kira butuh berapa Bu buat acara nikahan Mala ini?" tanya Bang Wija kemudian. Wajahnya tetap santai dan tak tersulut emosi seperti yang lainnya.

"Kalau mau ada hiburan siapin 80 juta tapi kalau cuma akad di KUA ya 50 juta juga cukup," jawab Ibu ketus.

"Oh cuma segitu, gampang itu mah, Ibu mau uangnya kapan?" tanya Bang Wija lagi.

Alih-alih menjawab, kami semua terperangah dan menoleh ke arahnya.

Kutatap wajah berkulit sawo matang agak busuk dengan kumis tipis mirip komika Dodit Mulyanto itu.

Apa-apaan tuh Bang Wija nanya begitu? Lagaknya udah kayak orang banyak duit aja. Bikin aku makin kesel aja rasanya, apa dia sadar kami gak lagi bercanda sekarang? Awas aja kau Bang Wija, diskakmat sama ibu dan sodara-sodaraku baru tahu rasa kau.

"Ya kalau ada sekarang juga boleh," kecut Ibu kemudian.

Bang Wija pun bangkit dari tempatnya, ia lalu masuk ke dalam kamar, cepat aku mengekor.

"Abang! Apa-apaan ini?" tanyaku cepat sambil menutup pintu rapat-rapat.

"Apa?" Ia yang tengah sibuk membuka lemarinya balik bertanya.

"Kenapa Abang bilang gitu sama ibu? Abang mau ditertawakan, hah?"

"Bilang apa? Tertawakan gimana?"

"Ya itu, Abang bilang cuma uang segitu, kayak Abang banyak duit aja."

"Hehe itu, ya maaf Yun," ucapnya sambil cengengesan.

Aku geram, kedua telapak tanganku tefleks saja mengepal, ingin rasanya kumakan juga suamiku ini.

"Dasar gak jelas," dengusku sambil kembali membuka pintu lalu keluar.

"Yuni, mana suamimu itu? Ngapain dia lama banget di kamar?" tanya Ibu saat aku sudah di ruang keluarga lagi.

"Gak tahu," jawabku kesal.

Tak lama Bang Wija datang.

"Ini Bu, 80 juta cash buat biaya nikahnya Mala," katanya sambil menaruh plastik hitam di depan ibu.

Kami semua saling melirik dengan mata setengah melotot. Sejurus kemudian ibu cepat membuka plastik itu.

"Hah? Apa ini semua duit asli Wija?"

Mbak Jessica dan Mbak Viona yang penasaran cepat menengok ke dalam plastik itu.

"Eh bener loh ini duit semua isinya," kata Mbak Jessica spontan.

"Ah masa? Mata kalian siwer kali." Mas Yusril dan istrinya pun ikutan kepo, cepat-cepat mereka mendekat dan melihat isi plastik itu.

"Wijakupra, dari mana kamu dapat ini duit? Maling ya kamu?" tanya Ibu kemudian, raut wajahnya masih kelihatan belum percaya.

Aku makin penasaran. Duit apa sih yang mereka omongin itu? Apa iya suamiku ngasih duit sampe seplastik gitu?

"Astagfirullah, Bu. Enggak, itu duit halal kok, tenang aja, Wija kasih buat acara hajatannya Mala masa iya duit hasil maling," jawab Bang Wija serius.

"Ya tapi dari mana kamu dapat semua ini? Kamu 'kan pengangguran," balas Ibu lagi.

Suami malah nyengir.

"Bisnis, Bu," jawabnya sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

"Bisnis? Bisnis apa kamu?"  tanya Mas Yusril.

"Adalah kecil-kecilan."

"Bisnis haram ya kamu? Ayo ngaku!" desak Mas Yusril lagi.

Suami menggeleng kepala.

"Enggak Mas, suerr, itu duit halal kok."

"Hallah-"

"Udah cukup! Kalian ini kenapa sih? Kok jadi main hakim sendiri begini, apa gak kasihan sodara kalian dituduh terus begitu? Tadi 'kan Wijakupra udah bilang itu duit halal, ya udah, lagian mau halal atau haram kalian gak peduli 'kan?" Bapak pun menyahut geram.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Komala Dewi
bagus orang ada biasa aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status