Share

Bab 5

Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.

Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek.

"Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella.

"Em ... Ini, anu, Bu ...."

"Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.

Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.

Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bodoh ini.

"Namira. Katakan dengan jujur, apa ini benar?" Bukannya bertanya padaku, ibu malah beralih bertanya pada Namira yang jelas-jelas bukan anak kandungnya. Bisa saja kan Namira bakal menjelek-jelekkan Bella dan mengarang cerita.

"Bu ...."

"Diam! Aku tidak mengajakmu berbicara, Rey," bentak ibu membuatku terlonjak, begitu juga Bella yang ada di sampingku.

"Makcik, tolong bawa anak-anak ke kamarku, ya. Ada di sebelah sana," ucap Namira dengan menunjuk pintu kamar utama yang tertutup, lalu secepat kilat makcik lantas menuntun kedua anakku ke dalam kamar.

Kulihat sekilas Namira menghela nafas panjang, lalu mendekati perempuan yang telah melahirkanku itu. "Bu, maaf, Namira bohong dengan tidak menceritakan yang sebenarnya sehingga kini Ibu harus tahu dengan cara yang tidak baik. Memang benar kalau wanita itu istri Mas Rey juga, dan karena ini lah sebenarnya Namira tega meninggalkan Ibu dan anak-anak di kampung. Maaf juga, karena Namira telah lancang memutuskan semuanya sendiri dengan menarik semua uang yang ada di tabungan Mas Rey. Dan juga Namira tidak bersedia bercerai dengan Mas Rey karena tak rela jika harta gono-gini akan dinikmati juga oleh wanita itu," tandas Namira langsung pada intinya. 

Seakan seluruh sendiku lemas tak bertenaga, apa yang kukira akan menyenangkan, menyejukkan dan membahagiakan dengan memiliki dua istri nyatanya berbanding terbalik, bahkan hal ini sama sekali tak terbayangkan olehku.

Ibu mundur selangkah, bersandar pada daun pintu yang terbuka separuh. Kulihat kedua matanya mengembun, hingga akhirnya buliran bening berhasil lolos dari kedua netranya.

Ah, ibu. Maaf jika aku telah menyakitimu.

"Rey. Ibu tak mengira jika kamu berbuat serendah ini. Bahkan Bapakmu sampai mati pun tetap setia pada Ibumu tapi kenapa kamu sekarang berubah seperti ini? Apa barang wanita itu jauh lebih memuaskan dari istrimu yang telah melahirkan dua malaikat ke dunia?" tutur ibu membuat pertahananku runtuh juga. Sejujurnya kelemahan terbesarku adalah ibu, aku akan lemah dan tak berdaya jika telah berurusan dengan ibu. Karena sejak kecil aku hanya tinggal bersama ibu sepeninggal Bapak, jadi aku berusaha tetap menjaga hatinya agar tak terluka. Namun, kini aku telah menyakitinya, bahkan mungkin lebih dalam dari apa yang telah kulakukan pada Namira.

Seketika itu aku lantas mendekat ke arah ibu, lalu jatuh tersungkur di hadapannya. Memegangi kakinya sembari menangis terguguk. Aku tak memperdulikan lagi ocehan Bella yang mengatakan bahwa ia juga berhak atas diriku yang kini telah berstatus sebagai suaminya. Bagiku ibu yang paling penting sekarang.

"Bu, maaf. Maafkan Rey," pintaku mengiba, semoga saja ibu mau memaafkanku atas kelakuan burukku ini.

"Bu, sudah. Ibu istirahat, ya. Ibu kan baru saja dari perjalanan jauh, kita istirahat di kamar Namira saja, ya," bujuk Namira setelah ibu tak kunjung mengucapkan sepatah katapun padaku.

Hingga akhirnya Namira menuntun ibu masuk ke dalam kamar utama dan menutupnya rapat, sedangkan aku masih tersungkur di lantai meratapi nasibku.

"Mas, sudahlah. Nggak usah terlalu dipikirin. Udah yuk, anterin aku ke salon," rengek Bella tak kenal situasi.

Kulirik sekilas istri mudaku itu, ingin rasanya aku marah padanya atas apa yang telah ia lakukan. Tapi aku rasa, semuanya hanya akan menjadi sia-sia saja. Malah jika aku melakukan hal itu, tidak ada lagi yang ada dipihakku.

"Uangku habis," sahutku singkat, kemudian berdiri dan duduk di sofa ruang tamu. Kuusap kilat air mata yang masih membasahi pipi sembari merasakan sakit yang sedang menjalar di dalam dada.

Bella menghentakkan kakinya, lalu berjalan menjauhiku dan masuk ke dalam kamar. Aku tahu dia pasti merajuk, tapi sudah kupastikan bahwa ia akan kembali baik jika sudah kurayu. Biarlah, nanti saja aku mengurusnya. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya agar ibu tak marah lagi denganku. Tujuanku kini adalah menjadikan kedua istriku damai dan juga diterima oleh ibu.

**

"Pakeett ...." Kudengar seorang kurir berteriak tepat di depan rumahku, akhir pekan ini sengaja tak kugunakan keluar rumah melainkan santai di rumah dan menenangkan pikiran.

Sejak kedatangan ibu kemarin ke rumahku, kepalaku semakin pening karena hanya Bella lah orang yang bisa kuajak komunikasi di rumah ini. Bahkan kedua anakku pun hanya menjawab satu dua patah kata ketika aku mengajaknya berbicara.

Dengan tubuh malas aku lantas bangkit, berniat hendak keluar rumah mengambil paket. Namun, Bella menghentikan langkahku. Mungkin saja itu paket yang sedang ia tunggu, pikirku.

Beberapa menit kemudian Bella kembali masuk ke dalam rumah dan menyodorkan paket tersebut kepadaku. "Mas, ada paket nih buat istri tuamu. Kira-kira isinya apa, ya?" ucapnya membuatku terkejut, karena tak biasanya Namira memesan sesuatu lewat online.

"Buat Namira? Aku kira buat kamu," sahutku dengan menerima bungkusan paket itu dari Bella.

Kubaca dengan teliti pengirim paket tersebut.

Leo Fernanda

Leo? Bukankah nama ini yang beberapa hari lalu disebut Namira ketika sedang bertelepon?

"Kita buka aja yuk, Mas. Aku penasaran nih, siapa tau ini racun buat kita," ungkap Bella membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk, lalu bersiap membuka paket tersebut.

"Heh ... Apa-apaan? Lancang! Kalian buta huruf? Tidak bisa baca? Paket ini untuk Namira Sahira. Bukan sepasang manusia tak bermoral seperti kalian." 

Tiba-tiba saja Namira datang dari arah belakang dan merebut paket yang masih ada di tanganku. Ia lantas kembali berlalu dan masuk ke dalam kamar sebelum aku berhasil menanyainya perihal paket tersebut.

Kira-kira apa isinya, ya? Paket dari Leo Fernanda. Jelas itu adalah lelaki. Tapi kenapa mengirim paket kepada Namira. Apa dugaanku benar? Kalau mereka ada sesuatu? Jika iya, awas saja!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status