Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.
Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.
Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.
Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis karenaku.
Aku menyesal, sebagai seorang anak tega menyakiti hati ibuku seperti itu. Bahkan seharusnya aku lah yang membahagiakan ibuku, tapi ternyata justru aku menyakitinya begitu dalam.
Kuusap pelan air mata yang jatuh di pipi, lalu beranjak meninggalkan tempat persembunyianku. Hatiku rapuh, ternyata kesenangan yang kudambakan sedikitpun tak kudapatkan kini.
"Iya, aku udah buka paketnya. Sekali lagi makasih, ya."
Tunggu, i-itu seperti suara Namira. Pukul satu dini hari dan dia masih mengobrol dengan seseorang?
Hatiku yang semula hancur kini berganti dengan amarah yang memuncak, ketika kudengar samar seorang yang tengah mengobrol di ruang tamu. Lagi-lagi aku mengendap, berusaha menajamkan pendengaranku agar semua pembicaraan Namira dapat kudengar.
"Ya, aku tahu. Semua ini memang sulit bagiku, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku harus tetap kuat dan berdiri tegak demi anak-anakku. Aku tidak ingin mereka melihatku saat hancur, semua itu bakal menjatuhkan mentalnya juga kan, Leo?"
Leo lagi? Astaga! Sebenarnya siapa Leo itu?
Kulihat dengan jelas saat ia tengah mendengarkan suara dari seberang sana sembari menyandarkan tubuhnya di kursi. Tampak gurat kesedihan dalam wajahnya, sangat berbeda jauh dengan Namira yang kutemui ketika berhadapan langsung denganku. Sangat garang.
"Iya, tolong terus bantu aku. Aku masih sangat butuh bantuanmu. Paketmu siang tadi sangat berarti. Aku akan menyimpannya dengan baik."
Namira menutup telepon begitu pembicaraannya selesai, membuatku semakin penasaran dengan sosok Leo dan paket yang sampai siang tadi. Jika mereka tak ada hubungan apapun, mana mungkin mereka terlihat sangat dekat seperti ini? Apa mungkin sebenarnya Namira juga memiliki pria lain di belakangku? Seperti saat aku membohonginya?
Aarrgghh
Dia benar-benar membuatku pusing, pernikahan kedua yang seharusnya membuatku bahagia justru membuatku semakin pusing tak berkesudahan.
Aku lantas melangkah masuk ke dalam kamar dengan geram. Namun, saat kulihat tubuh Bella tidur pulas di atas ranjang rasanya segala rasa emosiku beberapa saat yang lalu hilang begitu saja. Ia begitu memabukkanku, wajahnya membuatku lupa akan semua masalah yang sedang menerpaku.
Ah, beruntung sekali aku memiliki istri kedua sepertinya. Meskipun sejujurnya aku tidak mengetahui secara pasti latar belakangnya, karena aku bertemu dengannya saat datang kesebuah club malam.
Tapi tidak, aku yakin dia wanita baik-baik. Dia mengatakan bahwa malam itu dia hanya diajak oleh temannya, buktinya saja setetes alkohol tak ia minum sama sekali.
Dengan pelan kupeluk erat tubuhnya, menenggelamkan wajahku di atas bantal empuk lalu mulai masuk ke dalam alam mimpi. Semoga saja esok hari semua sudah berjalan seperti yang aku harapkan.
***
'Pyaarrrr'
"Astaga ... Apa-apaan ini! Dasar bocah nakal!"
Kedua netraku mengerjap ketika mendengar suara bising di luar kamar. Kuusap pelan mataku yang masih terasa sangat lengket, karena seingatku baru pukul tiga lagi tadi aku bisa tidur.
Hari senin, hari yang seharusnya menjadi awal hari yang menyenangkan tapi justru menjadi hari yang sangat suram. Dimana kulihat istri keduaku tengah bermandi tepung di tengah dapur.
Bella berteriak sekeras-kerasnya, dengan mengacungkan tangannya hendak menampar Zafar ketika entah untuk keberapa kalinya Zafar melemparinya dengan tepung dan pecahan gelas berserakan di lantai. Kulihat Namira mendekat dan menahan lengan Bella yang hendak menampar anak bungsuku.
"Mau apa kamu? Menampar anakku?"
"Dengar! Ajari anakmu sopan santun pada orang tua! Pantas saja suamimu cari istri baru, ternyata begini caramu mendidik anak. Murahan sekali!" omel Bella ketika Namira mencengkeram lengannya.
Aku berdiri terpaku menyaksikan kedua istriku itu berseteru, sepagi ini dan mereka sudah bertengkar. Astaga!
"Bukan anak-anakku yang salah. Bukannya kamu yang lebih dulu mengganggu mereka? Apa kamu tidak punya tangan untuk mengambil minum sendiri tanpa merebut milik Kirani?" jawab Namira lantang, membuatku sedikit bingung. Mana mungkin Bella bersikap seperti itu, ia tak mungkin berbuat serendah itu bukan?
"Alah, memang seharusnya begitu, kan? Kamu, kamu, kamu sudah sepantasnya melayaniku," tegur Bella dengan menunjuk mereka satu persatu, bahkan Zafar yang belum mengertipun ikut dalam daftar amukan Bella.
Aku menggeleng pelan, Bella seharusnya tak perlu begitu juga. Bukankah anakku sama juga anaknya?
'Plakk'
Satu tamparan keras Namira layangkan di pipi kiri Bella, membuatku terperanjat. Aku lantas mendekati mereka, karena aku yakin Bella akan membalas perbuatan Namira.
"Hentikan! Buat apa kalian pagi-pagi begini ribut?"
"Mass, lihat. Istri tua dan anakmu jahat padaku," ucap Bella merajuk.
Aku menghela nafas pelan, lalu merengkuh pinggang Bella.
"Anak-anak. Ini juga ibumu, tolong baik juga padanya, ya?" kataku sangat lembut pada Kirani dan Zafar.
Namun, bukan sambutan baik yang kudapat tapi malah tendangan kasar dari Zafar.
"Adek benci Ayah!" bentak Zafar keras, lalu meninggalkanku.
"Kirani tak butuh Ayah lagi!" Satu ucapan Kirani turut membuatku tak berdaya, bahkan sebelumnya Kirani sangat dekat denganku.
"Hei, tunggu ... Kirani, Zafar, dengar ayah dulu," teriakku lantang saat mereka telah beranjak meninggalkanku yang masih memeluk pinggang Bella.
"Sudahlah, Mas. Nggak usah digubris bocah ingusan kaya gitu," sahut Bella berbisik di telingaku, sedangkan kulihat Namira mendelik ke arahku dengan tatapan tajam.
"Lihat, bahkan sekarang dirimu sudah tak ada harga dirinya lagi di hadapan anakmu," ucap Namira sebelum ikut meninggalkanku dan Bella di dapur.
Entah kenapa, hatiku sakit, begitu sakit ketika melihat orang-orang yang kusayangi perlahan menjauhiku.
[Mas, cepet pulang, ya. Sumpah aku di rumah capek banget. Ibumu emang nggak ada akhlak seharian nyuruh-nyuruh aku terus]Jam kerjaku belum juga selesai, Bella sudah mengirimkan pesan menggelikan. Seharusnya ia bahagia bukan? Ibu sudah mau bicara dengannya meskipun dengan dalih menyuruh. Itu artinya ibu sudah mulai membuka hati untuknya. Tapi kenapa Bella malah marah? Harusnya dia sabar sedikit supaya bisa meraih hati ibu sepenuhnya.Kubalas pesannya dengan emotikon jempol dan cium, lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang belum selesai. Sejak Namira menarik semua uangku, aku merasa seperti pekerjaanku ini sia-sia saja. Kerja dari pagi sampai sore, lelah, tapi kini uangku ditarik olehnya. Sungguh mengenaskan.Ah, tapi tidak masalah. Yang penting sedikit banyak aku masih bisa menyisihkan uang di ATM tersembunyiku meski jumlahnya tak lebih dari sepuluh juta. Itu pun kemarin sudah digerogoti Bella ketika mengajak ke salon.Tak masalah bagiku, yang penting Bella senang, hari-hariku berwarn
Kusandarkan tubuhku di sisi jendela kamar yang terbuka, sedangkan Bella masih terduduk diam di atas ranjang. Tak sepatah katapun terucap sejak kepulanganku sore tadi. Terlebih setelah berdebat dengan ibu.Huufftt haaahhKini aku merasa menjadi seorang anak yang durhaka. Demi seorang wanita aku tega membentak ibuku sendiri. Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku yang telah tega menggores hati wanita yang telah melahirkanku."Foto apa, Bu?" tanyaku saat ibu menjelaskan perihal kepergian Namira.Ibu diam, kemudian pandangan kami teralihkan pada Bella yang ikut masuk ke dalam kamar utama tempatku berbincang dengan ibu."Tanyakan padanya," sahut ibu dengan menatap tajam wanita yang kucintai dua bulan terakhir ini.Kepalaku rasanya mau pecah, saat penatku di kantor belum hilang tapi sudah berganti dengan masalah pelik di rumah. Padahal harapanku akan bahagia dengan menikahi Bella dan tetap mempertahankan Namira. Tapi ternyata aku salah."Bel, foto apa?"Bella memandangku dan ibu secara bergantian,
Berulang kali aku mengetik kemudian kembali menghapus kata di dalam layar ponselku. Hatiku bimbang, ketika ingin mengirimkan pesan pada kedua orang tua Namira di kampung. Jika bukan ke kampung, kemana dia pergi? Di kota dia sama sekali tidak tahu arah, rasanya aneh jika dia tidak pulang ke rumah.Namun, jika aku mengirimkan pesan pada ibu dan menanyakan keberadaannya pasti kedua orangtuanya akan tahu apa yang telah terjadi padaku dan Namira. Jika mereka tahu, bisa saja mereka menyuruhku bercerai dengan anaknya. Oh ... Jangan sampai. Aku mencintai Namira, mana mungkin aku bisa bercerai dengannya.Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kedua istriku berdamai dan hidup berdampingan. Mereka berdua sangat berarti untukku. Lagipula jika aku sampai berpisah dengan Namira, pasti anak-anak akan dibawa serta olehnya dan aku tak akan sanggup jika harus berpisah dari anak-anak.Kutatap nanar sebuah bingkai foto yang terpasang indah di atas meja kerjaku, foto saat kami baru saja melangsungkan aca
"Sial!" Aku mengumpat dengan memukul setir kemudi keras saat mobil merah yang kuikuti sejak tadi berbelok arah ke kanan sedang aku harus terhenti karena lampu lalu lintas yang menyala warna merah.Jika itu Namira, bagaimana bisa dia berdandan seperti itu? Lagi pula itu mobil siapa? Lalu, siapa pria itu?Kuambil ponsel yang tersimpan di saku, lalu menekan nomor Namira cepat. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga tapi tak sekalipun ia berdering."Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi"Lagi-lagi aku mengumpat keras, ketika nomor Namira masih saja belum bisa dihubungi. Ada apa ini? Apa aku hanya salah lihat? Tapi wanita tadi benar-benar sangat mirip dengan Namira.Lampu hijau menyala, membuatku mau tak mau harus berbelok arah dan kembali pada perjalananku ke rumah. Hampir sepuluh menit aku mengikutinya namun semua hanya berakhir sia-sia.**Kuparkirkan mobil fortuner hitamku di garasi, lalu turun dan berniat hendak beristirahat setelah lelah seharian ini. Kulihat Kirani dan Za
Pasca kejadian sore tadi Bella belum mau bertegur sapa denganku, ia hanya duduk diam dengan memainkan ponselnya di atas ranjang. Sedang aku masih hanyut dalam pikiranku yang semakin berkecamuk. Perihal wanita misterius itu dan juga pesan Namira. Bagaimana bisa wanita itu terlihat sangat mirip dengan Namira? Juga bagaimana bisa Namira mengirimkan pesan itu padaku saat ia tak ada di rumah?Sepertinya aku salah dengan mempermainkan perasaannya. Di wanita baik, tak seharusnya aku memperlakukannya seperti ini. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi dan aku hanya boleh menjalaninya, untuk mundur pun semua sudah terasa sangat jauh.“Bel, tolong ambilin aku minum, ya,” ucapku pada Bella, karena memang aku sedang tak berselera keluar kamar.Namun, ia masih terdiam dengan terus berselancar dalam sosial medianya. Padahal, jika Namira, ia kan langsung berdiri dan menuruti perintahku. Ah, lagi-lagi Namira yang ada di kepalaku saat ini.“Bel … dengar tidak?” kataku lagi saat ia tak kunjung berdiri
Dua minggu kemudian ....Sudah dua minggu ini Namira pergi meninggalkanku dan anak-anak. Setiap hari aku harus selalu mendengar teriakan sumbang mereka, terlebih saat mereka tengah bertengkar dengan Bella. Serasa sudah seperti perang dunia ke tiga.Pagi ini aku sengaja bangun sedikit siang karena memang sedang akhir pekan. Siang nanti Bella mengajakku belanja karena ia bilang suntuk di rumah. Tak masalah aku menuruti kemauannya kali ini, karena selama dua minggu ini Bella juga sudah berkelakuan baik pada ibu.Bukan aku tak mencari Namira, tapi rasanya pencarianku sudah sampai ke ujung dunia. Setitik pun tak ada tanda-tanda keberadaan Namira. Bahkan, aku sampai menyuruh salah seorang temanku untuk menelepon ke rumah Namira di kampung. Tapi nihil, ia hilang bak ditelan bumi.Aku mendesah pelan, ketika kulihat satu lembar kertas transaksiku kemarin di ATM. Uangku tinggal tujuh juta, sedangkan siang nanti Bella juga mengajak belanja. Mana cukup untuk hidup dua minggu kedepan jika Bella te
"Hai, Mas."Mulutku terkunci, seluruh badanku seakan membeku ketika harum tubuh Namira menusuk hidungku. Ya, dia sangat wangi, cantik dan modis. Tak seperti Namira istriku yang dulu.Cukup lama aku terdiam memandanginya, sampai pada akhirnya ia masuk ke dalam rumah dan melewatiku. Dengan dua anakku yang sudah menggelayut di tubuhnya tentu saja. Sedangkan ibu, ibu tersenyum miring ketika melewatiku.Namira duduk di sofa ruang tamu, membiarkan kedua anaknya melepas rindu. Aku paham, hampir sebulan ini Namira menghilang. Dan ajaibnya dia kembali dengan segala perubahan drastis seperti ini."Mas, siapa yang datang?" teriak Bella dari depan kamar, tapi sedetik kemudian ia pun juga ikut terpaku ketika melihat Namira telah duduk di sofa dengan dua anakku di pelukannya."Hmm ... Apa kabar kalian?" ucap Namira memecah keheningan."Kami baik, Nak. Sangat baik. Bahkan suamimu ini sekarang telah berubah menjadi suami yang tunduk di bawah lengan istrinya. Sedangkan istrinya itu, masih sama seperti
Kami bertiga seketika terdiam begitu Namira memutus sambungan teleponnya dengan pria yang ia sebut sebagai Om Frans. Sedangkan Bella, ia masih bungkam, seakan tak mau menjawab semua pertanyaan Namira.Hatiku sedikit bimbang, begitu juga dengan kepercayaanku pada Bella. Sedikit banyaknya rasa percayaku mulai pudar, aku ragu bahwa Bella benar-benar adalah wanita baik dan pantas untukku."Kenapa diam? Jawab, dong," ucap Namira sekali lagi saat Bella benar-benar hanya diam.Aku menatap lekat wanita keduaku itu, dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku sangat berharap bahwa ia akan mengatakan bahwa itu bukan dirinya. Namun, apa semua bukti yang Namira bawa ini tak benar adanya? Mana mungkin semua sekebetulan ini?"Bella, jawab." Pada akhirnya aku juga memberanikan diri dengan sedikit membentak istri keduaku itu, dadaku berdetak tak beraturan, takut dan malu jika sampai Bella benar bukan wanita baik-baik."Mas, apa kamu tidak mengenalku? Mana mungkin aku tidur dengan pria lain, sampai-sampa