Share

Bab 6

Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.

Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.

Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.

Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis karenaku.

Aku menyesal, sebagai seorang anak tega menyakiti hati ibuku seperti itu. Bahkan seharusnya aku lah yang membahagiakan ibuku, tapi ternyata justru aku menyakitinya begitu dalam.

Kuusap pelan air mata yang jatuh di pipi, lalu beranjak meninggalkan tempat persembunyianku. Hatiku rapuh, ternyata kesenangan yang kudambakan sedikitpun tak kudapatkan kini.

"Iya, aku udah buka paketnya. Sekali lagi makasih, ya." 

Tunggu, i-itu seperti suara Namira. Pukul satu dini hari dan dia masih mengobrol dengan seseorang?

Hatiku yang semula hancur kini berganti dengan amarah yang memuncak, ketika kudengar samar seorang yang tengah mengobrol di ruang tamu. Lagi-lagi aku mengendap, berusaha menajamkan pendengaranku agar semua pembicaraan Namira dapat kudengar.

"Ya, aku tahu. Semua ini memang sulit bagiku, tapi aku tak punya pilihan lain. Aku harus tetap kuat dan berdiri tegak demi anak-anakku. Aku tidak ingin mereka melihatku saat hancur, semua itu bakal menjatuhkan mentalnya juga kan, Leo?"

Leo lagi? Astaga! Sebenarnya siapa Leo itu?

Kulihat dengan jelas saat ia tengah mendengarkan suara dari seberang sana sembari menyandarkan tubuhnya di kursi. Tampak gurat kesedihan dalam wajahnya, sangat berbeda jauh dengan Namira yang kutemui ketika berhadapan langsung denganku. Sangat garang.

"Iya, tolong terus bantu aku. Aku masih sangat butuh bantuanmu. Paketmu siang tadi sangat berarti. Aku akan menyimpannya dengan baik." 

Namira menutup telepon begitu pembicaraannya selesai, membuatku semakin penasaran dengan sosok Leo dan paket yang sampai siang tadi. Jika mereka tak ada hubungan apapun, mana mungkin mereka terlihat sangat dekat seperti ini? Apa mungkin sebenarnya Namira juga memiliki pria lain di belakangku? Seperti saat aku membohonginya?

Aarrgghh

Dia benar-benar membuatku pusing, pernikahan kedua yang seharusnya membuatku bahagia justru membuatku semakin pusing tak berkesudahan.

Aku lantas melangkah masuk ke dalam kamar dengan geram. Namun, saat kulihat tubuh Bella tidur pulas di atas ranjang rasanya segala rasa emosiku beberapa saat yang lalu hilang begitu saja. Ia begitu memabukkanku, wajahnya membuatku lupa akan semua masalah yang sedang menerpaku.

Ah, beruntung sekali aku memiliki istri kedua sepertinya. Meskipun sejujurnya aku tidak mengetahui secara pasti latar belakangnya, karena aku bertemu dengannya saat datang kesebuah club malam.

Tapi tidak, aku yakin dia wanita baik-baik. Dia mengatakan bahwa malam itu dia hanya diajak oleh temannya, buktinya saja setetes alkohol tak ia minum sama sekali.

Dengan pelan kupeluk erat tubuhnya, menenggelamkan wajahku di atas bantal empuk lalu mulai masuk ke dalam alam mimpi. Semoga saja esok hari semua sudah berjalan seperti yang aku harapkan.

***

'Pyaarrrr'

"Astaga ... Apa-apaan ini! Dasar bocah nakal!"

Kedua netraku mengerjap ketika mendengar suara bising di luar kamar. Kuusap pelan mataku yang masih terasa sangat lengket, karena seingatku baru pukul tiga lagi tadi aku bisa tidur.

Hari senin, hari yang seharusnya menjadi awal hari yang menyenangkan tapi justru menjadi hari yang sangat suram. Dimana kulihat istri keduaku tengah bermandi tepung di tengah dapur.

Bella berteriak sekeras-kerasnya, dengan mengacungkan tangannya hendak menampar Zafar ketika entah untuk keberapa kalinya Zafar melemparinya dengan tepung dan pecahan gelas berserakan di lantai. Kulihat Namira mendekat dan menahan lengan Bella yang hendak menampar anak bungsuku.

"Mau apa kamu? Menampar anakku?"

"Dengar! Ajari anakmu sopan santun pada orang tua! Pantas saja suamimu cari istri baru, ternyata begini caramu mendidik anak. Murahan sekali!" omel Bella ketika Namira mencengkeram lengannya.

Aku berdiri terpaku menyaksikan kedua istriku itu berseteru, sepagi ini dan mereka sudah bertengkar. Astaga!

"Bukan anak-anakku yang salah. Bukannya kamu yang lebih dulu mengganggu mereka? Apa kamu tidak punya tangan untuk mengambil minum sendiri tanpa merebut milik Kirani?" jawab Namira lantang, membuatku sedikit bingung. Mana mungkin Bella bersikap seperti itu, ia tak mungkin berbuat serendah itu bukan?

"Alah, memang seharusnya begitu, kan? Kamu, kamu, kamu sudah sepantasnya melayaniku," tegur Bella dengan menunjuk mereka satu persatu, bahkan Zafar yang belum mengertipun ikut dalam daftar amukan Bella.

Aku menggeleng pelan, Bella seharusnya tak perlu begitu juga. Bukankah anakku sama juga anaknya?

'Plakk'

Satu tamparan keras Namira layangkan di pipi kiri Bella, membuatku terperanjat. Aku lantas mendekati mereka, karena aku yakin Bella akan membalas perbuatan Namira.

"Hentikan! Buat apa kalian pagi-pagi begini ribut?"

"Mass, lihat. Istri tua dan anakmu jahat padaku," ucap Bella merajuk.

Aku menghela nafas pelan, lalu merengkuh pinggang Bella.

"Anak-anak. Ini juga ibumu, tolong baik juga padanya, ya?" kataku sangat lembut pada Kirani dan Zafar.

Namun, bukan sambutan baik yang kudapat tapi malah tendangan kasar dari Zafar.

"Adek benci Ayah!" bentak Zafar keras, lalu meninggalkanku.

"Kirani tak butuh Ayah lagi!" Satu ucapan Kirani turut membuatku tak berdaya, bahkan sebelumnya Kirani sangat dekat denganku.

"Hei, tunggu ... Kirani, Zafar, dengar ayah dulu," teriakku lantang saat mereka telah beranjak meninggalkanku yang masih memeluk pinggang Bella.

"Sudahlah, Mas. Nggak usah digubris bocah ingusan kaya gitu," sahut Bella berbisik di telingaku, sedangkan kulihat Namira mendelik ke arahku dengan tatapan tajam.

"Lihat, bahkan sekarang dirimu sudah tak ada harga dirinya lagi di hadapan anakmu," ucap Namira sebelum ikut meninggalkanku dan Bella di dapur.

Entah kenapa, hatiku sakit, begitu sakit ketika melihat orang-orang yang kusayangi perlahan menjauhiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status