Share

Mr. Fragrant and Me
Mr. Fragrant and Me
Penulis: mykenziea

Part 1

Menurut Kalandra, ketakutan terbesarnya adalah ruangan sempit yang gelap nan pengap, serta serangga dan hewan melata. Namun hari ini sepertinya ia akan menemukan sebuah ketakutan barunya, yaitu keramaian. Ini hari pertamanya ospek di kampus dan ia tanpa sengaja lupa membawa topi pantai yang sudah diperintahkan oleh panitia ospek untuk dibawa hari ini. Malang nasibnya, karena hal itu Kala– panggilan Kalandra, harus menggunakan topi yang terbuat dari baskom kecil. Hal itu membuatnya malu karena harus tampil beda. Ia diam – diam melirik barisan sahabatnya yang terletak agak jauh darinya. Dira– sahabatnya itu hanya memandang Kala dari tempatnya dengan tatapan iba.

Dalam hati, Kala merutuki dirinya yang sangat amat pelupa. Padahal ia sudah menyiapkan topi pantai itu sejak tiga hari yang lalu namun yang terjadi pagi ini malah di luar perkiraannya. Ia justru melengos begitu saja dari rumahnya dan melupakan topi tersebut yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Alhasil saat ini ia harus kuat mental menahan malu karena menggunakan topi yang berbeda. Belum lagi ia disatukan di dalam barisan mahasiswa lain yang juga lupa membawa perlengkapan. Lagi – lagi Kala merutuk, kenapa harus ia sendiri yang lupa membawa topi sedangkan yang lainnya malah lupa membawa name tag sehingga ia harus terlihat beda sendiri?

“Untuk adik – adik yang lupa membawa name tag, boleh ikut Kak Waldo. Nah, untuk adik satu – satunya yang lupa bawa topi, boleh ikut Kak Jevan ya.” Ujar seorang panitia perempuan yang tengah berdiri sembari tertawa– diikuti oleh mahasiswa lain.

Bibir Kala mencebik, ia menendang pelan kerikil yang ada di depan sepatunya sembari menggerutu pelan. Hari pertama ospek seharusnya seru jika saja ia tidak mempermalukan diri sendiri. Kala masih saja menendang – nendang kerikil sampai akhirnya sebuah suara serta aroma wangi dari seseorang memecah lamunannya. Bau sitrus serta teh bercampur menjadi satu membuat Kala teringat aroma seseorang yang ia kenal. Karena penasaran, Kala mendongak dan mendapati seorang lelaki tampan sedang berdiri selangkah di depannya.

Mata Kala membulat sempurna, juga bibirnya yang sedikit terbuka menggumamkan sebuah nama, “Kak Jevan?

Iya, kenapa? Ganteng?” Sahutnya yang langsung membuat Kala berkedip. “Mau sampai kapan bengong?”

“Hah?” Gumam Kala.

“Cepetan ikut gue, lo harus dihukum.”

“Hah?”

Jevan memutar bola matanya jengah. Tangannya lalu menarik tangan Kala entah kemana karena yang jelas, Kala sedang kehilangan konsentrasi karena bau harum yang dihasilkan Jevan. Beberapa menit ia tidak menolak tangannya ditarik oleh Jevan hingga akhirnya ia sadar ia telah masuk ke dalam ruangan berdebu yang hanya mengandalkan ventilasi sebagai sumber cahaya. Reflek, Kala mundur selangkah. Ruangan itu jelas – jelas ketakutannya. Namun saat hendak lari tangannya justru dicekal oleh Jevan.

“Mau ke mana lo?” Tanya Jevan. Ia memandangi tingkah Kala yang terlihat tidak nyaman. Namun seolah tidak peduli, Jevan tetap tidak membiarkan Kala keluar selangkah pun.

“Kak, please hukum apa aja tapi jangan ini, aku gak bisa.” Pinta Kala.

Kepala Jevan menggeleng. “Gak, ini udah yang paling ringan.”Tangannya tetap mencekal pergelangan tangan Kala erat saat gadis itu mencoba melarikan diri. “Jangan cerewet, lo cuma disuruh bersihin dikit doang.”

“Gak bisa, Kak Jevan. Aku takut–“

“Takut apa? Tikus?” Tanya Jevan yang disambut gelengan oleh Kala. “Yaudah jangan banyak protes atau lo kena poin.” Ia melepaskan cekalannya dari tangan Kala lalu mendorong gadis itu masuk ke dalam ruangan itu tanpa basa – basi.

Dari dalam, Kala menggedor pintu tersebut sekuat tenaga. Keringat dingin mulai mengalir di seluruh tubuh hingga pelipisnya. Pasokan udara mulai berkurang hingga napasnya terjengah – jengah. Namun ia masih belum menyerah, ia masih saja menggedor pintu yang dikunci Jevan dari luar. Lama kelamaan, suara gedoran pintu mulai melemah. Jevan menghela napasnya lega karena berpikir Kala tidak lagi memberontak. Ia mengeluarkan handphonenya lalu mulai bermain game o****e selama beberapa menit sebelum akhirnya sebuah suara benda jatuh memecah konsentrasinya.

Tangannya bergerak membuka kunci pintu ruangan tersebut. “Pelan – pelan dong kalau rusak–“ Mata Jevan melotot saat melihat Kala jatuh terbaring tepat di belakang pintu dan menghalangi jalan Jevan. Pupil mata lelaki itu bergetar panik. Ia berteriak memanggil Sangga– temannya, yang kebetulan berada di ujung lorong. Melihat Jevan yang berteriak panik, Sangga berlari dan bereaksi sama seperti Jevan saat melihat tubuh dan wajah Kala yang pucat pasi.

“Loh kenapa nih? Lo apain?!

“Tadi gue hukum dia buat bersihin ruangan–“

“Goblok ya lo? Kalau dia fobia ruangan gelap gimana? Lo gak nanya dulu?” Omel Sangga. “Ini kalau ketahuan yang lain bisa mampus panitia ospek!”

Jevan mengacak rambutnya. “Mendingan sekarang lo bantu gue buka pintu supaya bisa ngeluarin dia.”

Terus gimana? Kalau lo bawa ke ruang kesehatan ntar malah–“

“Biar gue bawa ke rumah sakit.” Sela Jevan. “Lo bantu gue sembunyiin dari anak – anak. Bisa?”

                                     ***

Kedua mata Jevan mengawasi pintu ruangan rumah sakit dengan was – was. Sedari tadi ia hanya mondar – mandir sembari menggigit bibir bawahnya gugup. Sebuah tepukan di pundak membuat Jevan menoleh. Ia mendapati seorang pria dan wanita paruh baya sedang menatapnya cemas. Hal itu membuat Jevan merasa bersalah seketika. Ia tak seharusnya menguncikan Kala di dalam ruangan gelap nan pengap itu di hari pertama ospeknya.

“Kamu yang nelepon kami?” Tanya pria itu.

Jevan mengangguk. “Pak, Bu, saya mohon maaf sebesar – besarnya atas kesalahan saya pada Kalandra. Saya berniat ngasi hukuman buat Kalandra atas kesalahannya tapi malah bikin dia begini. Saya mohon jangan laporkan pada pihak kampus karena ini sepenuhnya salah saya.” Kepala Jevan menunduk penuh penyesalan.

Pria dan wanita paruh baya yang merupakan orang tua Kalandra saling menatap satu sama lain lalu tersenyum lembut pada Jevan. “Gak apa – apa, nak. Boleh kami tau nama kamu siapa?” Tanya Yola–Bunda Kala.

“Jevan, Bu.”

“Untuk masalah ini kamu, kami maafkan. Tapi boleh kami hubungi orang tua atau wali kamu?” Ujar Reno– Ayah Kala.

Jevan yang tadinya hendak bernapas lega langsung membelalak panik. “Harus orang tua, Pak?”

“Anak – anak seumuran kalian memang harus dihubungkan dengan orang tua untuk masalah seperti ini. Bisa kami minta kontak orang tua kamu, Jevan? Atau kamu mau hubungi sendiri?” Tanya Reno.

Dengan ragu Jevan menelepon orang tuanya dan sudah dapat ditebak, Mamanya mengomel sepanjang panggilan. Telinga Jevan terasa panas hingga ia diam – diam merutuki kesialannya hari ini. Sembari menunggu Kisa– Mama Jevan datang, kedua orang tua Kala masuk ke dalam ruangan tanpa Jevan. Ia masih punya muka untuk masuk ke sana. Rasanya agak tidak pantas dan memalukan jika ia harus masuk ke dalam ruangan tempat gadis yang tanpa sengaja ia celakai.

Tak berapa lama, Kisa datang dengan wajah panik sekaligus marah. “Jevan! Kamu tuh dari dulu nakal banget sih? Sehariii aja Mama minta gak usah bikin masalah. Bisa gak?”

“Aku gak sengaja, Ma.”

“Gak sengaja apanya! Bikin anak orang masuk rumah sakit sampai orang tuanya manggil Mama. Malu – maluin Mama ajakamu tuh!” Omel Kisa. “Awas ya kalau sampai anaknya kenapa – napa, gak usah pulang kamu!”

“Tapi–” Kesah Jevan.

Kisa menatap Jevan tajam. “Jawab lagi Mama ngomong? Mama jewer telinga kamu.”

                                       ***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
kurniamamang
This is one of the best story I've read so far, but I can't seem to find any social media of you, so I can't show you how much I love your work
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status