Share

Part 4

Sepulangnya Jevan dari rumah sakit, Kala mendadak murung.Hal itu pun disadari oleh Yola yang saat itu sedang mengupas buah – buahan. Senyum tipis terbit dari bibir wanita paruh baya itu. Ia lalu berjalan mendekati Kala lalu duduk di samping gadis itu.

“Kala, mau buah lagi?” Tanya Yola.

Dengan cepat Kala menggeleng. “Gak ah, Bun. Kala kenyang.”

Yola terkikik kecil melihat putri satu – satunya yang selalu ceriwis mendadak murung. Ia mengelus rambut Kala pelan. “Nanti gak cantik loh, kalau cemberut.”

“Kala gak cemberut, Bunda. Muka Kala emang gini.” Balas Kala yang membuat Yola terkekeh. “Lagian ngapain Kala harus cemberut?”

“Gara – gara Jevan pulang kali?” Tebak Yola.

“Mana ada!” Elak Kala.

“Beneran juga gapapa kok. Bunda tau kamu kangen sama Jevan.”

Reflek, Kala mencebik. “Kak Jevan kok gak inget sama Kala ya?

“Nanti lama – lama juga inget, kamu harus semangat makanya supaya Jevan bisa inget kamu. Jangan cemberut lagi, oke?” Hibur Yola.

Kepala Kala mengangguk. Ingatannya terbang pada seorang anak lelaki tampan yang lebih tua tiga tahun darinya. Anak lelaki itu tersenyum lebar padanya hingga matanya hilang dan menampilkan bulan sabit. Kala kecil membalas senyuman itu dengan semangat. Kenangan indah Kala, itu sebutan Kala pada memori itu. Diam – diam ia tersenyum kecil mengingat kenangan lain yang terukir jelas di otaknya. Bagaimana anak lelaki itu menggandeng tangannya saat berjalan bersama, bagaimana anak lelaki itu mengelus kepalanya ketika ia menangis, serta ucapan anak lelaki itu yang selalu ia ingat : Aku sayang Kala.

Di sisi lain, Jevan yang tengah menyetir menuju rumahnya kembali merasa resah. Hari sudah mulai sore dan ia tidak punya pilihan selain pulang ke rumah karena apartemen Brian yang harusnya bisa jadi tempat ia menumpang tiba – tiba saja dipakai oleh sepupu sahabatnya itu. Hal itulah yang membuat kembaliJevan merutuki kesialan bertubi – tubi yang terjadi padanya hari ini. Hingga akhirnya, Jevan memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya dengan terpaksa alias pulang ke rumah.

Saat pintu rumah terbuka, tampaklah Kisa dengan wajah sinisnya menyambut Jevan.

“Kok pulang? Gak ada tempat tinggal ya?” Sindir Kisa.

Jevan menghela napasnya. “Ma, aku capek, butuh istirahat. Debatnya nanti lagi ya?”

“Heh!” Kisa menarik kerah baju Jevan. “Gak sopan banget sih!Izin dulu lah sama Mama kamu mau numpang tidur.”

Tapi ini kan rumah aku juga, Ma.” Desah Jevan putus asa.

“Siapa bilang? Mama lagi ngurus surat – surat buat pencoretan nama kamu dari kartu keluarga.”

Kedua mata Jevan terbelalak. Ia melompat ke sofa di samping Kisa dan merampas kertas yang ada di tangan Kisa. Ia menatap Kisa tak percaya. “Ma, apa – apaan sih? Gak lucu.”

“Emang Mama gak ngelawak,” cetus Kisa lalu kembali merampas kertas di tangan Jevan. “Kamu kan gak mau dengerin kata Mama lagi, jadi lebih baik di coret aja.”

Tangan Jevan menjambak rambutnya sembari mengerangfrustasi. Kepalanya seakan ingin meledak mendengar ucapan – ucapan yang keluar dari mulut Kisa. “Mau Mama apa sih?”

“Kamu nikah, sama Kala.”

“Ma, aku sama Kala gak saling kenal!” Ujar Jevan kesal. “Dia masih muda banget buat nikah, aku juga belum punya pekerjaan tetap. Kalau aku nikah sama dia, kita makan apa?”

Kertas – kertas yang tadinya Kisa pegang, ia hempaskan begitu saja ke atas meja. “Ketika kamu nikah sama Kala, kamu otomatis jadi pewaris perusahaan mereka. Dan Mama juga bakal kasi sebagian saham perusahaan kita ke kamu.”

“Ma–“

“Tetep gak mau, kan?” Potong Kisa. Ia mengendikkan bahunya. “Gak ada pilihan lain.”

Jevan menggenggam tangannya kuat – kuat guna menahan amarahnya. “Aku belum siap nikah, Ma. Bahkan aku gak pernah pacaran dengan serius gimana aku–“

“Makanya nikah sama Kala supaya kamu bisa serius, bisa tanggung jawab!” Potong Kisa lagi. “Apa lagi sih keluhan kamu tuh, Jev? Pekerjaan dapet, uang dapet, kehormatan dapet, istri cantik dapet. Apanya yang kurang?”

“Kebebasan.”

Kisa mendecih. “Yang selama ini Mama kasih ke kamu itu apa? Bukan kebebasan? Mama biarin kamu milih jurusan yang kamu mau, Mama biarin kamu berbuat sesuka kamu, tinggal dimana pun yang kamu mau. Itu bukan kebebasan kah, Jevano Adirangga?”

“Aku–“

“Pilihannya cuma dua,” desis Kisa. “Nikahin Kala atau kamu terpaksa dicoret dari keluarga Adirangga.”

“Mama, dengerin aku–“

“Pilih, Jevan.” Kisa menekan kata – kata yang keluar dari mulutnya.

Suasana terasa panas, Jevan mengusap wajahnya kasar. Dari sekian banyaknya konflik kehidupan, kenapa ia harus dihadapkan dengan pilihan sulit seperti saat ini? Umurnya masih di awal kepala dua dan ia harus menikahi seorang gadis yang masih berumur belasan? Ia bahkan belum pernah berpacaran dengan serius lalu bagaimana ia bisa memperlakukan Kala sebagai istri dengan benar?

Banyak sekali kemungkinan – kemungkinan yang muncul di benak Jevan. Ia berpikir bagaimana jika suatu saat ia dan Kala bercerai? Sungguh, Jevan tidak ingin menikah lebih dari sekali.Ia tidak mau dirinya menjadi duda.

“Jevano! Kamu dengerin Mama gak sih?!”

Badan Jevan berbalik, ia memijit pelipisnya pelan. “Satu pertanyaan, apa Kala tau kalau aku harus nikah sama dia?”

Kisa mengangguk mantap membuat Jevan kembali mengusap wajahnya pelan. Ternyata Kala tau dan ia sama sekali tidak bersikap aneh pada Jevan tadi yang berarti tidak ada penolakan sedikit pun dari gadis itu membuat pikiran Jevan semakin keruh.

“Oke,” ucap Jevan membuat Kisa menatapnya penuh harap.“Aku bakal nikahin Kala.”

Mata Kisa terbelalak. “SERIUS?!”

“Tapi dengan syarat dia gak boleh membatasi aku,” ujar Jevan final.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status