Share

Part 2

“Ma, kalau mau hukum aku jangan gini dong. Kan banyak cara lain,” keluh Jevan di perjalanan menuju parkiran mobil. Iamencoba menyamakan jalannya dengan Kisa. Ia tidak peduli jika ada orang yang menertawakannya karena apa yang barusan terjadi justru lebih gawat daripada wajah memelasnya sekarang.

“Cara lain emang banyak tapi gak ada yang mempan. Biar kamu tau rasa deh Jev, Mama capek besarin kamu sampai begini tapi bandelnya gak kelar – kelar. Mau sampai kapan kamu tuh gini terus?” Omel Kisa. Ia berkali – kali menghempaskan tangan Jevan yang sedari tadi mencoba meraih bahunya.

Lidah Jevan mendecak. “Kan aku udah bilang sama Mama aku gak sengaja. Lagian ini tuh gak parah – parah banget, Ma. Dia cuma pingsan. Palingan sore ini atau besok udah sadar.”

Dia syok Jevan! Dia itu trauma sama ruangan yang tadi kamu tunjukkin ke dia! Masih untung masih bisa diselamatkan. Kamu tuh dari dulu kebiasaan banget apa – apa diremehin. Alergi kamu sama banyak hal itu memangnya bisa diremehkan? Dia bisa mati, Jevan. Kamu sadar gak?”

“Ma–“

“Kamu tuh gak pernah mau dengerin kata Mama. Kamu mau apa dari kecil juga Mama turutin, Jev. Bisa gak sekali aja kamu turutin kata Mama? Mama gak minta banyak.” Ujar Kisa. Matanya mulai berkaca – kaca. Bahunya naik turun akibat napas yang terengah – engah.

“Ma, aku bakal turutin apa pun perkataan Mama dari sekarang. Aku janji. Tapi untuk yang satu ini aku gak bisa. Jalan hidup aku masih panjang, Kala juga. Kita gak mungkin nikah di usia semuda ini.”

Baik Kisa maupun Jevan, keduanya terdiam. Jevan memijit pelipisnya pelan sembari menatap Kisa memohon. Tadi, saat kedua orang tua Kala dan Kisa berbicara, Jevan mengetahui sebuah fakta mengejutkan bahwa Papanya mengenal baik kedua orang tua Kala. Dan mendiang Papanya itu ternyata 'menjualnya' kepada orang tua Kala untuk dinikahkan dengan Kala. Ia bisa gila jika harus menikah saat ini. Impiannya masih teramat banyak, jiwa mudanya masih menggelora, belum lagi untuk mengurus diri sendiri saja ia masih belum bisa. Bagaimana ia bisa bertanggung jawab akan kehidupan seorang gadis yang baru saja menginjakkan kakinya di bangku universitas?

“Udah ya, Ma? Kita masih punya–“

Tangan Kisa terangkat seolah menyuruh Jevan untuk berhenti.“Kamu udah dengar sendiri alasannya kenapa Mama setuju kamu nikahin Kalandra.”

“Aku bisa kerja buat balas budi mereka dulu ke kita! Mama gak perlu nyuruh aku nikah sama orang yang aku baru ketemu tadi dan bahkan belum aku kenal!” Jelas Jevan frustasi.

“Mereka gak butuh uang, Jevan. Mereka butuh orang yang bisa jagain Kalandra dan perusahaan mereka.”

“Tapi kenapa harus aku?! Aku bahkan udah hampir bikin Kala mati dan aku juga yang disuruh jagain dia?” Ucap Jevan frustasi.“Aku gak pernah tau menau soal hutang budi dan janji yang terjadi di antara kalian, Ma. Aku gak bisa kalau kaya gini.

“Jadi kamu gak rela berkorban buat Mama sama Papa?” Cetus Kisa lalu mendecih. “Jangan pernah berani kamu pulang sebelum memutuskan buat nikahin Kalandra.”

Jevan terdiam. Ia hanya bisa menunduk dan merutuki kebodohannya hari ini. Jika saja Kala tidak lupa membawa topi pantai, ia tidak akan perlu menghukum gadis itu dan membuat gadis itu pingsan. Kepalanya terasa nyut – nyutan sekarang mengingat ia tidak bisa pulang ke rumah mengingat Kisa sangat marah padanya tadi. Jevan yakin, Kisa pasti memblokir akses kartu kredit serta apartemennya sehingga ia terpaksa pulang dan memohon maaf lalu mewujudkan keinginan Mamanya itu.

Jevan mendecak, lalu masuk ke dalam mobil Audi A5-nya dan melaju membelah jalan raya.

***

Saat Jevan keluar dari dalam mobilnya yang terparkir sempurna di parkiran kampus, saat itulah bisikkan hingga pekikkan penghuni kampus mulai terdengar. Beberapa diantara mereka berdecak kagum, beberapa pula terang – terangan memanggil Jevan tanpa malu. Yang dipanggil hanya acuh berjalan melewati kumpulan gadis – gadis kurang kerjaan yang mencoba membuat Jevan terpukau atau sekedar menoleh.

Tidak ada yang tidak mengenal Jevano Adirangga di kampus ini.Ia adalah mahasiswa semester akhir di jurusan bisnis yang terkenal pintar, berbakat, dan berwajah tampan. Belum lagi bau parfumnya yang sudah tercium dari jauh serta aromanya yang tetap ada walaupun ia sudah pergi dari beberapa menit sebelumnya membuat Jevan semakin terkenal di kalangan mahasiswa maupun dosen.

Saat sedang berjalan di tengah keramaian kampus, Jevan tiba – tiba saja ditarik oleh Sangga dan Brian yang merupakan sahabatnya menuju kantin.

“Lama banget lo nganterin ke rumah sakit doang,” Protes Sangga. Ia merangkul tubuh jangkung Jevan yang langsung ditepis Jevan sendiri.

“Muka lo kusut, Jev. Kenapa nih? Biaya rumah sakitnya mahal ya?” Tebak Brian yang dibalas gelengan oleh Jevan.

Lelaki itu mendecak kasar kala Sangga lagi – lagi merangkul bahunya. “Pegel, goblok. Ringan kali lo rangkul – rangkul gue.”

“Dih, kasar. Kenapa sih lo sensi amat? Cerita kali.”

“Tau nih, jangan kaya cewek deh harus dibujuk dulu baru mau cerita.” Sambung Brian.

Ketiganya duduk di bangku kantin bersamaan dengan suara perempuan yang memanggil nama Jevan dari kejauhan. Sangga dan Brian bersiul menanggapi panggilan perempuan tersebut pada Jevan.

“Khawatir dia ditinggal tiba – tiba kaya tadi.”

Apa perasaan dia ya kalau tau pacarnya gendong cewek lain?”

Jevan mendecak. “Diem.”

Sedetik setelahnya, seorang gadis cantik dengan rambut lurus sebahu duduk di depan Jevan, Sangga dan Brian. Ia tersenyum manis. “Tadi kamu kemana Jev?”

Sangga menatap Brian lalu mengisyaratkan pada lelaki itu untuk pergi. “Eh, gue sama Brian duluan ya Jev, Cha.”

“Iya, Sangga. Mau kemana?” Tanya Ercha.

“Minta ditemenin boker dia, biasa.” Ucap Brian yang dibalas dengan makian dari Sangga. Keduanya lalu pergi, meninggalkan Jevan dan Ercha berdua di meja kantin.

Ercha menatap Jevan sembari tersenyum manis. “Aku nanya loh, Jev. Kamu kemana tadi?”

“Ada urusan,” Balas Jevan seadanya. Ia menatap Ercha, “Lo ngapain?”

“Oh, gapapa, tadi mau ngasi kamu makanan sebenernya. Aku ada bawa nasi goreng dari rumah. Kamu laper gak?” Tangan Ercha menyodorkan kotak bekal berisi nasi goreng yang tampak lezat.Namun karens tak bernafsu makan, Jevan menggeleng. “Kenapa Jev? Gak suka ya? Mau aku pesenin makanan lain aja?”

“Gue gak laper.”

Ercha terdiam sejenak lalu kembali tersenyum. “Kalau kue–“

“Buat lo aja, gue masih ada urusan.” Jevan beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Ercha.

Ia melangkahkan kakinya menuju ruang panitia ospek lalu masuk dan mendapati Waldo, sang ketua panitia ospek yang sedang sibuk mengurus ini dan itu di tangannya. Namun ketika melihat kehadiran Jevan, lelaki itu langsung menoleh dan tersenyum lebar.

“Eh, Jevan. Gimana? Baru selesai ngasi hukuman?” Tanya Waldo sembari sesekali melirik kertas – kertas di tangannya.

“Yoi,” jawab Jevan. “Lo ngasi hukuman apa ke maba tadi?”

“Gak berat – berat amat sih, gue gak berani juga takut dimarahin pihak kampus kaya tahun lalu. Jadi gue suruh nyari artikel tentang kewajiban berseragam lengkap aja. Kenapa?”

“Gapapa, nanya doang.”

Waldo mengendikkan bahunya acuh. “Eh lo bagian dokumentasi, kan? Jangan lupa foto – foto selama acara tadi diedit ya? Bilang sama yang lain juga sore ini kita rapat buat besok.”

“Lo suruh Sangga aja bisa gak? Gue mau izin, lagi gak enak badan.” Ucap Jevan.

“Tiba – tiba banget?” Tanya Waldo yang dibalas dengan anggukan oleh Jevan. “Yaudah ntar lo bantu cari info soal maba yang gak ikut ospek hari ini aja ya. Masalah rapat ntar gue koordinasikan lagi sama yang lain.”

Eh, gue

Belum sempat Jevan menyelesaikan kalimatnya, Waldo sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Jevan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status