Share

Part 3

"Bri, minjem apart.”

“Hah–“

Tut.

Jevan memutuskan panggilan teleponnya pada Brian secara sepihak. Dirinya sudah terlanjur pusing dengan serangkaian kejadian hari ini jika harus mendengar ocehan sahabatnya itu.Sesampainya di depan apartemen Brian, ia langsung memasukkan password dan masuk ke dalamnya. Belum rasa pusingnya hilang, sebuah notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul di layar handphonenya.

From : +62821xxxxx

Kak Jevan, ini Kala. Save ya.

Reflek, Jevan membanting handphonenya ke sofa terdekat. Tanpa bertanya pun ia sudah tau siapa pelaku di balik penyebaran nomor teleponnya. Tanpa basa – basi, Jevan menekan nomor Kisa dan menelepon Mamanya itu.

“Kenapa?”

“Ma, kok nomor aku dikasi ke Kala sih? Aku kan belum setuju buat nikahin dia.” Protes Jevan.

Di ujung sana, Kisa menghela napasnya. “Mama ngasi nomor kamu sebagai pihak orang tua yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang diakibatkan anak Mama sendiri. Protes mulu hidup kamu tuh. Masalah kita yang tadi belom kelar. Jadijangan bikin Mama tambah marah.”

“Gak usah pakai ngasi nomor aku kan bisa,” ujar Jevan yang mencoba agar Kisa dapat melunak.

“Mama gak mau denger alasan lagi. Kamu sekarang dimana?Jangan coba – coba kabur, kartu kredit kamu udah Mama blokir. Apartemen juga Mama ganti password.”

Udah tau, hafal aku kebiasaan Mama kalau marah.”

“Bagus, kalau gitu sekarang kamu ke rumah sakit tempat Kalandra dirawat. Kamu bicara baik – baik sama dia pokoknya.

“Bicarain apa lagi sih, Ma?”

Ya kamu minta maaf lah, Jevano. Kamu itu laki – laki bukan sih? Harusnya kamu tau kalau kamu punya salah itu kamu harus apa. Bukannya malah nunggu Mama suruh minta maaf baru minta maaf. Berasa gagal Mama besarin kamu, Jev.” Dumel Kisa. “Gak ada penolakan, atau Mama gak akan kasi balik kartu kredit dan apartemen kamu.”

“Iya – iya, ini aku ke sana.” Jevan mematikan panggilannya lalu menendang sofa di hadapannya. “Jevan goblokkk bikin masalah mulu.” Makinya pada diri sendiri sembari mengacak rambutnya kasar.

Ia meraih kunci mobil yang tergeletak di atas sofa lalu keluar dari apartemen Brian dengan wajah luar biasa kusut. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Jevan tak henti – henti merutuki dirinya sendiri. Sedari kecil, apa yang ia mau akan selalu dituruti oleh Kisa dan mendiang Papanya yang meninggal lima tahun lalu. Ia lahir sebagai anak tunggal yang selalu dimanjakan. Apapun yang ia lakukan akan selalu didukung oleh kedua orang tuanya walaupun ia memang nakal. Apalagi setelah kepergian Papanya, Jevan semakin tak bisa diatur membuat Kisa pusing mengurus anak lelaki satu – satunya itu.

Selama ini Kisa memang marah padanya apabila ia membuat masalah atau kekacauan. Tapi Kisa tidak pernah semarah ini sebelumnya dan hal itu membuat Jevan sangat amat resah. Pikirannya kacau balau ketika mendengar kedua orang tua Kala dulunya pernah membantu perusahaan Papanya yang hampir bangkrut ketika Papanya sakit. Jevan tidak pernah tau dan ia merasa marah karena merasa menjadi anak yang tidak berguna sampai – sampai masalah bangkrutnya perusahaan Papanya ia tak pernah tau. Apalagi ia tau ketika pagi tadi tanpa sengaja Kisa bertemu kedua orang tua Kala yang ‘berjasa’ dulunya. Pantas saja wanita itu mati – matian menyuruh Jevan menikahi Kala yang bahkan belum ia kenal.

“Jevan?” Panggil Yola– Bunda Kala yang memecah lamunan Jevan yang sedang berdiri di depan ruangan Kala.

Jevan tersenyum canggung. “Iya, Tante. Kala udah sadar?”

“Udah, kamu mau masuk?” Tanya Yola ramah membuat Jevan yang tadinya panas perlahan melunak karena melihat keramahan Yola.

“Saya boleh masuk?” Jevan bertanya ragu.

Yola tersenyum kecil. Masuk aja, Tante ada perlu ketemu Dokter. Kamu bisa tolong jagain Kala sebentar?”

Kepala Jevan mengangguk pelan mengiyakan permintaan Yola. Setelah Yola pergi, dengan ragu Jevan membuka pintu ruangan dan menampakkan tubuh Kala yang sedang bersandar di ranjang rumah sakit sembari mengunyah apel di tangannya.

“Loh, Kak Jevan?” Ujar Kala yang melihatnya di muka pintu.

Ekspresi Kala yang tersenyum ramah membuat Jevan terperangah. Ia pikir Kala akan marah padanya, namun sebaliknya, gadis itu justru memanggil namanya untuk masuk dan duduk di samping ranjang.

“Lo gapapa?” Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Jevan setelah beberapa menit terdiam.

Kunyahan Kala terhenti, gadis itu kembali tersenyum. “Gapapa, kok. Kak Jevan ngapain ke sini?”

Lagi – lagi Jevan terdiam, ia menatap kedua mata Kala yang berbinar lembut serta tangannya yang terpasang jarum infus. “Gue mau minta maaf.” Ucap Jevan. Ia membasahi bibirnya pelan. “Gue ngerasa bersalah karena ngasi lo hukuman yang parah banget kalau dipikir – pikir.”

Kala mengangguk pelan. Sebenernya gak parah – parah banget sih. Akunya aja yang gak bisa dikasi hukuman begitu. Lagian,Kak Jevan kan gak tau. Kata Kala. Ia lalu menoleh dan menatap Jevan. “Ngomong – ngomong, makasih ya Kak udah bawa aku ke rumah sakit.”

Untuk kedua kalinya Jevan terperangah, apa tadi katanya? Makasih?

“Lo gak salah bilang makasih ke gue? Gue hampir bikin lo mati loh.” Ujar Jevan. Alisnya mengernyit bingung dengan mata yang menatap Kala.

“Kan aku udah bilang, Kak Jevan gak sengaja. Kalau Kak Jevan sengaja, pasti Kakak biarin aku mati gak napas di ruangan tadi.” Jelas Kala masih dengan sisa apel di mulutnya. “Udah ah, gak usah dibahas lagi. Aku baik – baik aja nih sekarang, udah bisa makan apel.” Cengir Kala.

Ucapan Kala membuat Jevan mendadak tak bisa berkata – kata. Mulutnya seolah dibungkam sesuatu yang membuatnya tak bisa mengucapkan sepatah kata pun dari mulutnya. Senyuman Kala, kata – kata yang keluar dari mulutnya itulah penyebabnya. Jevan mendadak dibuat bingung, sihir apa yang Kala lakukan padanya sehingga ia menjadi seperti ini?

Ia tidak pernah merasa terbungkamkan oleh seseorang selain Mama dan mendiang Papanya. Rasanya terlalu tiba - tiba jika Kala— gadis yang Kisa bilang harus dinikahinya— bisa membungkamnya hanya dengan cengiran, senyuman, dan beberapa patah kata yang sebenarnya tidak seberapa.

Mata Jevan memandangi wajah Kala yang tetap cantik walau sedikit pucat. Kulitnya putih, bibirnya tipis, pipinya sedikit berisi walaupun bisa dibilang tirus. Hidungnya yang mancung, matanya yang bulat dibingkai dengan bulu mata lentik serta alis yang rapih membuat Jevan—sejujurnya— merasa betah menatap gadis itu. Namun mengingat lagi kata - kata Kisa beberapa saat lalu, Jevan rasanya ingin marah pada Kala yang sedang mengunyah apel tanpa rasa bersalah itu.

"Kala," panggil Jevan.

Dua bola mata berbinar itu menatap Jevan dan lagi - lagi Jevan terdiam. Dua bola mata itu terasa familiar bagi Jevan. Tapi—ah Jevan mengalihkan pandangannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status