Share

1. Rey Dan Nina

6 tahun kemudian.

“Rey, kau tidak apa-apa ‘kan sering pindah sekolah karena ayahmu?”

Pemuda di belakang kemudi tidak menggubris, matanya serius menekuni setiap panel gambar di komik yang sedang ia baca, tiada satu pun kata terlepas dari pandangannya. Itu adalah komik detektif edisi khusus ‘Kasus dan Petunjuk’, tidak ada penyelesaian di bukunya. Lagipula Rey tidak butuh itu, ia sendiri yang akan menyelesaikannya. 

“Rey? Kau tidak mendengar pertanyaan ibu?” Wanita di balik kemudi mendecak pasrah, anaknya selalu begitu serius saat membaca kasus-kasus fiksi. Bahkan jika tidak dilarang sang ayah, ia bisa saja menangani kasus sungguhan dengan kemampuannya.

Mobil putih meliuk anggun menyalip beberapa motor, menepi di depan sebuah gerbang sekolah. Halaman luas di pekarangan sekolah tampak lengang, jam pertama sudah dimulai lima menit lalu.

Pemuda bernama Rey sontak menutup komiknya saat mobil sepenuhnya berhenti. 

“Aku mendengar pertanyaanmu, Bu. Aku selalu mendengarkannya. Hanya saja kau sudah menanyakan itu lebih dari lima kali sepanjang perjalanan pagi ini, dan tidak kurang puluhan ditambah pertanyaan sama tiap kali keluarga kita pindah rumah. Jadi aku tidak merasa harus menjawabnya.”

Rey beranjak setelah menutup pintu mobil, melambaikan tangan sembari tersenyum pada malaikan dunianya. Wanita itu membalas dengan senyum haru, tidak menyangka bayi kecilnya kini tumbuh menjadi pemuda tampan nan cerdas.

Satpam menghadang Rey di gerbang, namun segera mengizinkannya masuk setelah pemuda itu menjelaskan bahwa ia adalah murid pindahan yang baru masuk hari ini. 

Rey menyusuri koridor sekolah mantap, melintasi ruang-ruang kelas menuju kantor kepala sekolah. Beberapa guru menatap sekilas saat berpapasan. Mereka sudah dikabari jika ada murid pindahan, jadi tidak terkejut ada anak baru yang melangkah santai di luar kelas saat jam pelajaran. 

Kepala sekolah menyambut hangat murid baru yang kebetulan adalah anak dari teman dekatnya di masa kuliah dulu, rambut yang tak lagi hitam tersebut tampak disisir rapi mengikuti trend kekinian. Kacamata baca bertengger di tulang hidungnya.

“Selamat datang anak muda, bagaimana kabar ayahmu?” tuturnya ramah.

“Baik, Pak. Beliau menitipkan salam untuk anda, minta maaf karena belum bisa bertemu.”

Pria paruh baya itu terkekeh pelan di kursinya, beberapa guru senior melirik heran. Jarang sekali mereka menyaksikan kepala sekolah tertawa.

“Tak apa, tak apa, aku mengerti ayahmu pasti sibuk. Dia bisa datang kapan saja ke rumahku. Ayo langsung saja, akan kuantar kau ke kelasmu.” 

Rey membungkuk kecil mempersilakan pria itu berjalan melewatinya, lalu mengekor dua langkah di belakang, meninggalkan ruang guru.

Keduanya masih menobrol kecil di perjalanan menuju lantai dua bangunan letter U tersebut, sesekali Rey tersenyum saat mendengar cerita menarik tentang ayahnya semasa kuliah. Tiba di pintu kelas, guru yang sedang mengajar menghentikan tulisannya.

Pak kepala sekolah melangkah masuk, suasana kelas langsung mencekam. Image beliau dia mata murid memanglah super killer, padahal tabiat aslinya tidak sepenuhnya demikian.

Pria berambut keputihan berdeham berat sebelum berucap, “Pagi ini sekolah kita kedatangan murid baru dari luar kota. Silakan masuk.”

Rey yang sejak tadi berdiri di luar melangkah masuk, berdiri tegap di depan kelas. Rambut dipotong rapi, binar mata tegas. Selarit senyum ia lukiskan saat menyapu pandang murid lain, menyapa ramah. Sosok dengan aura optimist yang amat kental.

“Perkenalkan dirimu.”

“Selamat pagi! Nama saya Rey. Mulai hari ini saya akan belajar bersama kalian, terima kasih! Ada pertanyaan?” Perkenalannya disambut bisikan di antara para murid perempuan.

Pemuda itu terlihat sangat tampan dan cerdas.

"Maaf, Rey. Nama lengkap?" Seseorang mengacungkan jari.

"Tak ada, namaku hanya Rey." Jawaban yang membuat semua orang heran. Rey? Hanya itu saja?  Tidakkah orang tuanya memberi nama belakang?

"Oh, terima kasih"

Setelah beberapa lama jenjang tanya-jawab, Rey berlalu meninggalkan depan kelas, duduk di kursi belakang yang masih kosong.

Pelajaran yang digurui oleh guru killer pun dimulai seperti biasa. Ketegangan tidak memudar dengan bertambahnya satu personil, tapi antusiasme anak baru itu tetap terjaga meski suasana bagai neraka.

Selain karena memang ia tidak pernah punya masalah dengan sikap sifat orang lain, ada hal yang lebih menarik perhatiannya ketimbang pelajaran. Sosok gadis berambut hitam panjang di depannya, yang bahkan sedari awal tidak sedikitpun melirik ke arahnya.

-=9=-

Dua orang murid perempuan sedang menikmati bakso di sebuah warung yang tampak ramai, jam istirahat baru dimulai. Konon warung bakso itu sudah ada sejak tahun pertama sekolah mereka didirikan. Dan kini menjadi warung legenda favorit para murid.

Gadis berambut gelombang kecokelatan mengangkat kumpulan mie di depan mata, menerawang sesuatu yang mengikat perhatiannya saat jam pelajaran tadi.

"Nina, bagaimana pendapatmu tentang Rey?" Tiba-tiba ia bertanya, masih menatap jauh di balik mie yang sedari tadi diangkatnya. Masa depan, mungkin.

“Rey siapa?”

Mendapati pertanyaannya dibalas tanya, ia mendengus sebal. “Si anak baru! Kau benar-benar tidak tahu, heh?”

"Oh, dia. Entahlah, aku tak peduli," singkat Nina pada gadis yang tidak lain adalah Deary.

Mereka memang dekat sejak kecil. Tak ada perubahan berarti dari teman baiknya selain tinggi badan dan bentuk tubuh. Rambut dan kulit masih seperti dulu, gelombang dan kecokelatan.

"Huh, kau ini, selalu saja menolak peduli terhadap laki-laki, padahal kamu sangat  cantik, pintar, ...." Deary mengomel di sela makan, menasihati sahabatnya yang pendiam dan sama sekali tak memperhatikan.

"Na, kau tahu? Tadi malam 'The Number' beraksi lagi." Deary berhenti mengomel, mencari topik kesukaan si gadis sepi.

Nina terdiam sesaat sebelum menoleh, "Di mana kejadiannya?" tanyanya antusias.

"Di kota sebelah. Huh! Pembicaraan semacam ini barulah kau tertarik." Gadis berambut panjang mengulum senyum tipis sebagai balasan.

"Kau melihat beritanya sampai habis?" 

"Enggak, cuma sekilas, tidak begitu tertarik dengan hal seperti itu!" cueknya mengibaskan rambut gelap bergelombang. Pembicaraan mereka berlanjut sampai bel tanda masuk berbunyi, semuanya mengenai misteri. Gadis pendiam serupa melati itu memang misterius. 

Sejauh ini banyak laki-laki mengutarakan perasaan padanya, namun selalu ditolak. Meski ada beberapa yang berhasil mengajak kencan, semua berakhir sama, seperti dupa yang dibakar habis, hangus tanpa sisa. Tak pernah ada yang berhasil meluluhkan hati gadis itu, entah mengapa pendekatan mereka selalu berakhir dengan tembok pemisah.

Meski pada tahap awal kencan selalu berjalan lancar, tak pernah ada akhir bahagia, mereka selalu memilih untuk pergi. Mengapa? Hanya gadis itu sendiri yang tahu.

Matahari sudah mencapai batasnya mengangkasa, menumpahkan terik prahara, menyambut puncak penghidupan hari. Panasnya selalu dapat mengganggu aktivitas, disambut umpat dan gerutu penuh keluhan. Lupa jika tanpa ia, dunia mungkin tak pernah ada.

“Bagaimana kalau kita mampir ke rumahnya Nina untuk mengerjakan tugas kelompok?” usul Rey. Anthony, laki-laki jangkung berambut cepak yang menjadi ketua kelompok pun menyetujui, juga penasaran dengan rumah gadis pendiam itu. 

Tadi saat jam pelajaran biologi, kelas dibagi menjadi lima kelompok untuk mengerjakan tugas bersama. Dan sungguh kebetulan Rey bisa satu kelompok dengan gadis itu.

Sebenarnya si anak baru sudah memperhatikan Nina sejak pertama kali menyapu pandang ke penjuru kelas. Wajah cantik berbalut rambut panjang yang sedikit melengkung di ujung, bibir tipis, juga bola mata hitam legam. Sungguh damai dipandang. Hanya ia yang tak menunjukkan gelagat tertarik untuk berteman, atau sekedar berkenalan. Gadis manis itu bahkan tidak meliriknya.

Tapi yang demikian malah membuat anak cerdas itu memandangnya, ada hal yang menarik dari gadis ini. Sesuatu, ya, ada sesuatu yang dijaga baik-baik dalam kesendirian. Dibenam dalam-dalam di balik permukaan sunyi. Entah apa, tapi Rey tahu pasti dugaannya mustahil meleset.

Awalnya Nina menolak usulan tersebut mentah-mentah, tapi setelah berpikir, ia putuskan tuk menerima kedatangan mereka meski ragu. 

Di perjalanan, pikirannya memacu kencang. Terlalu banyak risiko membawa teman ke rumah, namun akan lebih berbahaya jika tak ada yang pernah berkunjung. Jelas lebih mencurigakan.

‘Aku tidak mungkin menahan mereka, apalagi Deary yang sedari kecil belum pernah melihat rumahku. Aku tidak bisa terus berlindung dibalik bayang-bayang atau mereka akan curiga, sesekali aku harus menunjukkan diriku. Harus! Kuharap paman sedang pergi.’

Ia bergumam dalam diam, memantapkan keputusan diri.

-=9=-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status