Share

NINE
NINE
Penulis: Mathima Zois

Prolog

Seorang lelaki terduduk di sudut pasar, darah segar mengalir dari luka pada lengan dan kaki. Tubuhnya kaku, hanya organ wajah yang masih berfungsi. Kedua tangan dan kaki mati total, akibat putusnya syaraf vital yang terhubung ke otak. Ditilik dari luka yang minim namun fatal, jelas semua ini perbuatan seorang profesional.

Malam itu, sewajarnya suasana gang kota saat matahari tenggelam, sepi membungkam. Ini bukan kota besar dengan bangunan gagah menjulang, tak ada keramaian lebih di kala puncak malam datang. Kalau bukan derik serangga dan desau angin dingin, mungkin keadaannya seperti ruang hampa.

Lelaki itu sudah berusaha minta tolong, bahkan sampai teriakan terakhir. Tapi tak ada seorang pun yang datang. Dunia benar-benar membuang muka. Rasa sakit terlupakan sudah, menyisakan rassa takut dan putus asa.

Seorang gadis kecil berdiri di hadapan pemuda itu, dengan santai memutar sebuah pisau ditangan, serupa bocah memainkan pena. Lihai, jelas jika ia tidak seperti anak kebanyakan. Ketenangan yang menggaris pada  matanya sungguh di luar batas.

"Denis, 21 tahun, mahasiswa dan kau ... seorang pelaku pedofilia." Gadis itu membaca identitas dari kartu pengenal orang di hadapannya. Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "sayang sekali kau salah memilih korban"

Lelaki bernama Denis menelan ludah, ketakutan tampak jelas terpancar pada matanya. Ia tak menyangka bocah yang seminggu terakhir menjadi target, punya kepribadian mengerikan. Siapa sebenarnya anak ini?

Permainan pisau berhenti, ia memasukkannya ke dalam tas. "Oh maaf, aku belum memperkenalkan diri. Walaupun, yah ... aku yakin paman pasti sudah tahu. Namaku Nina, 10 tahun, kelas 3." Nina tersenyum semanis mungkin, senyum yang malah membuat pria itu semakin diselubungi rasa takut. Tidak wajar gadis kecil bisa tersenyum saat tubuhnya berceceran darah.

Gadis berambut panjang itu memperhatikan pakaian sekolahnya, noda darah merembes dimana-mana, jelas tidak mungkin ia pulang dalam keadaan seperti ini. Bias-bisa ada orang yang melihat. 

"Gara-gara paman pakaianku jadi kotor, kalau sudah begini mau tidak mau aku harus menggantinya. Paman sih …." Ia mengomel panjang sembari membuka seragam sekolah.

Situasi seperti ini selalu diingatkan oleh pamannya, tak ada yang dapat mengetahui kapan ancaman tiba dan memaksanya bertindak tegas. Atau mungkin kejam. Maka untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, ia selalu membawa dua setel pakaian ke mana pun.

"Sip, selesai!!!" soraknya menatap setelan seragam bersih yang ia kenakan, "Saatnya pulang"

Baru beberapa meter meninggalkan lelaki itu, langkah Nina terhenti, nasehat pamannya terngiang kembali, 'Jika terpaksa melakukan tindak kriminal, jangan pernah meninggalkan barang bukti, sidik jari, apalagi saksi.'

"Ups, hampir lupa," gumamnya beranjak kembali. "Halo paman, ada yang Nina lupa" gadis itu memungut seragam kotor, memasukkannya ke dalam ransel. Denis masih tegang, namun perlahan ketenangan muncul. Sepertinya anak hanya ingin pulang, jadi tak ada yang perlu ia takutkan lagi. 

"Paman tahu? Pamanku selalu berkata jika kita melakukan kejahatan, tidak boleh ada barang bukti. Nah, seragam sudah Nina bawa. Tak boleh ada sidik jari. Paman tahu sendiri tadi Nina memakai sarung tangan. Dan tidak boleh ada saksi …."

Mendengar kata terakhir gadis itu, wajah yang tadi menggurat syukur menegang kembali, rasa tenang yang tadi tercipta sirna bak tak pernah ada. Berkali ia berusaha minta tolong dengan sisa-sisa suara. Tapi nihil.

"Maaf ya, Paman. Aku tidak bisa membiarkanmu hidup atau kau akan menyebarkan kejadian ini pada orang lain." tawanya ceria kemudian.

Dengan perlahan Nina merobek perut korban pertamanya dengan pisau bedah, sehati-hati mungkin agar tak menyentuh apa pun. Denis hanya berteriak tertahan, suaranya terkuras habis. Rasa seperti terbakar mencabik-cabik dadanya.

Tidak ada lagi harapan. Anak ini gila!

"Selesai,  sekarang aku pamit pulang dulu ya ..." ujarnya pada tubuh yang sudah di ambang kesadaran. 

Sebelum benar-benar beranjak, Nina melirik korban sekali lagi, mendekat sejenak,  mengambil sesuatu yang tergeletak di samping tubuh tak bernyawa. Percikan darah membekas pada benda tersebut.

"Sebagai kenang-kenangan, bolehkah kubawa boneka yang paman belikan tadi? Bonekanya lucu, walaupun ada niat jahat di baliknya" 

Ia pun pulang dengan senyum menghias di bibir.

-=9=-

"Seorang pemuda ditemukan tewas di sebuah pasar pagi ini, diduga korban meninggal akibat kehabisan darah. Beberapa luka sayatan ditemukan di tubuh korban ...." seorang pembawa acara di Channel TV menyiarkan berita pagi.

Saat itu hari minggu, Nina yang sedang bermain di rumah teman menoleh ke layar, membuat bola karet yang mereka mainkan terjatuh. Serempak anak-anak ber-yess kegirangan mendapat giliran main.

Di layar TV, tubuh seseorang telah ditutupi kain usang, mungkin warga yang pertama menemukan tubuh itu menutupinya dengan sembarang. Beberapa boneka dan mainan tergeletak di samping tubuh kaku itu, polisi mengamankannya sebagai petunjuk.

"Na!" panggil Mei membangunkan gadis mungil itu dari lamunan.

"Eh, iya?"

"Giliranmu." ujar anak dengan rambut sebahu  menyodorkan bola bekel ke arah Nina, namanya Riri. Dengan heran ia menoleh ke serakkan kerang yang hanya hilang dua sejak terakhir gilirannya.

"Huh? Kalian tidak bisa memainkannya, ya?" tanya Nina disambut tawa malu oleh teman-temannya.

"Kamu pintar, Na. Mainnya hebat, selalu menang." 

"Tak juga, aku cuma sedang beruntung." 

Jelas ia selalu menang, permainan ini memang kesukaannya. Paman yang mengajarkan, lalu ia membawanya ke sekolahan. Dulu, orang yang sudah Nina anggap sebagai ayah itu bilang, bahwa kombinasi bola karet dan segenggam kerang adalah permainan populer anak perempuan di kampung halaman beliau.

Tak terasa siang sempurna menjelang, terik membakar permukaan bumi, menebar kehidupan. Langit terlihat cerah, hampir tak tampak buih di keindahan laut semesta itu. Rei dan Riri sedari tadi sudah pamit, tinggallah Nina di rumah Deary. Karena jarak yang lumayan jauh, ia hanya bisa menunggu pamannya menjemput. 

Orang tua gadis berambut panjang itu meninggal dalam kebakaran, pergi dari sisi malaikat kecil mereka saat masih berumur dua bulan. Beruntung saat bencana itu terjadi, adik ayahnya sempat menolong, bak pangeran surga yang rela menerobos neraka demi menyelamatkan Nina kecil. 

Sayang hingga sekarang, sang paman malah lebih terlihat bak iblis. Seakan kebaikannya dulu hanya kedok tuk membuat ia terlihat seperti malaikat.

"Na, kamu tidak  pulang?" tanya Deary. 

Perempuan berambut gelombang dengan wajah kecokelatan itu adalah teman dengan pribadi paling baik, tak pernah pamrih atas segala bantuan yang diberikannya pada orang lain. 

"Kamu kan tahu sendiri kalau aku harus menunggu jemputan paman." Nina berkata sambil tetap memandang halaman, benaknya berkelebat memikirkan sesuatu. 

"Kenapa diam, Na. Apa yang sedang kau pikirkan?" 

"Bukan apa-apa, aku cuma berpikir tentang boneka ..." belum usai  kalimat gadis itu, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Deary. "Eh, pamanku sudah datang, aku pulang dulu ya, Ry," lanjutnya berlari ke pria yang sudah membukakan pintu.

Deary tersenyum sembari melambaikan tangan melihat sahabatnya berlari.

Tak lama setelah Nina mendudukkan dirinya, mobil melesat meninggalkan rumah di tengah kota. Tangan kokoh sigap mengendalikan kendaraan, meliuk melewati kendaraan lain.

-=9=-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status