Share

4. Pertemuan

Bab 4

.

Aluna mengendarai mobil dengan kecepatan sedang, hingga ia tiba di sebuah klub yang terkenal cukup ramai setiap malam Minggu. Perempuan itu ingin melepas beban pikirannya, dan memikirkan cara agar bisa mempertemukan Hafiz dan orangtuanya. Bukan cara mempertemukan tepatnya, tapi cara agar saat mereka bertemu, lelaki itu tak merasa terhina oleh orangtuanya.

Aluna berjalan masuk ke dalam ruangan, disambut oleh penjaga di pintu masuk. Di dalam, ia disambut oleh iringan musik dan cahaya remang yang menjadi khas sebuah klub. Bahkan area dance floor sudah terlihat ramai oleh para penari yang mencari kesenangan malam.

“Wine atau Vodka?” tanya seorang bartender yang melihat Aluna datang ke hadapannya.

Seorang lelaki berwajah khas Eropa itu telah mengenal Aluna sebelumnya. Ia sudah tahu apa yang menjadi favorit perempuan itu jika berkunjung ke klub milik bosnya.

Jika Aluna sedang begitu stres, ia akan meminta Vodka dengan kadar alkohol yang lumayan tinggi, hingga membuat gadis itu sedikit mabuk. Aluna akan meminta wine saat ia hanya ingin bersenang-senang dan tak ingin mabuk. Terlepas dari itu, satu hal yang tak pernah Aluna lakukan, ia tak pernah hilang kendali saat minum alkohol, sehingga harus merelakan kesuciannya direnggut oleh orang yang baru dikenal.

Aluna tak serendah itu dalam hal menjaga diri. Sebab itu, ia selalu datang ke klub bersama teman-temannya, agar ada yang menjaga dan mengendalikan jika ia khilaf dan tak sanggup untuk mengendalikan diri.

“Tidak. Beri aku orange jus. Aku perlu menjernihkan pikiran malam ini.”

Lelaki itu mengangguk. Lalu, kedua tangannya cekatan mencampurkan aneka minuman yang dipesan oleh para pengunjung.

Perempuan yang mengenakan dres sebatas paha itu duduk sendirian di sebuah meja dekat sudut ruangan remang dan berisik itu. Bahkan lampu kerlap kerlip itu memantulkan cahaya pada kulit putihnya hingga membuat bahu itu semakin terlihat indah. Beberapa pasang mata menatap Aluna seperti memberi perhatian. Ia melihat bagaimana cara lelaki memandangnya. Namun, Aluna membuang wajahnya dan tetap memilih sendiri menikmati hening dalam pikirannya.

Sebenarnya ia berjanji akan bertemu dengan teman-temannya, tapi mereka malah tidak datang dengan berbagai macam alasan. Kepalang tanggung, Aluna telah sampai separuh jalan.

Awal mula Aluna mengenal klub malam, karena diajak oleh salah satu teman di kampusnya. Ia yang saat itu sedang sendirian di rumah, memutuskan untuk datang sekali saja. Saat itu, Aluna berjanji hanya sekali. Namun, setelah itu ia tetap kembali mencari kesenangan yang awalnya ditawarkan oleh teman-temannya.

Minuman pesanan Aluna diletakkan di meja bulat di depannya. Ia tersenyum ramah pada bartender yang mengantar minumannya.

“Thanks,” ucap Aluna sebelum lelaki itu pergi.

Aluna mengaduk minuman berwarna orange itu dengan sedotan yang disediakan. Ia benar-benar sedang banyak pikiran saat ini. Aluna tak tahu cara membuat ibu dan ayahnya menyukai Hafiz saat mereka bertemu nanti. Karena Aluna tahu persis bagaimana orangtuanya menilai sebuah kelayakan dari seseorang.

Farhan hanya melihat seseorang berdasarkan harta, dan tak jauh dari seputaran bisnis. Dalam hal itu, Aluna dan ayahnya sangat bertolak belakang. Aluna melihat orang lain berdasarkan diri seseorang, bukan hal lain.

Saat sedang memikirkan Hafiz, pandangan Aluna beralih ke pintu masuk. Beberapa detik pandangannya bertabrakan dengan dua mata hazel milik seseorang. Seorang lelaki yang membuat Aluna segera membuang pandangannya.

Masih tergambar jelas di ingatan Aluna, bagaimana raut wajah itu saat ia berkenalan dengannya. Malam itu Aluna kembali dipaksa orangtuanya untung hadir di sebuah pesta yang diadakan oleh salah satu rekan bisnis ayahnya.

Pesta yang dihadiri oleh para pebisnis, dan keluarga mereka. Terlihat sangat membosankan. Aluna berdiri sendirian di depan meja hidangan, aneka makanan dan minuman ada di sana, ia mengambil segelas minuman berwarna merah. Aluna ingin pesta segera usai dan pulang, hingga Farhan datang bersama dua orang lelaki. Lelaki paruh baya itu datang menghampiri Aluna yang sedang menikmati hidangan makanan.

Aluna mengamati mereka, teman-teman bisnis ayahnya. Seorang lelaki ditaksir usianya sama seperti Farhan. Sedangkan seorang lagi, berkisar tiga puluh tahunan.

“Oh, ini yang namanya Aluna?” tanya teman Farhan basa-basi, begitu mereka benar-benar berdiri di depan Aluna.

“Iya, Om,” jawab Aluna.

Aluna menyunggingkan sebuah senyum. Lalu, matanya sedikit melirik pada lelaki muda yang berciri di samping ayahnya. Lelaki berwajah tampan dengan rahang yang terlihat kokoh disertai bulu halus di sekitarnya. Rambutnya tertata rapi, dan pakaiannya juga terlihat mahal. Bahkan Aluna dapat mencium wangi parfum lelaki itu.

“Kenalin, ini putra saya. Sekarang dia yang lebih banyak mengurus perusahaan.” Teman Farhan yang bernama Haris itu menjelaskan tanpa ditanya. Setelah itu, Haris menatap putranya seolah mengisyaratkan sesuatu.

“Abian.” Lelaki muda di depan Aluna mengulurkan sebelah tangannya. Sementara tangan kirinya masih berada dalam saku celana berbahan kain.

“Aluna.” Aluna menyambut uluran tangan itu. Lalu, sedetik kemudian sama-sama melepaskannya diiringi senyuman yang amat terpaksa.

“Abian ini turunan dari saya. Sama-sama gila bisnis.” Dua lelaki dewasa itu terkekeh pelan, seolah obrolan mereka terdengar lucu. Sementara dalam diam Aluna terus mengamati wajah Abian.

Aluna hanya mengangguk, ia merasa tak nyaman, karena sedari tadi wajah dingin itu terpasang jelas pada lelaki muda itu. Dingin dan sama sekali tak bersahabat.

“Luna masih kuliah, semester akhir. Nanti kalau udah lulus juga bakalan ikut berbisnis seperti mamanya.” Farhan menambahkan, seolah tak ingin kalah memperkenalkan anak gadisnya di depan temannya.

Lagi-lagi Aluna tersenyum. Ia meletakkan kembali gelas minuman yang sedari tadi dipegangnya.

“Ya, kita ini udah tua. Sudah selayaknya kita wariskan untuk anak-anak. Biarkan mereka mengelola semuanya, dan kita habiskan masa tua bersama cucu kita.”

Farhan dan Haris tampak mengangguk dan saling mengiyakan, sambil terkekeh pelan. Lalu keduanya mengobrol panjang lebar. Entah apa. Mungkin bisnis.

Karena merasa bosan, Aluna pamit dari dua lelaki dewasa itu. Meninggalkan Farhan dan Haris berbicara berdua. Sedangkan lelaki yang tadi dibawa bersama mereka, sudah lebih dulu meminta izin entah ke mana.

Hingga saat Aluna tiba di rumah, insting yang tadi bekerja dan menduga, terkuak sudah apa sebenarnya.

“Namanya Abian. Abian Rajendra, satu-satunya pewaris dari keluarga terhormat Haris Rajendra.” Farhan berkata begitu ia sampai di dalam rumah. Seolah perkenalan singkat tadi tak cukup untuk Aluna. Ah, jika Aluna bisa memilih ia ingin memutar waktu dan pura-pura sakit agar tak dipaksa ke pesta.

“Ganteng dan mapan, Luna.” Renata, ibu Aluna menimpali.

Aluna menatap kedua orangtuanya dengan senyum miring. Menertawakan keinginan ibu dan ayahnya yang selalu memaksa kehendak. Ia bukan tak mengerti jalan pikiran orangtuanya, Aluna sudah cukup hapal semua keinginan dan langkah mereka.

“Menikahlah dengannya, Luna.” Akhirnya Farhan mengatakan apa yang sebenarnya ia inginkan. Mengatakan apa yang sebenarnya sudah Aluna duga sejak awal.

Renata mengangguk, meyakinkan putrinya untuk menikah dengan Abian.

Aluna menarik napas dalam. Menguatkan hati untuk tak berbicara diluar batas dengan orangtuanya.

“Aku nggak bisa, Pa, Ma.” Aluna menatap orangtuanya bergantian. Menekankan dengan kalimat singkatnya bahwa ia tak bisa dipaksa dalam hal apa pun.

“Kenapa?” tanya Farhan datar, tapi penuh penekanan.

Aluna diam. Sedikit takut ia menjawab alasannya. Namun, rasa di hatinya lebih besar dari sekadar takut pada penghakiman ayah dan ibunya.

“Luna sudah punya pilihan lain,” Aluna menatap kedua orangtuanya bergantian. Mencoba memohon kepercayaan pada mereka untuk memilih pasangan hidupnya sendiri. Itu adil.

Farhan dan Renata saling pandang. Selama ini yang mereka tahu bahwa Aluna tak pernah memiliki hubungan spesial dengan lelaki mana pun. Lalu, siapa lelaki yang telah mengisi hati putrinya itu.

“Siapa?” tanya Farhan menatap Aluna yang juga menatapnya penuh keyakinan.

“Nanti papa akan tau.”

“Dari keluarga yang bagaimana? Sekuat apa koneksinya? Bawa ia kemari, dan akan papa pertimbangkan.” Farhan berlalu dari hadapan Aluna.

“Hidup enggak melulu tentang uang, Pa. Gak melulu tentang koneksi, kekuasaan, dan semua yang ada di pikiran papa.” Aluna berucap tenang, tapi begitu mengganggu di telinga ayahnya, hingga membuat lelaki itu kembali berbalik.

“Suatu saat kamu akan mengerti, apa pentingnya itu semua.”

“Penting buat siapa, Pa? Luna atau papa sendiri?” tantang Aluna.

“Jaga ucapanmu, Luna!” Renata mengingatkan putrinya yang telah keterlaluan.

“Papa pernah nggak mikirin perasaan Luna? Papa pengen Luna bahagia atau sengsara sih sebenarnya?”

“Papa hanya ingin yang terbaik untukmu.” Suara Farhan meninggi. Ia tak habis pikir dengan putrinya itu, menolak lelaki seperti Abian. Lalu, lelaki seperti apa yang ia sukai?

Menurut orang tua Aluna, pernikahan karena bisnis juga tidak buruk. Seperti yang Farhan lakukan dengan Renata dulu. Awalnya memang terasa canggung menerima, tapi saat terbiasa akan lahir getaran-getaran cinta dalam hati keduanya, terus mekar hingga ada Aluna diantara keduanya.

“Pa, Ma, dengar!” perintah Aluna, hingga Farhan dan Renata menanti apa yang akan dikatakan Aluna.

“Luna gak akan nikah sama Abian.” Aluna berkata pelan, seperti mengeja setiap kata dengan penuh penekanan. Berharap keduanya mengerti.

Farhan mendekat pada putrinya, menatap Aluna dengan wajah merah padam.

“Selama kamu masih menjadi anakku, turuti semua kataku.” Farhan benar-benar menaiki tangga setelah mengatakan itu. Meninggalkan Aluna dengan rasa putus asanya.

Mata Aluna mulai menghangat. Perlahan bulir air mata mengalir di pipinya. Ia merasa sama sekali tak ada arti untuk orangtuanya.

*

Aluna kembali menatap seorang lelaki di salah satu meja di ruang club itu. Lelaki yang duduk sendirian sambil menikmati minumannya. Aluna meminum satu tegukan terakhir dari sedotannya, setelah itu memilih pergi dari klub yang semakin ramai.

Aluna tak bisa melihat wajah yang tak bersahabat dengannya itu, ia merasa muak. Abian seolah berpikir bahwa hanya dirinya yang tak setuju dijodohkan dengannya. Padahal Aluna lebih tak setuju dengan keputusan itu.

Saat mendekati pintu keluar, tiba-tiba Aluna merasa kepalanya begitu berat. Mata juga terasa sangat berat seolah meminta untuk terpejam. Ia mencoba mengerjap agar matanya tetap terbuka. Perlahan kepalanya berputar merasakan pusing. Namun, ia masih bisa mendengar suara seorang lelaki yang tiba-tiba merangkul bahunya.

“Dia pacar saya, Mas.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status