Share

Bab 3

Saat tengah malam sampai dini hari, Kiyai Sulaiman sholat tahajud di rumahnya.

Mereka semua memang sudah pulang ke rumah. Namun, hati pria tua itu tak tenang.

Sepanjang sepertiga malam, kiyai Sulaiman melaksanakan Sholat istikharah meminta petunjuk Allah.

Kiyai Sulaiman akhirnya berhenti setelah hatinya cukup tenang. Sebuah keputusan telah dibuat.

*****

"Umi Nayla ... Aisyah ... ada sesuatu yang Abah ingin katakan. Ini sangat penting." Umi Nayla dan Aisyah menahan napas.

Mereka berdua hanya diam, siap mendengarkan amanah Kiyai Sulaiman.

Kiyai Sulaiman menarik napas. "Aisyah, kamu sudah besar. Sudah waktunya kamu menikah." 

"Tapi Abah, aku masih belum mempunyai calonnya," ucap Aisyah seketika.

Umi Nayla yang adalah ibu kandung Aisyah segera memegang tangannya dan menatapnya. Aisyah seketika diam dan menunduk.

"Pemuda itu mengalami nasib buruknya adalah karena ingin menyelamatkan Abah. Sepanjang malam, Abah sholat istikharah dan meminta petunjuk Allah. Yang aku pikirkan, hanya pemuda itu dan Aisyah. Aku pikir, mungkin Aisyah dan pemuda itu berjodoh," ucap Kiyai Sulaiman.

Bibir Aisyah seketika gemetar, ia tidak menyangka akan dijodohkan oleh Abahnya sendiri dengan seorang pemuda yang bahkan tidak ia kenali. Dan lagi, kemungkinan besar pria itu tidak bisa pulih kembali.

"Maksudnya Abah?" tanya Umi Nayla mencoba memperjelas lagi. Dia sama syoknya dengan sang putri.

"Aku ingin Aisyah menikahi pemuda itu!" ucap Kiyai Sulaiman. Mata Umi Nayla dan Aisyah kini membulat sempurna.

Kiyai Sulaiman--jika sudah membuat keputusan, tidak akan mengubahnya apapun yang terjadi. Jika Aisyah menolak, maka bisa saja Aisyah diusir oleh Abahnya sendiri dan dicap sebagai anak durhaka.

Kali ini, Aisyah benar-benar tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak bisa menentang keputusan Abahnya. 

"Baiklah, Ayah." Perempuan itu setuju.

Sayangnya, itu hanya di bibir saja.

Di dalam kamar, Aisyah menangis sejadi-jadinya di depan ibunya.

Aisyah tidak pernah berharap dirinya akan menikahi seorang pemuda yang sama sekali ia tidak kenal.

"Sabar Nak, aku yakin ini adalah keputusan terbaik untukmu. Abahmu itu membuat keputusan setelah semalaman sholat istikharah meminta petunjuk Allah. Umi yakin, keputusan ini adalah keputusan yang terbaik untukmu," ucap Umi Nayla sambil memeluk putrinya yang sedang menangis.

Meski dia tidak terlalu setuju, tetapi dia yakin sang suami tak asal.

Aisyah hany menangis dan meluapkan semua perasaannya di depan ibunya.

Setelah beberapa jam, barulah Aisyah bisa menerima takdirnya.

Ia sudah siap dinikahkan oleh Abahnya dengan pemuda itu--yang namanya pun tidak tahu. Namun, Aisyah ikhlas semata-mata karena Allah. Bagi Aisyah, pernikahan adalah bagian dari ibadahnya kepada Allah.

****

Saat waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi, Aisyah, Umi Nayla, dan Kiyai Sulaiman masuk ke dalam mobil dan memulai perjalanan ke rumah sakit.

Tujuannya tentu saja untuk menjenguk Ronald di rumah sakit.

Mobil yang Kiyai Sulaiman sekeluarga tumpangi kemudian keluar dari kawasan pesantren Tahfidzul Qur'an.

Rupanya, kiyai Sulaiman mempunyai sebuah pesantren dan sekaligus tinggal di dalam. Ratusan bahkan ribuan Santri sangat menghormati dirinya yang sebagai seorang kiyai sekaligus pendiri pesantren.

Sementara itu di rumah sakit...

Mata Ronald membulat sempurna ketika tidak bisa merasakan kakinya. Ia juga tidak bisa menggerakkan kakinya seperti biasa.

Napasnya tertahan dan jantungnya berdegup sangat cepat sebelum akhirnya berteriak, "Dokter! Dokter! Ada apa dengan kakiku!"

Mendengar teriakan Ronald, para dokter bergegas dan memeriksa. Mereka menemukan Ronald terlihat histeris ketika menyadari bahwa dirinya telah cacat meski tanpa di beri tahu dokter.

Para dokter dan perawat yang ada saat itu hanya bisa menarik napas dan tidak berani mengatakan apa pun.

Ini adalah keadaan paling emosional yang dialami pasien. Jadi, mereka memberikan waktu bagi Ronald untuk memproses semua ini.

Benar saja, setelah beberapa jam Ronald kemudian menjadi pemurung dan tidak lagi seperti sebelumnya. Ronald hanya berusaha untuk menerima keadaannya.

"Dengan diriku yang tidak cacat sekalipun, aku masih bingung mau menjalani kehidupan ku di luar penjara yang semuanya serba uang ini. Bahkan, aku pun tidak punya tempat tinggal. Dan sekarang aku harus menerima fakta bahwa aku cacat? Bagaimana aku mau menjalani kehidupan ku setelah ini?" pikir Ronald yang langsung frustasi. Ia sudah tidak tahu lagi harus menjalani kehidupannya seperti apa untuk kedepannya.

Hati Ronald kini benar-benar hancur.

Awalnya, ia pikir ia akan menjalani kehidupannya dengan sangat baik setelah keluar dari penjara. Tapi ternyata, nasib buruk malah menimpanya. Tidak Ronald sadari, air mata mulai keluar dari matanya begitu saja.

Kiyai Sulaiman, Umi Nayla, dan Aisyah yang tidak mengetahui apa yang baru saja Ronald alami, akhirnya tiba.

Ketiganya datang untuk menjenguk, tetapi hanya Aisyah yang diam dan tidak berani berkata banyak.

Cara Aisyah memandang Ronald kini sudah sangat berbeda dari sebelumnya. Karena Aisyah tahu, kelak Ronald akan menjadi suaminya kelak. Aisyah pun sudah berani memperhatikan wajah Ronald.

Wajah Ronald memang sangatlah tampan. Meskipun kepalanya bagian atas diperban, namun itu tidak mampu menutupi ketampanan Ronald. Kumis dan jenggotnya yang tipis juga turut serta membuat penampilan Ronald semakin menawan.

Saat Kiyai Sulaiman, Umi Nayla, dan Aisyah menatapnya, Ronald hanya termenung dan masih belum menyadari tiga orang yang datang menjenguknya.

Kepala Ronald sekarang telah diisi oleh berbagai macam pertanyaan:

1. Bagaimana Ronald akan mencari uang?

2. Bagaimana kehidupannya yang tanpa rumah ini?

3. Lalu, bagaimana ia bisa menjalani kehidupannya sebagai seorang pemuda sebatang kara dan lumpuh?

Dengan kondisi seperti ini, dapat dipastikan Ronald akan menjadi gelandangan menyedihkan. Bahkan jikalau ia kembali ke penjara, ia tetap akan menderita dengan kondisinya sekarang.

"Sial," batin Ronald, "sulit sekali menjadi orang baik."

Ia masih termenung dan belum menyadari kedatangan Kiyai Sulaiman dan keluarganya.

Ketiganya begitu terkejut saat tawa kecil mulai terdengar dari mulut Ronald. Terlebih, gumaman dari pria itu.

"Lebih baik aku mati saja!"

Mendadak, Kiyai Sulaiman langsung memegang bahu Ronald. "Astaghfirullah, istighfar kamu, Nak!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status