Share

Harus Cepat Menikah

"Huh ... sialan! Rudi, kenapa tender perusahaan gue dibatalkan sama Mister Rodrigo? Itu duit gede, apa loe paham?!" Sang CEO Teja Kusuma Realty bertolak pinggang seraya menyugar rambut tebalnya yang tadinya rapi.

Pria bernama Rudi yang menjabat sebagai asisten pribadi itu pun gemetaran terbata menghadapi bosnya yang mengamuk di kantor pusat. "Ssa—saya kurang paham, Pak Brian. Ehm ... ka—kalau boleh saya memberi saran, coba Bapak telepon langsung Mister Rodrigo Albruch, apa alasan beliau—"

"Sudah ... sudah! Gue telepon dia sekarang," potong Brian tak sabar. 

Pria berperawakan tegap dengan setelan jas necis itu menyambar ponsel canggihnya di meja kerjanya lalu menekan nomor milik Mister Rodrigo Albruch. Nada sambung mulai terdengar dan Brian pun berdehem-dehem melegakan tenggorokannya sembari menunggu panggilan teleponnya diterima.

"Hello ... Buongiorno, Señor Brian!" sapa ramah pria Italia tersebut saat menerima panggilan telepon.

"Hello, Buongiorno, Señor Rodrigo. Apa Anda sibuk? Saya ingin menanyakan beberapa hal terkait tender perusahaan saya yang dibatalkan sepihak oleh perusahaan Anda, Sir!" tutur Brian dengan kalem sekalipun aslinya sedang emosi.

(Buongiorno: selamat pagi)

"Ahaa ... jadi Anda ingin tahu alasannya? Memang dibatalkan, maafkan saya karena mengambil keputusan itu, Señor Brian. Guru spiritual saya berpesan bahwa mega proyek saya hanya boleh dikerjakan dengan pebisnis yang telah menikah. Apa Anda mengerti?" terang Mister Rodrigo dengan santainya di telepon.

Sementara di ujung telepon CEO yang gila kerja dan anti dengan yang namanya komitmen apalagi pernikahan serta tetek bengeknya itu bengong. 'Macam mana pula si Pak Tua ini?! Sudah sinting guru spiritualnya itu!' rutuk Brian dalam hatinya.

"Hello ... Señor Brian? Are you okay?" tanya Mister Rodrigo karena lawan bicaranya mendadak terdiam. Dia pun berpesan, "kalau Anda ingin tender mega proyek saya di Pulau Bali itu, cepatlah cari wanita untuk dinikahi. Dan jangan bercerai selama proyek itu masih berlangsung, okay ... temui saya bersama istrimu di Ubud, kalau Anda sudah menikah. Ci vediamo!"

(Ci vediamo: sampai jumpa)

Brian menatap ponselnya dengan terbengong-bengong memikirkan perkataan klien bisnisnya dari Italia itu. Dia pun mengomel, "Sialan. Hari gini masih percaya sama omongan guru spiritual?! Hmm ... AARRRGGHH!"

Dengan takut-takut Rudi melirik bosnya seraya berkata, "Pak Brian, apa mau saya carikan istri? Sepupu saya dari Sumedang masih jomblo, Pak. Dia sampai sekarang belum nikah-nikah sudah hampir 35 tahun."

"Apa gue kelihatan seperti perjaka tua, Rudi?! Kurang ajar lo!" sembur Brian meradang.

Alis Brian berkerut sengit, giginya gemeretak karena kesal. Tatapan setajam silet itu dilemparkan ke asisten pribadinya yang langsung tahu diri dan sontak menutup mulutnya.

"Keluar dari sini sekarang juga! Gue mau sendiri!" teriak Brian dengan galak menunjuk ke arah pintu keluar ruang kantornya.

Pria itu menendang kaki meja kerjanya saking dongkolnya. Pasalnya, tender proyek yang ditawarkan oleh Mister Rodrigo Albruch, pemilik Peninsula Harvest Co. bernilai fantastis. Sepuluh Triliun dan imbal hasil bagi operator proyek adalah 10% dari nilai kontraknya. Nyaris gila Brian ketika mendengar kesepakatan itu dibatalkan jelang penandatanganan kontrak.

Dia pun duduk di kursi kebesarannya sambil memegangi kepala dengan kedua telapak tangannya. Mendadak kepalanya terasa pening sekali.

Tiba-tiba ponselnya berdering, ada panggilan telepon masuk dari teman dekatnya, Richard. Dia pun menghembuskan napas dengan kasar lalu menjawabnya, "Halo. Apa, Richie?" 

"Hey ... kok lesu gitu suara loe, Bri. Kenape loe?" balas Richard dengan tawa ringan.

"Ckk biasa ...kerjaan. Loe ngapain telepon masih pagi begini? Kurang kerjaan loe?" jawab Brian asal-asalan.

"Gue mau ngajakin loe ke night club bagus ntar malem. Ada waktu kagak?" ujar Richard tanpa nada paksaan.

Dengan segera otak Brian menjadi segar. Dia merasa mungkin di night club itu dia akan mendapat solusi persoalannya. Banyak wanita bersliweran di sana pastinya. Segera saja dia menjawab antusias, "Boleh ... boleh, gue ikutan deh. Loe shareloc aja di mana tuh night club. Gue lagi butuh hiburan nih!"

"Gue suka gaya loe, Man! Okay, Dude kita nongki-nongki ganteng di sana ya ntar. Bye, Brian," pamit Richard lalu memutuskan sambungan telepon itu. 

Setelah menerima telepon dari Richard, sang CEO Teja Kusuma Realty itu pun merasa bersemangat lagi untuk menjalani harinya. Dia pun tetap mengerjakan rancangan proyek untuk Peninsula Harvest Co. Ada perasaan optimis bahwa nanti malam dia akan bisa menemukan calon istri yang dibutuhkannya untuk memenuhi persyaratan konyol dari Mister Rodrigo Albruch.

Maka sekitar pukul 17.00 WIB, Brian Teja Kusuma meninggalkan ruangan CEO untuk turun dengan lift ke lantai lobi. Sopir pribadinya telah siap sedia di samping mobil sedan Maybach hitam untuk mengantarkan bosnya pulang ke rumah.

Pak Seno membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Brian lalu menutupnya kembali usai pria tajir melintir itu naik ke mobil. Sambil berlari-lari kecil Pak Seno kembali ke bangku pengemudi. 

"Mas Brian ... langsung pulang apa mau mampir ke mana dulu ini?" tanya Pak Seno dengan nada riang bersemangat.

"Pulang langsung ke rumah, Pak. Nanti malem gue mau clubbing ya, anterin!" ujar Brian yang diiyakan oleh sopir pribadinya.

"Kalau boleh tahu lokasi clubbingnya dimana ya, Mas?" tanya Pak Seno lagi agar dia bisa melihat rutenya di googlemaps nanti sebelum berangkat mengantar bosnya itu.

Brian pun tersadar bahwa dia belum membuka pesan dari Richard sedari pagi tadi. Sobatnya itu mengirim shareloc night club yang akan jadi tujuan nongkrong mereka malam nanti. Dia pun membacakan nama night club itu kepada sopirnya, "The Glam Expat Club namanya, Pak Seno. Di Jakarta Barat nih kalo lihat di googlemaps. Berarti berangkat jam 8, habis gue dinner deh ya biar nggak telat."

"Siap, Mas Bos!" sahut Pak Seno sambil berkonsentrasi mengemudikan sedan mewah tersebut di tengah kemacetan arus pulang kerja sore hari. 

Brian seolah sudah terbiasa dengan kemacetan ibu kota seperti habitat hidupnya sehari-hari. Rasanya dia ingin sekali segera men-deal-kan proyek di Pulau Bali agar bisa pindah kantor dan juga tempat tinggal di sana.

Banyak yang bilang kalau Bali itu surga dunia, panoramanya indah dan masih banyak tempat yang natural sekalipun sudah mengenal kemajuan zaman dan pembangunannya juga ada di mana-mana di sana.

Senja pun mulai turun berganti petang ketika Brian tiba di rumahnya yang ada di Jakarta Selatan. Dia pun bergegas turun dari mobil yang berhenti di depan teras rumahnya lalu berjalan masuk ke dalam rumah. Kepala pelayan rumahnya menyambut Brian dengan ramah.

"Mas Brian, apa makan malam di rumah?" tanya Bu Shinta sopan sambil berlari-lari kecil di belakang majikannya yang langkah kakinya lebar-lebar mendahuluinya.

Tinggi badan Brian memang hampir 2 meter dan badannya berotot padat tercetak di balik pakaian necis yang dikenakannya. Sesampainya di kaki tangga yang mengarah ke lantai 2 dimana kamarnya berada, ia pun berhenti melangkah dan menoleh ke Bu Shinta. "Iya, makan malam di rumah, Bu. Di mana, Thalita?" ujarnya.

"Non Thalita sudah pergi lagi barusan, Mas. Katanya ada acara ulang tahun temannya begitu," jawab Bu Shinta yang mendapat anggukan kepala dari Brian seolah mengerti.

"Ya sudah, masaknya nggak usah terlalu heboh soalnya yang makan cuma gue aja, Bu!" pesan Brian sebelum menaiki tangga kayu berukir melingkar yang berlapis karpet mewah di setiap undakannya.

Kelelahannya harus dia singkirkan demi berburu calon istri di night club malam ini. Brian pun mengguyur badan kekarnya yang penat di bawah shower air dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status