“Dimana suamiku?”Hah?Firman terbeliak, “Aku suamimu,” dia berusaha mendekat lagi.Winda menelisik Firman dari atas sampai bawah. Kemudian ia terkekeh, “Jangan becanda Firman, di mana suamiku? Mas Hendra?”Firman meraup wajah kasar, ia tak mengerti apa maksud perkataan Winda.“Aku suamimu, tolong jangan bercanda, aku sangat bahagia melihatmu telah sadar. Jangan mengerjaiku seperti ini.” ujar Firman menatapnya dengan nanar.Tak ada raut kebohongan di wajah Winda, dia menatap Firman dengan wajah serius.“Kau Yang jangan bercanda Firman, aku ini istri kakakmu, Mana mungkin aku menikah denganmu?!”Firman tak menjawab perkataan Winda. Pandangannya beralih pada Dokter yang terlihat bingung.“Mohon bersabar dulu Pak, kami akan memeriksa kondisi pasien lebih lanjut. Jika memang dia lupa padamu, itu bisa saja terjadi, karena pasien mengalami benturan pada aspal meskipun tidak terlalu keras. Sebaiknya Anda sabar dulu, kami akan segera mengecek kondisi kepala pasien.” ujar sang dokter, menenang
“Mau apa kamu?!” ujarnya setengah panik. Begitu juga dengan Firman, dia sedikit terkejut melihat Winda membuka mata.Winda segera terduduk, melihat ada Firman di sana.“Jangan berani macam-macam ya, atau aku akan teriak?”Glek!Firman menelan ludah.“Nggak, siapa yang mau macam-macam? Orang cuma mau usir nyamuk.”“Hah? Nyamuk?”“Iya, tadi di pipi kamu ada nyamuk, makanya aku usir, harusnya aku usir lebih keras, biar kamu nggak nuduh yang bukan-bukan.” jawab Firman.Mau macam-macam pun boleh, toh mereka pasangan suami istri, tidak bisa di laporkan, Firman punya bukti untuk itu. Namun, untuk saat ini bukan waktu yang pas, dia harus bisa membuat Winda ingat sedikit demi sedikit, meskipun sepertinya akan sulit.Winda terhenyak, kemudian menyentuh pipinya.“Oh, maaf.” gumamnya.“Aku di sini hanya untuk menjagamu, apalagi kamu nggak punya siapa-siapa, takutnya kamu kesulitan saat butuh
Winda mondar-mandir di dalam kamar, dia sedikit merasa menyesal. Apa dirinya keterlaluan? Dia hanya merasa tidak nyaman dekat dengan anak-anak, meskipun menyukainya. Namun, ada rasa sesak di hatinya saat melihat kedua anak itu berkaca-kaca.“Apa Firman marah padaku?” gumamnya, seorang diri.Winda segera mengenyahkan pikiran tersebut, “Ah sudahlah, untuk apa aku memikirkan pria itu. Dia gak akan berani mengusirku, di rumah ini ada uang milik Mas Hendra, itu artinya aku juga berhak atasnya.”“Firman memang gak pernah berubah, sudah waktu dulu menumpang di rumah kami. Dan, kini ... Malah ingin menguasai peninggalan kakaknya yang harusnya menjadi milikku.” pikiran Winda melambung pada kejadian lima tahun lalu. Di mana dia dan Firman baru tinggal bersama. Winda sangat acuh, dia selalu menjaga jarak dengan Firman. Winda benar-benar melupakan semua tentang Firman, termasuk pernah mencintai pria itu.Winda naik ke atas ranjang, sebaiknya dia tidur, kepala
Setelah Firman pergi ke kantor, Winda kelabakan mengurus dua bocah yang berlarian. Fira mengejar minannya yang di bawa oleh Farhan.“Duh, gimana ini? Mereka terus berlarian dan tidak mau mendengarkanku. Ish Firman, anakmu ini.“ ia mendengus kesal.“Aku yakin, ibu mereka juga sama menyebalkan, makanya melahirkan anak yang menyebalkan juga.” gumamnya, tanpa di sadari Winda telah membicarakan dirinya sendiri.“Hei, bisa tidak kalian jangan berlarian, nanti jatuh. Bisa-bisa aku yang di marahi ayahmu.”Dan, baru saja Winda mengatakannya. Fira terjatuh, dia menangis.“Tuh 'kan, apa Tante bilang? Jangan berlarian nanti jatuh, jatuh kan?!” ujarnya.“Mama~~” Fira menangis.Entah mengapa Winda merasa iba. Padahal sebelumnya dia merasa kesal. Winda mendekat kemudian langsung menggendongnya.“Sudah jangan menangis,” tiba-tiba saja perasaannya menghangat saat menatap wajah Fira, sangat mirip dengan Firman. Dia juga melihat k
“Itu dulu, sekarang kau istriku,” ujar Firman dengan sudut bibir terangkat. Winda menatapnya takut.Bugh!“Aw!” Firman memekik, kesakitan saat Winda menendang senjatanya.“Makanya jangan berani macam-macam padaku!” ketusnya, dia segera duduk dan mengusap bibirnya yang sedikit basah.“Aw, sakit!” Firman meringis memegangi sel4ngkanganya.“Iyu akibatnya berani kurang ajar. Meskipun sekarang aku adalah istrimu, bukan berarti kamu bisa seenaknya. Kamu tidak boleh menyentuh, tanpa seizin ku, paham?!”Firman tak menjawab, dia masih meringis kesakitan di atas ranjang. Melihat itu Winda menjadi khawatir, padahal sebelumnya dia sangat merasa puas.“Fi—Firman, kau tidak apa-apa?”“Aw, sakit sekali.” gumamnya.“Ma—mana yang sakit.”“Tentu saja yang ini. Kamu harus tanggung jawab! Kamu harus mengobatinya, Winda.”“Bagaimana caranya?” Winda merasa risih, dia melihat ke arah celana Firman.
BRAK!Winda yang tengah berbaring terkejut saat pintu kamarnya di buka secara paksa, dia menatap tajam seseorang yang berdiri di sana.“Firman!” Winda segera terduduk, dia langsung menutupi pahanya yang terekspos. piyama yang ia kenakan tersingkap. Winda segera berdiri.“Mau apa kau kemari? Apa kau tidak punya sopan santun? Membuka pintu, tanpa mengetuknya lebih dulu?!” Winda berdecak kesal.Dengan tergesa Firman berjalan mendekat. Dia menarik tangan Winda dengan paksa.“Aw, sakit, lepaskan!”“Apa yang kau katakan pada Farhan? Sehingga bocah laki-laki itu menangis? Hah!” wajah Firman terlihat memerah, rahangnya mengeras, apa yang Winda lakukan kali ini benar-benar membuatnya marah. “Memangnya apa yang dia adukan tentang diriku?” Winda tak kalah sengit menatap Firman.“Mengapa kau mendorongnya hingga dia terjatuh? Kau tahu, lututnya berdarah?!”Winda gelagapan, dia membuang pandangan ke arah lain.
Setelah selesai mandi dan berpakaian lengkap. Winda segera turun ke bawah. Dia meringis sambil memegangi perutnya yang sudah keroncongan meminta untuk segera di isi.Di sana sudah ada Firman dan kedua anaknya, Fira dan Farhan. Winda merasa canggung. Dia menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Kemudian dengan ragu-ragu berjalan mendekat.Firman menatapnya, kemudian beralih mengambilkan telur mata sapi untuk Farhan.“Hai, Mama ....” sapa Fira dengan riangnya. Sedangkan Farhan hanya melirik sekilas.Winda duduk di samping Farhan, sedangkan Fira duduk bersampingan dengan Firman. Winda berniat untuk meminta maaf atas kejadian kemarin. “Selamat pagi Farhan?” sapanya saat sudah duduk di sana.Farhan hanya menoleh sekilas, kemudian turun dari kursi.“Papa, aku sudah kenyang.” ujarnya, kemudian berlari kecil menuju kamarnya.“Hei, makanan mu belum habis? Farhan ....” teriaknya.Senyum di wajah Winda memudar. Dia tidak menyangka Farhan semarah itu. Apa mungkin dirinya benar-benar ketergan
Pagi hari ....Firman terbangun saat mencium aroma masakan yang sangat lezat. Aroma yang sangat ia rindukan. “Siapa yang masak pagi-pagi begini?” gumamnya.Firman terheran, sebab ia tak pernah menyuruh asisten rumah tangganya itu untuk memasak. Selama ini Winda lah yang menyiapkan untuk urusan perutnya dan anak-anak.“Ahh ... Aku harus melihat nya.”Firman bergegas bangun dari sofa. Meregangkan badan. Tubuhnya terasa lelah. Tidur di sofa terus menerus membuat badannya terasa pegal-pegal. Dia melangkahkan kaki menuju dapur berada.Di dapur, Firman berdiri di depan pintu. Sejenak ia tertegun melihat sang istri tengah berkutat dengan peralatan dapur. Senyum di bibirnya mengembang. Pemandangan pagi ini membuat matanya segar.Winda yang menyadari kehadiran Firman menoleh, “Selamat pagi ....” ucapnya.Firman merasa tak percaya, apakah istrinya itu telah kembali? Jika iya, dia sangat bersyukur.“Sa—sayang ....” gumamnya, Firman melangkahkan kaki mendekati Winda di sana.“Kenapa? Kok kaget,